Tim 75 mempertanyakan putusan Dewas yang tidak melanjutkan pengaduan terhadap pimpinan, ke sidang etik
Jakarta (ANTARA) - Perwakilan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ingin membantu Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk mengumpulkan bukti terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Pimpinan KPK.

"Kami akan membantu Dewas dan akan memberikan data dan informasi lebih lanjut sebagai bukti baru, sehingga Dewas bisa lebih utuh melihat permasalahan ini, apalagi dengan adanya temuan-temuan dari Ombudsman RI," kata anggota Tim 75 Rizka Anung Nata, di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, Dewas KPK menyatakan tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan ke sidang etik terkait dugaan pelanggaran etik lima orang Pimpinan KPK terkait pelaksanaan TWK yang dilaporkan para pegawai.

Laporan dilayangkan oleh para pegawai KPK yaitu Yudi Purnomo, Abdan Syakuro, dan Nita Adi Pangestuti. Sedangkan pihak terlapor adalah Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar.

"Tim 75 mempertanyakan putusan Dewas yang tidak melanjutkan pengaduan terhadap pimpinan, ke sidang etik," ujar Rizka.

Menurut Rizka, para pelapor telah menerima surat jawaban dari Dewas yang ditandatangani Albertina Ho pada Kamis (22/7).

"Kami menganggap 'tidak cukup bukti' adalah alasan yang sangat mengada-ada, sebab Dewas memiliki wewenang penuh untuk mencari bukti, dari data awalan yang kami sampaikan saat pengaduan. Dewas punya posisi yang sangat kuat di internal KPK sebagai lembaga yang ditunjuk untuk mengawasi KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, termasuk dalam hal kepegawaian," kata Rizka pula.

Rizka menilai hasil pemeriksaan Dewas KPK sangat berbeda dengan hasil pemeriksaan Ombudsman RI yang telah dipaparkan sebelumnya.

"Padahal keduanya disajikan data dan bukti yang sama saat Tim 75 mengadukan dugaan pelanggaran oleh Pimpinan KPK. Perbedaan putusan ini kami duga terjadi karena Ombudsman RI lebih memiliki niat dan kemauan untuk mengungkap kebenaran dan pelanggaran yang terjadi," ujar Rizka.

Sedangkan Dewas KPK disebut sangat bersifat pasif dan tidak berusaha menggali informasi lebih dalam.

"Bahkan dalam melakukan pemeriksaan pelapor kami merasakan Dewas lebih terlihat sebagai pengacara yang membela pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pimpinan sebagai terlapor, padahal jika pegawai yang dilaporkan kesannya tidak demikian," kata Rizka.

Putusan untuk tidak melanjutkan aduan Tim 75 ke sidang etik tersebut, menurut Rizka merupakan kali kedua setelah sebelumnya hal yang sama juga diungkapkan Dewas atas aduan terhadap Anggota Dewas KPK Indrianto Seno Aji.

"Kami berharap, satu lagi aduan Tim 75 yang sedang diproses yakni tentang dugaan pelanggaran etik oleh Pimpinan KPK, LPS (Lili Pintauli Siregar) tidak berakhir sama dengan kurang bukti sebab dugaan pelanggaran etiknya terjadi secara terang-benderang," kata Rizka.

Pada Rabu (21/7), Ombudsman RI mengatakan terjadi malaadministrasi dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Dalam laporannya, Ombudsman menemukan malaadministrasi yang dilakukan KPK dan pihak terkait lainnya dalam tiga hal, yaitu pertama rangkaian proses pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN.

Kedua, proses pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN, dan ketiga, penetapan hasil asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Baca juga: KPK kerja sama dengan LAN-Kemenhan gelar diklat ASN dan bela negara
 

Perbuatan malaadministrasi tersebut antara lain pertama, asesmen untuk pegawai KPK berbentuk TWK dilakukan dengan menyisipkan klausul baru pada akhir-akhir harmonisasi yaitu pada Januari 2021.

Kedua, rapat harmonisasi pada 26 Januari 2021 yang cukup dihadiri Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) malah dihadiri oleh Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Biroraksi (PAN-RB), dan Menteri Hukum dan HAM.

Ketiga, lima orang pimpinan lembaga dan kementerian yang hadir itu tidak menandatangani berita acara harmonisasi. Pihak yang menandatangani berita acara malah para pejabat yang tidak hadir, yaitu Kabiro Hukum KPK dan Direktur Perundangan Kemenkumham.

Keempat, KPK tidak memberikan ruang pegawai KPK menyampaikan aspirasi dan pendapat dalam penyelarasan produk hukum.

Kelima, Nota Kesepahaman Pengadaan Barang dan Jasa pelaksanaan TWK antara Sekjen KPK dan Kepala BKN ditandatangani pada 8 April 2021, sedangkan kontrak swakelola pada 25 April 2021. MoU dan kontrak itu dibuat dengan tanggal mundur (back date) menjadi 27 Januari 2021.

Keenam, BKN yang memberikan masukan tertulis pelaksanaan TWK oleh KPK bekerja sama dengan BKN, meski BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen dan asesor untuk melaksanakan asesmen tersebut.

Ketujuh, Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tidak memuat ketentuan konsekuensi jika pelaksanaan TWK ada pegawai tidak memenuhi syarat.

Kedelapan, Surat Keputusan Ketua KPK No. 652 Tahun 2021 yang menetapkan 75 pegawai Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk alih status Pegawai KPK menjadi ASN bertentangan dengan Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 sekaligus bentuk pengabaian KPK terhadap terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan yang menyatakan bahwa hasil TWK tidak serta merta menjadi dasar untuk memberhentikan 75 orang pegawai KPK.
Baca juga: Ombudsman minta 75 pegawai KPK tidak lolos TWK dialihkan menjadi ASN
Baca juga: Ombudsman temukan maladministrasi pada peralihan pegawai KPK jadi ASN


Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021