Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Kajian Politik Ketatanegaraan DPD RI Alirman Sori mengatakan DPD RI berencana menyelenggarakan safari konstitusi dalam bentuk focus group discussion (FGD) di empat universitas pada Oktober 2021.

FGD untuk Wilayah Barat I akan diselenggarakan di Universitas Andalas, Wilayah Barat II di Universitas Diponegoro, Wilayah Timur I di Universitas Hasanuddin, dan Wilayah Timur II di Universitas Sam Ratulangi.

"Concern kita adalah amendemen. Ini adalah momentum untuk melakukan koreksi," kata Alirman dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Anggota DPD: Amendemen bukan harga murah

Baca juga: MPR: Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden sangat prematur

Koreksi yang dimaksud adalah untuk menata kembali dinamika yang berkembang dan tidak tertampung dalam konstitusi. Salah satunya terkait dengan presidential threshold (PT) dengan syarat 20 persen.

Menurut dia, yang ditegaskan dalam konstitusi adalah capres-cawapres diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

"PT 20 persen sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu tidak diatur dalam konstitusi. Konstitusi hanya menegaskan bahwa capres-capres diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik," tutur Alirman.

Rencana safari konstitusi itu dibicarakan dalam pertemuan Tim Kajian Politik Ketatanegaraan DPD RI yang diketuai oleh Alirman Sori beserta anggota Fachrul Razi, Bustami Zainudin, Tamsil Linrung, Habib Ali Alwi, Ahmad Nawardi, Ahmad Kanedi, Hasan Basri dan M Syukur dengan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Jakarta, Rabu (15/9).

Dalam pertemuan itu dibahas juga upaya memperkuat posisi DPD RI, GBHN, serta calon perseorangan.

"Ada desakan dari daerah agar putra-putri terbaik bangsa ini yang tidak tertampung di partai politik bisa dicalonkan sebagai capres-cawapres melalui jalur perseorangan," kata dia.

Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti memaparkan, amendemen ke-5 UUD 1945 adalah untuk mengembalikan hak bagi nonpartisan agar dapat maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, akibat amendemen yang terjadi sejak tahun 1999 hingga 2002, DPD RI sebagai lembaga nonpartisan menjadi kehilangan hak untuk mencalonkan pasangan capres-cawapres.

"Amendemen ke-5 UUD 1945 ini berupaya untuk memulihkan kembali hak DPD RI untuk mengajukan kandidat capres-cawapres yang dikebiri. Maka, hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat kebangsaan sebagaimana falsafah Pancasila harus kita benahi," ujar La Nyalla.

La Nyalla menegaskan, amendemen ke-5 UUD 1945 merupakan upaya untuk meluruskan arah perjalanan bangsa ini. Menurutnya, kekeliruan perjalanan bangsa tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebaliknya, mengembalikan arah bangsa ini sesuai dengan semangat para pendiri bangsa harus terus diupayakan.

"Amendemen ke-5 UUD 1945 ini merupakan momentum untuk mengoreksi perjalanan bangsa ini. DPD RI ini adalah lembaga legislatif nonpartisan yang memiliki akar legitimasi kuat sehingga hak DPD RI untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah rasional,” tegas La Nyalla.

La Nyalla menilai dengan adanya ketimpangan pada amendemen konstitusi, perjalanan arah negara sudah melenceng dari cita-cita pendiri bangsa. La Nyalla pun menyebut perlu ada pembenahan atau koreksi atas hal itu.

Ia juga menyinggung hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021. Dari survei tersebut ditemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus dari kader partai.

Sementara itu, hanya 28,51 persen yang menginginkan calon presiden dari kader partai. La Nyalla menilai hasil studi tersebut harus direspons dengan baik.

“Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai,” katanya.

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2021