Yogyakarta (ANTARA News) - Letusan Gunung Merapi yang terus menerus sulit diprediksi. Namun, yang perlu dilakukan adalah mencermati magma yang terkandung di dalam perut gunung ini.

"Langkah yang perlu dilakukan saat ini adalah memperkirakan magma yang masih terkandung di perut bumi, khususnya di dalam perut Gunung Merapi," kata ahli vulkanologi dari Universitas Kyoto, Jepang Masato Iguchi, di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, masalah seperti ini sering ditemui di berbagai letusan gunung berapi lainnya, bukan hanya Gunung Merapi. "Oleh karena itu, ke depan yang juga perlu dicermati adalah kondisi magma di perut Merapi," kata Iguchi di kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta.

Meski demikian, ia memuji langkah yang diambil Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), karena mampu melakukan prediksi cukup tepat sebelum terjadi letusan pada 26 Oktober 2010, dimana sehari sebelumnya PVMBG memutuskan menaikkan status aktivitas Merapi dari "siaga" menjadi "awas".

"Merupakan langkah tepat dari PVMBG yang menaikkan status menjadi `awas`," kata dia yang berencana membantu memantau letusan gunung di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini.

Selain Iguchi, akan ada satu doktor ahli di bidang penyakit saluran pernapasan yang akan ikut membantu menangani penyakit saluran pernapasan akut (ISPA) warga yang menjadi korban Merapi. Mayoritas para pengungsi di tempat-tempat pengungsian kini terkena ISPA.

Sejumlah ahli vulkanologi dari dalam dan luar negeri seperti Jepang, Amerika Serikat, Prancis, dan Indonesia sendiri akan membantu pelaksanaan pemantauan Merapi, karena gunung itu merupakan laboratorium alam yang terbuka bagi siapa pun.

Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010 meletus, sehingga menyebabkan 106 warga yang berada di kawasan gunung teraktif di Indonesia dan bahkan termasuk paling aktif di dunia itu, tewas.

Sedangkan korban yang mengalami luka bakar yang masih dirawat di Rumah Sakit (RS) Dr Sardjito Yogyakarta sebanyak 26 orang, dan korban nonluka bakar 57 orang. Total korban terluka yang masih dirawat di rumah sakit ini sebanyak 83 orang.

Tim Forensik RS Dr Sardjito dan tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berhasil melakukan identifikasi 49 korban yang meninggal dunia akibat letusan Merapi yang ditemukan di lokasi kejadian.

Sementara itu, di pos antemortem DVI Polda DIY sejak Jumat (5/11) menerima laporan mengenai 233 orang hilang. Jumlah korban yang meninggal dunia akibat bencana letusan gunung ini kemungkinan masih akan terus bertambah, karena TNI bersama relawan masih terus melakukan pencarian dan evakuasi korban.



Tetap waspada

Intensitas erupsi Merapi, Rabu, menurun, namun masih mengeluarkan suara gemuruh, sehingga warga diminta tetap waspada.

Keterangan dari Badan Geologi Kementerian ESDM menyebutkan data tersebut merupakan pemantauan sejak pukul 00.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB.

Dalam pemantauan selama enam jam itu tercatat ada dua kali gempa vulkanik, guguran lima kali, dan tremor yang terjadi beruntun, sedangkan gempa "multiphase" (MP) atau gempa permukaan, "low frequency", awan panas, dan gempa tektonik tidak ada catatan.

Pada 9 November 2010 ada tujuh kali gempa vulkanik, empat kali gempa low frequncies, 35 kali guguran, dua kali awan panas, dan dua kali gempa tektonik, namun tidak ada catatan gempa MP.

Berdasarkan laporan dari pos pengamatan Gunung Merapi di Ketep menyebutkan sejak dini hari hingga Rabu pagi secara visual Merapi terlihat jelas. Asap Merapi condong ke barat dengan ketinggian 500 meter pada pukul 01.07 WIB. Ketinggian asap meningkat menjadi 800 meter pada pukul 03.58 WIB.

Asap putih kecokelatan yang mengarah ke barat laut tampak pada pukul 05.06 WIB. Suara gemuruh yang kemarin intensitasnya keras-sedang, Rabuintensitasnya sedang-lemah. Pengamat mendengar gemuruh Merapi pada pukul 00.15 WIB, pukul 01.07 WIB, dan pukul 03.58 WIB.

Teramati pula endapan lahar di semua sungai yang berhulu di puncak Merapi dari arah tenggara, selatan, barat daya, barat dan barat laut yang meliputi Kali Woro, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Bedog dan Kali Krasak.

Aktivitas kegempaan dan gemuruh menunjukkan aktivitas gunung ini masih tinggi. Dengan kondisi tersebut, status aktivitas Merapi belum diturunkan, atau tetap pada tingkat "awas". Ancaman bahaya gunung ini masih berupa awan panas dan lahar.

Masyarakat diminta tetap menjaga jarak aman 20 kilometer dari puncak Merapi. Masyarakat juga diminta tidak panik dan terpengaruh dengan isu yang beredar dengan mengatasnamakan instansi tertentu mengenai aktivitas gunung ini. Warga diimbau tetap mengikuti arahan dari pemerintah daerah setempat yang selalu berkoordinasi dengan PVMBG.

Kepala PVMBG Badan Geologi Surono mengatakan ancaman awan panas dan lahar dingin Merapi masih ada, sehingga masyarakat harus tetap menjauhi kawasan rawan bencana (KRB).

"Pada dasarnya subjek dalam mitigasi bencana yang terpenting adalah sikap kooperatif masyarakat," katanya saat memaparkan kondisi terkini Gunung Merapi di hadapan rombongan Komisi VIII DPR yang dipimpin Abdul Kadir Karding, di Kepatihan Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, meskipun intensitas letusan Merapi mulai menurun, aktivitasnya masih tinggi. Aktivitas Merapi sampai saat ini masih dinyatakan dalam status "awas", dan radius aman masih dalam jarak di luar 20 kilometer dari puncak gunung.

"Kami masih sulit memprediksi sampai kapan energi dan tekanan dari dalam Merapi akan berakhir. Merapi masih sangat fluktuatif, kadang letusannya membesar, kemudian mengecil," katanya.

Ia mengatakan, hal tersebut seperti yang terjadi pada 3-8 November 2010, dengan letusan terbesar pada 5 November.

Namun demikian, kata dia, pihaknya belum bisa memastikan itu merupakan puncak letusan Merapi. "Meskipun letusan Merapi yang terjadi saat ini pada ketinggian antara 500 hingga 1.000 meter, atau maksimal 2.000 meter, energi dan tekanan magma di perut Merapi masih cukup besar," katanya.

Menurut dia, keluaran awan panas saat ini kurang dari tiga menit, tetapi jarak luncurnya bisa sangat jauh. Dulu dalam waktu tujuh menit jarak luncurnya kurang dari 2-3 kilometer, tetapi sekarang dalam waktu yang sama jaraknya lebih jauh.

"Awan panas di Kali Gendol sudah sampai sejauh 15 kilometer, karena jalannya sudah sangat mulus seperti jalan tol. Jadi, jika ada awan panas, luncurannya bisa lebih jauh lagi," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya mengimbau masyarakat termasuk relawan untuk mengutamakan keselamatan dan tidak mendekati daerah rawan, bahkan dengan alasan penyisiran dan evakuasi jenazah korban.

"Meskipun sulit dilakukan, saya memberikan rekomendasi kepada para relawan yang melakukan penyisiran di daerah rawan untuk bisa mengutamakan keselamatannya, karena setiap saat awan panas bisa muncul," katanya.



Tak beri kontribusi

Ketua Komisi IX DPR dr Ribka Tjiptaning menilai selama hampir seminggu berada di Yogyakarta, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum memberikan kontribusi dalam penanggulangan bencana letusan Merapi. "Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pergi saja dari daerah bencana ini," katanya, di Stadion Maguwoharjo, Rabu.

Menurut dia, pemerintah daerah sudah mampu mengatasi bencana Merapi, dan keberaadaan BNPB justru semakin membuat kebijakan menjadi terlalu formal dan birokratis.

"Pemerintah daerah saat ini lebih tahu apa yang terjadi dan harus bagaimana. Selain itu, pemerintah daerah juga memiliki sistem yang baik untuk mengatasi bencana ini, keberadaan BNPB justru memperlambat dalam menangani bencana," katanya.

Ia mengatakan pemerintah sendiri sudah memberikan tambahan dana sebesar Rp200 miliar kepada BNPB untuk menangani Merapi. "Namun, sampai saat ini belum sepeserpun yang dialokasikan ke pemerintah daerah. Saya kira dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pindah kantor ke Yogyakarta, persoalan jadi lebih mudah. Namun, kenyataannya kok semakin rumit," katanya.

Untuk itu, agar lebih tepat sasaran, maka serahkan saja persoalan ini kepada pemerintah daerah, karena mereka juga kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. "Pemerintah daerah itu hanya butuh sokongan dana," katanya.

Ribka mengatakan, pihaknya juga mempersoalkan operasional BNPB saat berada di Yogyakarta. "Mereka tidurnya di hotel, dari pada anggaran habis untuk operasional, lebih baik langsung saja berikan ke pemerintah daerah," katanya.

Ia mengatakan BNPB sendiri juga tidak memiliki data akurat mengenai pengungsi yang dapat berdampak serius bagi mereka. "Saat ini barak-barak pengungsi menyebar kemana-mana, BNPB apakah memiliki data itu? Itu hanya pemda yang tahu secara detail," katanya.

Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Sleman, DIY, Rendradi Suprihandoko menambahkan belum ada kontribusi serta nilai tambah selama BNPB ada di daerah bencana. "Semua justru semakin lambat karena sangat birokratis dan formal," katanya.



BNPB sebaiknya jadi kementerian

Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding mengatakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebaiknya dijadikan Kementerian Penanggulangan Bencana, karena wilayah Indonesia rawan bencana.

"Pemerintah sudah saatnya memikirkan pembentukan Kementerian Penanggulangan Bencana yang mempunyai garis instruksi sampai ke bawah," katanya usai mendengarkan paparan mengenai kondisi terkini Gunung Merapi, di Kepatihan Yogyakarta, Rabu.

Ia mengatakan Kementerian Penanggulangan Bencana perlu dibentuk, karena BNPB terkesan berdiri sendiri, dan tidak mempunyai "kaki" hingga ke bawah.

Kondisi itu, menurut dia menyebabkan koordinasi dalam penanggulangan bencana sering berjalan lambat, peralatan pendukung tidak ada, personel kurang, dan garis instruksi tidak jelas.

"Hal itu mengakibatkan kita sulit menanggulangi bencana secara cepat. Oleh karena itu, perlu dibentuk Kementerian Penanggulangan Bencana yang diharapkan dapat melaksanakan tugas itu secara cepat dan baik," katanya.

Selain itu, menurut dia, anggaran untuk penanggulangan bencana juga perlu dinaikkan, sehingga dapat "bergerak" lebih cepat dan baik. Anggaran untuk penanggulangan bencana idealnya Rp10 triliun.

"Anggaran sebesar itu digunakan untuk mitigasi bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi serta rekonstruksi pascabencana," kata Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Ia mengatakan dalam masa tanggap darurat bencana Gunung Merapi di DIY dan Jateng, pemerintah daerah perlu memperhatikan dan mengawasi kesehatan puluhan ribu pengungsi yang telah menghuni tempat penampungan selama hampir dua pekan.

"Pemerintah daerah juga diminta memiliki posko pendataan pengungsi agar pemenuhan kebutuhan di setiap tempat penampungan dapat segera dipenuhi," katanya.



Lumpuhkan perekonomian

Bencana letusan Gunung Merapi menyebabkan perekonomian di tiga kecamatan di Kabupaten Sleman, DIY, lumpuh total, sehingga menyebabkan kerugian besar.

"Tiga kecamatan yang rusak paling parah yaitu Turi, Pakem, dan Cangkringan. Perekonomian di tiga kecamatan itu kini lumpuh total, karena ratusan industri saat ini tidak bisa berproduksi," kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Sleman Pranowo, di Sleman, Rabu.

Menurut dia, jumlah kerugian akibat tidak beroperasinya sejumlah industri yang berada di ketiga kecamatan tersebut hingga kini belum diketahui. Kemungkinan mencapai puluhan miliar rupiah

"Perkiraan kami kerugiaan mencapai puluhan miliar rupiah, karena industri-industri yang berada di radius 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi sudah tidak bisa produksi. Kami masih melakukan inventarisasi dan akan mendata kerugian," katanya.

Ia mengatakan inventarisasi tersebut meliputi bahan baku industri, stok barang, dan peralatan produksi. "Setelah inventarisasi selesai kami akan melaporkan ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk dimintakan bantuan ke pemerintah pusat, terutama untuk alat-alat industri yang rusak saja. Kalau tidak, nanti hanya akan mendapatkan bahan baku dan stok barang," katanya.

Pranowo mengatakan dari pendataan Disperindagkop Sleman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III untuk Kecamatan Cangkringan di Umbulharjo ada 110 industri dengan nilai produsksi Rp6,87 miliar, Kepuharjo ada 79 industri dengan nilai produksi Rp6 miliar. Kemudian Umbulharjo 110 industri dengan nilai produski Rp7 miliar dan Glagaharjo 102 industri dengan nilai produski Rp7,5 miliar.

Sementara itu, untuk Kecamatan Turi ada 281 indutri dengan nilai produksi Rp14,8 miliar dan Pakem ada 109 industri dengan nilai produksi Rp6 miliar, katanya.

Kalangan pengungsi di tempat pengungsian yang mempunyai sapi mati akibat letusan awan panas Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, DIY, meminta pemerintah segera merealisasikan janji penggantian sapi milik mereka.

"Kami senang ada kabar pemerintah berjanji mau mengganti sapi milik warga yang menjadi korban letusan awan panas Gunung Merapi. Namun ini hingga kini pendataan belum ada," kata Sarjono (51), warga Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yang mengungsi di Stadion Maguwoharjo Sleman, Rabu.

Ia mengatakan lebih dari 450 ekor sapi di desanya mati akibat letusan awan panas gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. "Sapi milik warga semua mati terekan awan panas erupsi Merapi. Kami minta pendataan melibatkan kepala dusun agar data yang diperoleh akurat," katanya.

Sarjono mengaku meskipun harga pembelian sapi yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari harga pasaran, maka semua warga dipastikan bersedia menerima tawaran pemerintah. "Warga menerima tawaran pemerintah daripada sama sekali tidak diganti. Kalau nanti Merapi sudah tenang dan warga kembali ke desa bisa untuk memulai ternak sapi lagi nanti kalau," katanya.

Warga di pengungsian mengatakan kisaran harga di pasaran untuk sapi perah dewasa yang produktif berkisar antara Rp 15,5 juta hingga Rp 17,5 juta. Namun pemerintah berencana membeli sapi perah warga seharga Rp 10 juta per ekor, sedangkan penggantian sapi mati diberikan sama seperti membeli sapi hidup.

Namun, mayoritas pengungsi yang sapinya masih hidup berpikir ulang untuk menjual ke pemerintah karena harga yang ditawarkan jauh di bawah harga pasar karena sapi pedaging, misalnya, pemerintah mengalokasikan Rp20.000 per kilogram daging dari harga pasaran yang bisa mencapai Rp50.000 per kilogram. Harga tersebut bisa semakin naik menjelang Hari Raya Idul Adha.

Peternak lain dari Dusun Kepuharjo Salijo (53) mengharapkan pemerintah bisa mengganti delapan sapi perahnya yang mati akibat terjangan awan panas. "Sapi perah bisa menghasilkan 25 liter hingga 35 liter susu per hari dengan harga per liter susu sapi segar Rp3.000," katanya.

Dengan adanya rencana pemerintah akan mengganti sapi korban letusan awan panas Merapi, katanya, bisa membuat warga korban Merapi di tempat pengungsian menjadi tenang "Warga akan tenang dan tidak mikir lagi sapi-sapinya yang mati karena membeli sapi itu juga hasil dari kredit," katanya.

Sebelumnya Menteri Pertanian Suswono mengatakan pemerintah akan membeli semua ternak warga lereng Merapi yang berada di radius 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Pemerintah menentukan harga sapi milik warga korban bencana erupsi Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, mulai dari Rp5 juta hingga Rp10 juta per ekor.

Penentuan harga sapi hidup itu berdasarkan beberapa kriteria, di antaranya jenis kelamin dan ukuran. Jika para pemilik sapi bersedia, maka pemerintah akan membelinya.



94.615 pengungsi

Pengungsi bencana letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman sampai 9 November 2010 pukul 19.00 WIB tercatat sebanyak 94.615 orang yang menyebar hingga ke wilayah kabupaten/Kota tetangga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Di wilayah Sleman sendiri tercatat 80.155 orang, dan di luar wilayah Kabupaten Sleman tetapi masih di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta (DIY) sebanyak 14.460 rang," kata Komandan Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Kabupaten Sleman Widi Sutikno, Rabu.

Menurut dia, dari ratusan titik lokasi pengungsi di Sleman terdapat empat titik pengelolaan pengungsi terbesar yakni Stadion Maguwoharjo dengan Ketua Pengelola Camat Pakem Budiharjo, Gedung Youth Center di Kecamatan Mlati dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Pemerintahan Desa Joko Supriyanto, GOR Sleman dengan Ketua Pengelola Kabag Administrasi dan Pengendalian Pembangunan Agung Armawanta serta Masjid Agung Sleman dan sekitarnya dengan Ketua Pengelola Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Jazim Sumirat.

"Di luar keempat tempat tersebut, semua camat di 14 kecamatan di luar tiga wilayah bencana yakni Turi, Pakem dan Cangkringan menjadi ketua pengelola pengungsi di wilayah masing-masing," katanya.

Ia mengatakan para ketua pengelola tempat pengungsian tersebut bertanggung jawab atas pelaksanaan koordinasi dan pengendalian tempat pengungsi yang di dalamnya menyangkut sarana prasarana, kesehatan, relawan dan dapur umum.

"Pengungsi dari warga Sleman yang berada di luar wilayah Kabupaten Sleman diketuai Dwi Supriyanto yang bertugas memantau pengungsi, tempat pengungsian, data pengungsi, serta kebutuhan logistik, sarana dan prasarana dan kesehatan pengungsi serta mengkoordinasikan penanganan pengungsi dengan Pemerintah Provinsi DIY, pemerintah kabupaten/kota setempat dan tempat pengungsian,` katanya.

Widi mengatakan mekanisme penyaluran logistik dan bantuan kepada pengungsi, dari posko utama di stadion Maguwoharjo dan gudang logistik di gedung eks STM Dikpora Tridadi Sleman, akan dilakukan oleh para ketua pengelola tempat pengungsian.

"Para pengelolala titik-titik pengungsian yang menyebar di beberapa tempat seperti kampus, masjid, rumah penduduk yang memerlukan bantuan dimohon berkoordinasi dengan kepala desa setempat yang akan diakomodasi para pengelola tempat pengungsian," katanya.

Menurut dia, mekanisme ini diperlukan untuk memperlancar pelayanan baik bidang kesehatan, sarana prasarana maupun logistik dan sekaligus untuk pengendalian dari kemungkinan pemanfaatan oleh oknum yang tidak betanggung jawab.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman berencana membuat "shelter" untuk para pengungsi korban bencana erupsi Gunung Merapi yang rumahnya rusak dan tidak dapat dihuni lagi.

"Rencana pembuatan `shelter` untuk para pengungsi korban Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saat ini masih dalam tahap pembahasan," kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia usai menerima kunjungan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipimpin Abdul Kadir Karding, pembahasan itu menyangkut lokasi, jumlah, dan anggaran untuk pembuatan "shelter".

"Lokasi pembuatan `shelter` akan dibicarakan dengan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta untuk menentukan zona yang aman dari luncuran awan panas," katanya.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi dan Sumber Daya Mineral DIY Rani Sjamsinarsi mengatakan pembuatan "shelter" untuk pengungsi Merapi itu seperti yang dilakukan di Kabupaten Bantul, DIY, ketika terjadi gempa bumi pada 2006.

"Hal itu dimaksudkan agar pengungsi korban Merapi yang tidak mempunyai rumah lagi dapat tinggal di `shelter` sambil menunggu hasil pendataan tanah hunian di kawasan Merapi dinyatakan masih bisa dihuni sebagai tempat tinggal atau tidak," katanya.

Ia mengatakan pada tahap awal rehabilitasi dan rekonstruksi direncanakan dibuat 345 "shelter" bagi warga Kinahrejo dan Kepuharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman. Jumlah itu kemungkinan bertambah, karena masih ada yang belum terdata.

"Kami masih menunggu pelaksanaan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana erupsi Merapi itu dimulai. Apalagi, saat ini belum ditentukan apakah warga di kawasan rawan bencana III jadi direlokasi atau tidak," katanya.



Pendampingan 2.030 anak pengungsi

Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta baru bisa melakukan pendampingan sebanyak 2.030 anak usia dini di 20 lokasi pengungsian korban letusan Gunung Merapi.

"Kami hingga kini baru bisa mendampingi 2.030 anak usia dini. Jumlahnya belum bisa lebih dari itu karena lokasinya tersebar," kata Kepala Bidang Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta Endra Santoso, di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, lokasi pengungsian yang tersebar di sejumlah tempat dan terletak cukup jauh menjadi kendala dalam memberi pendampingan anak usia dini yang berada di pengungsian.

Ia mengatakan, jumlah pendamping dari Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) yang diterjunkan ke pengungsian hingga kini baru 160 orang, namun diupayakan ada tambahan tenaga sehingga lokasi pendampingan bisa semakin banyak.

"Kami juga akan berupaya meminta tambahan alat peraga edukatif ke pemerintah pusat untuk diberikan kepada anak-anak usia dini di tempat pengungsian agar mereka bisa belajar. Kami masih membutuhkan alat peraga edukatif yang banyak," katanya.

Ia memperkirakan ada sebanyak 16.000 siswa pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, dans ekolah dasar yang terpaksa hidup di pengungsian akibat letusan gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Disdikpora mencoba bekerja sama dengan berbagai pihak agar anak-anak tersebut bisa mendapatkan pendidikan meskipun berada di pengungsian, katanya.

Dia mengatakan, berdasarkan data, jumlah siswa pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak mencapai 3.095 orang, sedangkan siswa usia sekolah dasar mencapai 13.080 orang.

Ia mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Himpaudi untuk memberikan pendidikan, melakukan permainan edukatif, dan bimbingan psikologis kepada anak-anak usia dini dan taman kanak-kanak.

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahaga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperkirakan ada sebanyak 16.000 siswa pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar yang terpaksa hidup di pengungsian akibat letusan Gunung Merapi.

"Kami mencoba berkerja sama dengan berbagai pihak agar anak-anak tersebut tetap mendapatkan pendidikan meskipun berada di pengungsian," kata Koordinator Penanggulangan Bencana Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY Sri Widayati di Yogyakarta, Rabu.

Menurut data dari Dinas Dikpora DIY jumlah siswa pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak mencapai 3.095 orang, sedangkan siswa usia sekolah dasar mencapai 13.080 orang.

Ia mengatakan pihaknya telah bekerja sama dengan Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) untuk memberikan pendidikan, melakukan permainan edukatif dan bimbingan psikologis kepada anak-anak usia dini dan taman kanak-kanak.

Khusus untuk anak sekolah dasar, ia mengatakan akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di kota dan kabupaten di DIY agar bisa menampung anak-anak usia sekolah yang berada di pengungsian.

"Anak-anak sekolah tersebut diharapkan dapat bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat pengungsiannya. Kota dan kabupaten lain menyatakan sudah siap," katanya.

Selain itu, di pengungsian juga terdapat 296 siswa sekolah luar biasa, baik yang mengalami cacat fisik maupun mental.

Bagi siswa yang mengalami cacat fisik, lanjut dia, dapat bergabung dengan SLB terdekat namun bagi siswa dengan keterbelakangan mental akan diupayakan guru pendamping.

Kepala Bidang Pendidikan Nonformal dan Informal Dinas Dikpora DIY Endra Santosa mengatakan baru bisa melakukan pendampingan anak usia dini di 20 lokasi pengungsian dan melayani 2.030 anak usia dini.

Lokasi pengungsian yang tersebar di sejumlah tempat dan terletak cukup jauh menjadi kendala dalam pendampingan anak usia dini. "Jumlah pendamping dari Himpaudi yang diterjunkan ke pengungsian ada sekitar 160 orang, tetapi diupayakan ada tambahan tenaga sehingga lokasi pendampingan bisa semakin banyak," katanya yang akan berupaya meminta tambahan alat peraga edukatif ke pemerintah pusat. (E013*V001*B015/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010