Jakarta (ANTARA) - Hari-hari ini publik disuguhi wacana seputar vaksin produksi dalam negeri yang menghangatkan banyak kalangan, tidak saja di dunia kesehatan, melainkan juga yang non-kesehatan.

Bicara soal vaksin buatan dalam negeri, meski belum resmi bisa dipakai untuk program vaksinasi anti-COVID-19, maka rujukannya adalah ada dua.

Pertama, adalah Vaksin Merah Putih. Penelitian Vaksin Merah Putih dilakukan oleh enam lembaga di dalam negeri. Mereka adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijikman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan empat universitas, yakni UI, UGM, ITB, dan Unair.

Sementara, untuk uji klinisnya, produksi dan pendistribusian diserahkan kepada perusahaan BUMN PT Bio Farma.

Terkait Vaksin Merah Putih ini, Kepala Biologi Molekuler Eijkman Profr Amin Subandrio di Jakarta, Sabtu (17/4) memberi pernyataan bahwa tahapan uji klinis fase 1 baru akan dimulai menjelang akhir 2021 atau kuartal 4, dan saat ini sedang dalam tahap uji praklinis.

Kedua, adalah Vaksin Nusantara. Vaksin ini, penggagasnya adalah tim peneliti dari PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat (AS) dan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Semarang.

Hal menarik dari Vaksin Nusantara ini, tentu saja adanya nama mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di dalamnya. Vaksin itu disebut sudah memasuki serangkaian tahap uji klinis fase dua.

Tatkala mendampingi kunjungan kerja anggota Komisi IX DPR di RSUP dr Kariadi Semarang, Selasa (16/2), Terawan Agus Putranto mengatakan bahwa Vaksin Nusantara bersifat personal dan efektif untuk segala usia, mulai dari anak-anak hingga di atas 60 tahun, termasuk bisa digunakan untuk semua penyakit penyerta (komorbid).

Keinginan untuk bisa memiliki dan memproduksi vaksin di dalam negeri, sebenarnya juga menjadi komitmen dari Presiden Joko Widodo.

Guna mempercepat penanganan COVID-19 di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tanggal 3 September 2020 telah membentuk Tim Pengembangan Vaksin COVID-19.

Tim inilah yang bertugas mengembangkan Vaksin COVID-19 produksi dalam negeri yang diberi nama Vaksin Merah Putih. Vaksin produksi sendiri itu, tujuannya untuk menciptakan kemandirian pemenuhan kebutuhan vaksin COVID-19 ke depan.


Saling respons

Sejauh ini, untuk Vaksin Merah Putih, perkembangannya bisa disebut on the track, karena proses uji pra-klinis dan menuju uji klinis fase 1 sedang dan terus berlangsung.

Justru, Vaksin Nusantara yang kini memantik polemik, setelah adanya pernyataan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang intinya masih ada proses yang mesti dilengkapi dan diperbaiki serta disempurnakan oleh tim peneliti dan penemunya.

Kepala BPOM Penny Lukito dalam pernyataan-pernyataan media yang dilansir media massa pada Rabu (14/4) 2021), di antaranya menyatakan komponen utama pembuatan Vaksin Nusantara diimpor dari AS, di antaranya antigen, GMCSF, medium pembuatan sel dan alat-alat untuk persiapan pembuatannya.

Ada juga narasi tim peneliti Vaksin Nusantara tidak melalukan uji praklinik terlebih dahulu pada hewan sebelum kepada manusia dan beberapa lainnya.

Namun, dari pihak Terawan, memberikan respons balik. Ia bahkan menegaskan Vaksin Nusantara sangat aman digunakan untuk vaksinasi anti-COVID-19 itu.

Melalui kanal YouTube DPR RI, Rabu (10/3) saat Rapat Kerja bersama Komisi IX, ia menegaskan Vaksin Nusantara -- berbasis sel dendintrik -- yang digagasnya itu aman digunakan, bahkan untuk warga yang memiliki penyakit penyerta.

Sementara, berdasarkan informasi yang dihimpun, Vaksin Merah Putih dikembangkan menggunakan isolat virus COVID-19 yang bertransmisi di Indonesia, dengan platform sub-unit protein rekombinan.

Tanggapan lain dari Terawan atas pernyataan BPOM, uji klinis pada hewan terhadap Vaksin Nusantara sudah dilakukan di AS, yakni di AIVITA Biomedical. Bahkan, hasil uji klinik mengenai vaksin itu aman dan efikasinya oleh pihak ketiga di AS sudah dikerjakan.


Jalan tengah

Polemik soal Vaksin Nusantara itu, bila diurai akan kian panjang, terlebih kini sudah masuk dalam area yang melibatkan kalangan non-kesehatan.

Pada Sabtu (17/4) ini, muncul suasana seperti dukung-mendukung di antara dua kelompok yang memihak ke BPOM ataupun ke kubu Terawan, sehingga justru memantik persoalan baru.

Tentu suasana semacam itu sangat jauh dari harapan bahwa Indonesia bisa memberi "iuran" besar -- dengan melahirkan vaksin anti-COVID-19 -- bagi dunia, jika polemik justru menjadi kontraproduktif.

Polemik yang kontraproduktif semacam itu justru akan menguras energi yang tidak perlu. Alih-alih bisa mengerucut pada terjadinya kesepahaman bagaimana secara bersama gotong royong untuk bergandengan tangan guna tujuan Indonesia bisa memproduksi vaksin secara mandiri, sehingga ke depan tidak tergantung pada negara lain, bila tidak ada jembatan mengakhiri ketidakprodktifan itu, maka situasinya akan kian runyam.

Ahli kesehatan dr Andreas Harry Lilisantoso, SpS (K) yang juga anggota "International Advance Research" Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) dan pegiat sukarelawan COVID-19 memberi saran dilakukannya publikasi ilmiah terbuka, baik nasional dan bahkan internasional atas penelitian vaksin di Indonesia.

Kini, mau tidak mau, dibutuhkan sebuah jalan tengah, sekurangnya dibuka ruang dialog antara parapihak terkait, seperti dari tim Terawan, BPOM, Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan siapa saja yang dinilai punya kapasitas dan kompetensi dalam bidang tersebut.

Salah satunya, adalah dibukanya akses bagi parapihak untuk ikut mengkaji dengan saksama dan terbuka atas penelitian yang sudah dilakukan tim pihak Terawan, yang pada gilirannya bisa mendapatkan hasil yang objektif.

Copyright © ANTARA 2021