Jakarta (ANTARA) - Dua lembaga negara mengajukan surat keberatan terhadap Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI terkait adanya dugaan penyimpangan prosedur proses peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

LAHP tersebut disampaikan ke publik pada 21 Juli 2021 dan selanjutnya pada 6 Agustus 2021, KPK menyampaikan surat keberatan ke Ombudsman. Seminggu kemudian yaitu 13 Agustus 2021 giliran Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang mengirimkan surat keberatan.

Keberatan tersebut memang diatur pasal di 25 ayat 5b dan 6b Peraturan Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang tata cara penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian laporan yaitu bila terdapat keberatan dari terlapor/pelapor terhadap LAHP
maka keberatan disampaikan kepada Ketua Ombudsman.

Keberatan KPK

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan pihaknya mengajukan keberatan karena tindakan-tindakan korektif yang diminta Ombudsman kepada KPK tidak logis dan konsisten.

"Mengingat tindakan korektif yang harus dilakukan oleh terlapor didasarkan atas pemeriksaan yang melanggar hukum, melampaui wewenangnya, melanggar kewajiban hukum untuk menghentikan dan tidak berdasarkan bukti serta tidak konsisten dan logis, oleh karena itu kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman RI," kata Ghufron dalam konferensi pers pada 6 Agustus 2021.

Apalagi menurut Ghufron, Ombudsman dianggap tidak berhak untuk menilai rekrutmen pegawai suatu lembaga yang dinilai sebagai urusan internal lembaga tersebut, sementara kewenangan Ombudsman adalah mengurus pelayanan publik atau jasa dari lembaga publik tersebut.

Ia pun menjabarkan 13 butir keberatan KPK. Pertama, pokok perkara yang diperiksa Ombudsman RI merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Peraturan KPK (Perkom) Nomor 1 Tahun 2020 merupakan kompetensi absolut Mahkamah Agung dan saat ini sedang dalam proses pemeriksaan.

Ghufron mengatakan ketika ada lembaga yang ikut memeriksa Perkom tersebut atau mendahuluinya harus dipandang melanggar konstitusi sehingga temuan Ombudsman atas pembentukan perkom cacat administrasi.

Kedua, Ombudsman RI melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.

"Maka kalau ada pemeriksaan terhadap materi yang sama, secara fungsional akan mengganggu kebebasan hakim dalam berikan keputusan dan sebagaimana pasal 36 UU No. 37 2008 tentang Ombudsman RI, Ombudsman memiliki kewajiban hukum untuk menolak laporan yang sedang jadi objek pemeriksaan pengadilan, harus menolak," tutur Ghufron.

Ketiga, "legal standing" pelapor bukan masyarakat penerima layanan publik KPK sebagai pihak yang berhak melapor dalam pemeriksaan Ombudsman RI.

Ia meyakini urusan rekrutmen dan mutasi kepegawaian merupakan urusan internal yang bila ingin dipermasalahkan maka harus dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan bukan ke Ombudsman.

Keempat, pokok perkara pembuatan peraturan alih status pegawai KPK, pelaksanaan TWK, dan penetapan hasil TWK yang diperiksa oleh Ombudsman RI bukan perkara pelayanan publik. "Pelapornya bukan penerima layanan KPK, juga pokok perkaranya bukan perkara layanan publik," ungkap Ghufron.

Kelima, pendapat Ombudsman RI yang menyatakan ada penyisipan materi TWK dalam tahapan pembentukan kebijakan tidak didasarkan bahkan bertentangan dengan dokumen, keterangan saksi, dan pendapat ahli dalam LAHP.

Keenam, pendapat Ombudsman RI yang menyatakan pelaksanaan rapat harmonisasi tersebut dihadiri pimpinan kementerian/lembaga yang seharusnya dikoordinasikan dan dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang terjadi dalam penandatangan Berita Acara Pengharmonisasian yang dilakukan oleh pihak yang tidak hadir pada rapat harmonisasi tersebut.

"Yang hadir di rangkaian harmonisasi dalam 5 kali rapat ada juga dirjen dan kabiro tapi rapat final kami, pimpinan yaitu saya dan ketua hadir, apakah itu salah? Yang memberi delegasi saya kepada kabiro hukum, sewaktu-waktu ketika saya sendiri yang tidak salah menurut hukum," ujar Ghufron.

Ketujuh, fakta hukum rapat koordinasi harmonisasi yang dihadiri atasannya yang dinyatakan sebagai malaadministrasi, dilakukan juga oleh Ombudsman RI dalam pemeriksaan.

"Saat saya dimintai klarifikasi oleh Ombudsman, mestinya pelaksananya adalah deputi keasistenan, tapi yang hadir adalah Pak Robert Na Endi Jaweng, seorang komisioenr, padahal aturan sendiri deputi keasistenan, sama seperti saya hadir harmonisasi di Kemenkumham, jadi Ombudsman juga melakukan malaadministrasi," kata Ghufron.

Kedelapan, pendapat Ombudsman Rl yang menyatakan KPK tidak melakukan penyebarluasan informasi Rancangan Peraturan KPK melalui Portal Internal KPK bertentangan dengan bukti.

Ghufron menyebut sejak 30 November 2020, rancangan peraturan KPK yang memuat soal TWK sudah dimasukkan dalam portal internal KPK.

Kesembilan, pendapat Ombudsman Rl berkaitan tentang terdapat nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN tentang tahapan pelaksanaan asesmen TWK tidak relevan karena tidak pernah digunakan dan tidak ada konsekuensi hukumnya dengan keabsahan TWK dan hasilnya.

Baca juga: 13 poin keberatan KPK atas hasil pemeriksaan Ombudsman

Baca juga: Akademisi sebut KPK tak membantah langgar administrasi atau tidak


"Kalaupun, misalnya, ya, kalau benar dibiayai KPK, pembiayaan itu tidak berpengaruh pada pelaksaan dan hasil tes," ungkap Ghufron.

Kesepuluh, pendapat Ombudsman Rl yang menyatakan telah terjadi malaadministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti.

"Kalau BKN dianggap tidak kompeten, kemudian kepada siapa lagi KPK akan meminta TWK ini? Ini kan tidak logis. Peraturan telah memberi wewenang ke BKN, terus dinyatakan tidak kompeten, lantas kepada siapa kami minta TWK kalau BKN menolak?" tanya Ghufron.

Kesebelas, pendapat Ombudsman RI yang menyatakan bahwa KPK tidak patut menerbitkan Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 652 Tahun 2021 karena merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN tidak berdasar hukum.

Kedua belas, pendapat Ombudsman Rl berkenaan dengan berita acara tanggal 25 Mei 2021 bahwa Menpan RB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, lima Pimpinan KPK, Ketua KASN, dan Kepala LAN telah melakukan pengabaian terhadap pernyataan Presiden dan telah melakukan tindakan malaadministrasi berupa penyalahgunaan wewenang terhadap kepastian status dan hak untuk mendapatkan perlakukan yang adil dalam hubungan kerja tidak berdasar hukum.

Ghufron menilai bahwa rapat 25 Mei 2021 di BKN tersebut malah merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi.

Ketiga belas, tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman RI tidak memiliki hubungan sebab akibat (causalitas verband) bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LAHP.

"Kalau perkom batal, konsekuensinya adalah pelaksanaannya salah hasilnya salah, tapi yang direkomendasikan Ombudsman perkom tidak sesuai prosedural tapi meminta agar mengangkat 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat, mestinya kalau proses pembentukan perkom salah, dites ulang, bubar itu semua," kata Ghufron.

Keberatan BKN

Sedangkan BKN pada 13 Agustus 2021 menjelaskan bahwa tindakan korektif yang diusulkan Ombudsman kepada BKN pun sebenarnya sudah masuk ke dalam rencana strategis (renstra) 2020-2024 sehingga tidak perlu dilakukan koreksi.

Wakil Ketua BKN Supranawa Yusuf juga menyampaikan empat keberatan BKN terkait empat kesimpulan Ombdusman.

"Pertama, pelaksanaan rapat harmonisasi terakhir yang dihadiri oleh pimpinan kementerian dan lembaga yang seharusnya dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham. Nah atas pernyataan tersebut BKN menyatakan keberatan," ucap Suprnawa.

Baca juga: Waka BKN tegaskan hasil TWK KPK dokumen rahasia

Baca juga: BKN jabarkan empat keberatan atas laporan Ombudsman terkait TWK KPK


Supranawa mendasarkan pada UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pasal 13 ayat 5 yang menyatakan badan dan atau pejabat pemerintah yang memberikan delegasi dapat menggunakan sendiri delegasi tersebut.

Apa yang dilakukan Kepala BKN saat itu Bima Haria Wibisana dalam rapat harmonisasi sama sekali tidak menyalahi kewenangan dan prosedur.

Keberatan kedua adalah mengenai BKN tidak kompeten melaksanakan asesmen TWK karena pelaksanaan asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) telah sesuai dengan kewenangan BKN dalam melaksakan penilaian ASN sebagaimana pasal 48 huruf P UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN.

Penunjukan lembaga dan penggunaan tenaga ahli serta asesor yang punya kompetensi khusus dari instansi pemerintahan yaitu dari Dinas Psikologi TNI AD, Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Pusintel AD, BNPT dan BIN. Menurut Supranawa, tindakan tersebut yang sah dan dibenarkan berdasarkan UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Ketiga, pernyataan terkait nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN. Tidak digunakannya nota kesepahaman dan kontrak swakelola tersebut karena anggarannya tidak jadi anggaran KPK maka itu adalah hal yang lazim, bisa dicek apakah ada proses penagihan nota," ungkap Supranawa.

Ia menjelaskan dengan tidak digunakannya nota dan kontrak swakelola, BKN menyatakan tidak ada pengaruh terhadap hasil TWK karena penilaian kompetensi ASN memang sesuai mandat BKN.

"Keempat mengenai Kepala BKN mengabaikan amanat presiden 17 Mei 2021, kami keberatan dengan dasar bahwa arahan presiden sudah ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi rapat tindak lanjut di BKN pada 25 Mei 2021," ujarnya.

Hasil dari rapat 25 Mei 2021 tersebut adalah ada 24 dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus dapat diberikan pelatihan wawasan kebangsaan.

Supranawa mengaku bahwa pihak yang bisa menilai apakah telah terjadi pengabaian atau tidak adalah presiden sendiri selaku pemberi arahan dan pimpinan instansi yang menerima arahan.

"Bukan pihak lain, karena itu kami sangat keberatan atas pernyataan Ombudsman tersebut," kata Supranawa.

Tanggapan pegawai KPK

Sedangkan perwakilan pegawai KPK yang mengajukan aduan kepada Ombudsman RI mengatakan seharusnya pimpinan KPK maupun BKN tidak menjadikan hasil TWK sebagai dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes.

"Sesuai pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Kami minta kepada para pihak yang terkait khususnya pimpinan KPK, Menteri PAN RB dan juga Kepala BKN untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes," kata pegawai KPK non-aktif Hotman Tambunan.

Ia berpendapat masih ada peluang untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan dan perlu segera dilakukan langkah-langkah perbaikan pada tingkat individual maupun organisasi.

Sejatinya, sebanyak 18 orang dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK tersebut pun sedan mengikuti pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan di Universitas Pertahanan Sentul, Bogor, ini akan berlangsung selama 40 hari sejak 22 Juli 2021.

Awalnya KPK memberi kesempatan terhadap 24 pegawai untuk mengikuti diklat tersebut, namun enam orang pegawai menolak. Sementara sisanya 57 orang pegawai dinyatakan "merah" atau akan diberhentikan dengan hormat pada 1 November 2021.

"Jika memang para pimpinan lembaga negara serius menindaklanjuti dan melaksanakan arahan Presiden, seharusnya tidak terjadi pemisahan 51 pegawai yang tidak dapat dibina dan 24 pegawai yang masih dapat dibina sebab secara nyata Presiden mengatakan bahwa 75 Pegawai TMS tidak dapat diberhentikan melalui asesmen TWK," papar Hotman.

Hotman pun meminta agar pimpinan KPK tidak perlu mencari-cari alasan dan merasa paling berkuasa kepada pegawai sehingga melanggar hukum pun untuk memberhentikan pegawai pun merasa tidak apa apa.

"Sebagai penegak hukum KPK harus taat hukum, taat pada semua peraturan, bukan memilih aturan yang akan dipatuhi. Pimpinan KPK haruslah menjadi panutan dan model dalam proses kepastian dan ketaatan pada hukum," ungkap Hotman.

Terlepas dari keberatan dan tanggapan yang sahut-menyahut tersebut, pada 4 Agustus 2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memberikan penghargaan Tasrif Award 2021 kepada 57 pegawai yang tidak lolos TWK.

Tasrif Award diberikan kepada individu/kelompok/lembaga yang gigih menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan nilai-nilai keadilan serta demokrasi sesuai dengan nama Bapak Kode Etik Jurnalistik Indonesia Suardi Tasrif yang semasa hidupnya tak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan pers.

Baca juga: Ini kata pegawai KPK soal pelayanan publik dalam TWK

Sejumlah 57 Pegawai KPK tersebut tidak sendirian menerima Tasrif Award karena dewan juri juga memberikan penghargaan tersebut kepada Lapor COVID-19.

"57 pegawai KPK yang tidak lulus TWK dan melakukan perlawanan, telah mewakili semangat Suardi Tasrif dalam memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan mengungkap problem ketidakadilan atas isu HAM seperti diskriminasi agama, keyakinan dan gender. Sedangkan Lapor COVID-19 telah memperkuat upaya masyarakat sipil untuk memperjuangkan hak informasi dengan cara-cara damai, menjadi jembatan pencatatan yang mewakili suara-suara warga untuk memperbaiki kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemik," demikian disebutkan dewan juri dalam keterangan tertulis.

Saat ini, pegawai KPK maupun publik masih menunggu respon Ombudsman RI terhadap keberatan dua lembaga negara tersebut.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021