Dimohon sekali pembahasan objek PPN di-drop saja dari RUU KUP karena kontradiksi terhadap pemulihan ekonomi yang ditarget 5 sampai 5,5 persen pada 2022
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah menunda pengesahan beberapa aturan dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pada 2022 mendatang.

Salah satunya, rencana menjadikan bahan pokok, layanan pendidikan, dan layanan kesehatan sebagai objek kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat yang baru pulih dari COVID-19.

“Dimohon sekali pembahasan objek PPN di-drop saja dari RUU KUP karena kontradiksi terhadap pemulihan ekonomi yang ditarget 5 sampai 5,5 persen pada 2022,” kata Bhima kepada Antara di Jakarta, Senin.

Ia pun meminta pengampunan pajak atau tax amnesty yang terindikasi dalam RUU KUP Pasal 37 tidak disahkan pemerintah. Ia khawatir pengampunan pajak yang sebelumnya juga telah dijalankan pada 2016 dapat menurunkan kepercayaan Wajib Pajak (WP) kepada pemerintah.

“Sekali diberi tax amnesty, maka wajib pajak yang nakal akan menunggu tax amnesty berikutnya. Ini kontraproduktif terhadap komitmen paska tax amnesty untuk menegakkan kepatuhan pajak bagi wajib pajak yang tidak memanfaatkan tax amnesty 2016 lalu,” imbuhnya.

Selain itu, Bhima juga meminta penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan menjadi 20 persen pada 2022 dievaluasi kembali. PPh perusahaan terbuka juga direncanakan turun lebih rendah, menjadi 17 persen pada tahun depan.

“Untuk meningkatkan daya saing, apakah penurunan tarif PPh Badan ini efektif? Jawabannya belum tentu. Dari studi yang dilakukan di Singapura, keputusan perusahaan memiliki kantor akuntansi dan perpajakan di Singapura bukan hanya masalah tarif pajak yang rendah. Tapi kepastian regulasi dan keamanan menjadi faktor paling krusial,” imbuhnya.

Bhima khawatir penurunan tarif PPh justru akan menggerus rasio pajak pada 2022. Penurunan tarif PPh juga dinilai tidak sesuai untuk pengusaha besar yang selama ini sudah banyak menikmati insentif pajak.

“Sejauh ini sudah banyak perusahaan besar menikmati insentif perpajakan dalam bentuk tax allowances dan tax holiday, ditambah insentif disaat pandemi COVID-19. Untuk apa lagi diberikan penurunan tarif sampai 17 persen?” tutupnya.

Baca juga: Anggota DPR: Pembahasan RUU KUP perlu cermat objektif dan terukur
Baca juga: Ekonom CORE belum melihat urgensi wacana Tax Amnesty jilid II
Baca juga: Sri Mulyani atur ulang objek dan fasilitas PPN dalam RUU KUP


Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021