Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal menginginkan agar Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada investor agar betul-betul dicek implementasinya agar selaras dengan aturan tata ruang terkait UU Cipta Kerja.

"UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 itu sudah sangat bagus. Hanya saja, untuk implementasinya investor mau lakukan usaha di tempat kita itu terkait banyak hal, misalnya penyediaan lahan. Makanya kita perlu mengecek HGU yang diberikan pemerintah, dalam hal ini BPN itu bagaimana bisa teraplikasi secara penuh," ujar Syamsurizal dalam rilis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, tidak selalu implementasi pemanfaatan lahan dalam HGU dapat berjalan optimal karena kerap ditemukan banyak tanah yang terlantar, atau bahkan melebihi dari hak yang diberikan kepada investor, sehingga terjadi penyerobotan.

Baca juga: DPR minta BPN manfaatkan tanah terlantar untuk masyarakat

Untuk itu, ujar dia, dalam UU Cipta Kerja juga mengamanatkan ke depannya agar dapat dilahirkan Bank Tanah.

"Salah satu tujuannya adalah menghindari persoalan sengketa tanah antara pelaku usaha, negara, dan masyarakat," katanya.

Dengan adanya Bank Tanah, terdapat kepastian hukum untuk meminimalkan keengganan investor dalam berusaha di Indonesia.

Diketahui, dalam Pasal 125 ayat 4 UU Cipta Kerja, disebutkan fungsi Bank Tanah adalah melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Dengan terbentuknya Bank Tanah ini, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara atas tanah dalam rangka untuk memenuhi kepentingan umum, kepentingan sosial, pemerataan ekonomi, dan reforma agraria.

Baca juga: Sumut provinsi terbanyak sengketa tanah, Wamen: Perlu transparansi

Sebelumnya, Sistem Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko telah menerbitkan lebih dari 200 ribu nomor induk berusaha (NIB) sejak digunakan pertama kali pada tanggal 4 Agustus 2021.

Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total penerbitan NIB selama periode 4 Agustus-18 September 2021 pukul 07.30 WIB sebanyak 205.373, yang terdiri atas usaha perseorangan sebanyak 187.435 dan badan usaha sebanyak 17.938.

"Sesuai dengan arahan Bapak Presiden pada saat peluncuran Sistem OSS Berbasis Risiko pada 9 Agustus lalu, sistem ini harus memberikan kemudahan kepada pelaku usaha, khususnya usaha mikro dan kecil (UMK). Dan data memang menunjukkan bahwa 98,8 persen NIB yang diterbitkan adalah pelaku UMK," jelas Staf Khusus Bidang Hubungan dengan Daerah/Juru Bicara Kementerian Investasi Tina Talisa.

Penerbitan NIB harian tertinggi terjadi minggu lalu, yaitu pada Kamis (9/9) yang mencapai angka 13.697 dan Jumat (10/9) sejumlah 13.737. Rekor seperti ini tidak pernah terjadi sejak Sistem OSS 1.0 aktif digunakan pada tanggal 21 Juni 2018. Sejak OSS 1.0 hingga OSS 1.1, rata-rata jumlah penerbitan NIB berkisar 3-5 ribu per hari.

OSS Berbasis Risiko merupakan perwujudan dari amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK), tepatnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021