Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha mengungkapkan pencurian data yang masih terjadi di Indonesia belum mendorong pemerintah dan DPR RI mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, padahal tingkat keamanan siber akan berpengaruh pada minat investor.

"Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) hingga sekarang belum rampung. Kalaupun sudah selesai, perlu membaca secara cermat apakah isinya cukup kuat untuk melindungi masyarakat atau malah sebaliknya," kata Pratama Persadha melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Minggu pagi.

Baca juga: Perlu mitigasi risiko guna halau serangan siber

Baca juga: Pakar: Waspadai kebocoran data satu miliar profil pengguna medsos


Menurut Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini, tanpa undang-undang tersebut semua pengendali data pribadi (penyedia platform) tidak ada petunjuk sejauh mana pengamanan harus dilakukan dan standar macam apa yang harus mereka gunakan.

Oleh karena itu, kata Pratama, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi termasuk salah satu yang wajib dikebut penyelesaiannya hingga menjadi undang-undang.

"Dengan kondisi saat ini, perlindungan pada data pribadi masyarakat di Tanah Air sangat rendah," kata Pratama yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi BSSN.

Situasi seperti ini, kata Pratama, sebenarnya tidak sehat, apalagi bila pemerintah menginginkan banyak investor masuk. Masalahnya, mereka akan melihat bagaimana perlindungan negara pada data penduduknya.

Hal itulah, lanjut dia, yang menjadikan peringkat Indonesia rendah di NCSI (National Cyber Security Index) yang dibuat oleh Estonia. Data NCSI pada Minggu (6/6) pagi menunjukkan Indonesia di peringkat ke-77 atau turun dari sebelumnya yang berada di peringkat ke-72.
Tangkap layar data NCSI pada Minggu (6/6) pagi menunjukkan Indonesia di peringkat ke-77 atau turun dari sebelumnya yang berada di peringkat ke-72. ANTARA/HO-CISSReC


Ia menyebutkan salah satu yang menyebabkan peringkat serendah itu adalah ketiadaan regulasi tentang perlindungan data pribadi dan regulasi penguatan pertahanan siber nasional.

Menjawab hal yang terkait dengan makin banyak aplikasi pada masa pandemik COVID-19 di tengah kesadaran berkeamanan siber masih rendah, Pratama menegaskan bahwa pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pertama adalah UU Perlindungan Data Pribadi.

Tidak pelak lagi, kata dia, banyak peristiwa kebocoran data pribadi namun tidak jelas apa bentuk pertanggungjawaban secara hukum dan langkah-langkah teknis dari negara maupun swasta.

Apalagi, sejauh ini tidak ada regulasi yang melindungi data pribadi secara kuat. Akibatnya, bisa banyak terjadi kebocoran data, baik di lembaga negara maupun swasta, tetapi tidak ada yang bertanggung jawab, tidak ada evaluasi, dan tidak ada ganti rugi bagi masyarakat.

Pratama lantas mengingatkan warganet ketika memilih aplikasi maupun situs internet harus selektif, terlebih dahulu melihat review pada aplikasi. Bila mencurigakan, lebih baik tidak menginstalnya.

"Bila masuk aplikasi dan situs diminta masukkan berbagai data yang tidak relevan, sebaiknya hindari saja karena ditakutkan itu adalah aplikasi dan situs phishing," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Baca juga: Pakar keamanan siber dukung Presiden dan DPR revisi pasal karet UU ITE

Baca juga: Perusahaan negara dianjurkan libatkan BSSN terkait forensik digital

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021