Tiga penyebab banjir Jakarta adalah curah hujan langsung, banjir bandang kiriman dari daerah di hulu 13 sungai Jakarta, dan naiknya permukaan Laut Jawa
Jakarta (ANTARA) - Banjir itu sederhana. Air yang masuk lebih besar ketimbang air yang keluar. Demikian definisi banjir Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2014-2019.

Pada 8 Februari 2021 hujan deras menyebabkan Sungai Ciliwung meluap. Luapan satu dari 13 sungai Jakarta ini membanjiri Jalan Jatinegera Barat setinggi 20 cm dan menyandera lalulintas menjadi tidak bergerak.

Pada 20 Februari Jakarta kena curah hujan 226 mm dalam satu hari. Sebanyak 113 RW di ibu kota berpenduduk 10 juta jiwa ini terendam. Kawasan papan atas Kemang di Jakarta Selatan menderita dengan air banjir menyusup ke rumah-rumah. Belum lagi lobi hotel dan lantai dasar mall.

Luapan Kali Krukut yang membelah Kemang jadi melipatgandakan musibah bagi warga huninya. Curah hujan kiriman Depok 20 km di hulu sungai selain juga drainase buruk merupakan faktor terjadinya banjir.

Tingginya permukaan air mencapai jendela pintu mobil di beberapa titik. Warga setempat harus menumpang perahu karet dengan meninggalkan mobil mereka yang kelelep untuk mengungsi ke dataran lebih tinggi.

Tanpa menyebut nama gubernur yang bertanggung jawab, Jusuf Kalla dalam diskusi daring 26 Februari menyerang pemimpin pemerintah DKI. Ia menyalahi gubernur yang bersangkutan mengeluarkan izin membangun mal di pinggir Kali Krukut di atas rawa-rawa yang berfungsi sebagai peresap air.

Mal yang dimaksud adalah Lippo Kemang Village Mall yang dibuka 2007.
Pengembang PT Almaron Perkasa, anak perusahaan PT Lippo Karawaci Tbk, mengeluarkan penjelasan 8-butir.

Almaron Perkasa mengaku mengikuti semua peraturan tata kota. Sejalan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), lahan 15,5 ha tempat mal dibangun itu adalah lahan kawasan permukiman dan komersial. Mal tidak dibangun di atas tanah resapan, PT mengklaim. Perusahaan itu mengatakan telah, dan bahkan membangun kolam retensi 110.000 meter kubik serta memperdalam dan memperlebar Kali Krukut dari 5 meter hingga 20 meter.

Hari Meteorologi

Tanggal 23 Maret adalah Hari Meteorologi Dunia ke-71. Untuk 2021 hari peringatan itu bertema Samudera, Cuaca dan Iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengadaptasi tema tersebut dan mengadakan seminar virtual mengenai meteorologi tropis dan sains atmosfir 23-25 Maret.

Tak diragukan lagi, peristiwa banjir Jakarta dan di daerah lain Indonesia akan disorot dalam seminar ini di bawah topik peristiwa ekstrem.

Ilmuwan menyebut curah hujan melebihi 50 mm dalam satu hari sebagai presipitasi berat. Bila hitungan dalam satu hari itu melebihi 100 mm, kejadian itu dinamakan presipitasi ekstrem.

Presipitasi adalah air yang turun dari awan ke daratan. Curahan ini khususnya berupa hujan tetapi juga berwujud salju, hujan es dan salju basah.

Pada 11 Januari 2014, BMKG mencatat presipitasi berat 50 mm sehari di Jakarta Raya. Hari berikutnya, curah hujan ekstrem sebanyak 100mm terjadi di bagian selatan kota.

Peneliti Siswanto mengungkap ini dalam makalahnya terbit Desember 2015 yang ia karang bersama penulis lain dalam Bulletin for the American Meteorological Society.

Dalam makalah berjudul Trends in High-Daily Precipitation Events in Jakarta and the Flooding of January 2014, penulis utama Siswanto merinci bahwa akumulasi curah hujan 200 mm selama peristiwa presipitasi dua-hari 11-12 Januari dan lagi pada 17-18 Januari 2014 menimbulkan banjir, merusak ribuan bangunan dengan kerugian senilai 384 juta dolar AS. Lebih jauh, 26 orang meninggal.

Banjir besar diartikan sebagai genangan air ekstensif di bangunan, jalan atau di mana ada evakuasi korban dalam jumlah besar dan perlunya pemindahan harta ke dataran lebih tinggi, kata Siswanto.

Banjir penimbul kerusakan berat ini umumnya berlangsung pada tiga bulan berturut Desember, Januari dan Februari. Tiga penyebab banjir Jakarta adalah curah hujan langsung, banjir bandang kiriman dari daerah di hulu 13 sungai Jakarta, dan naiknya permukaan Laut Jawa. Penyebab ketiga ini menjadi semakin serius karena Jakarta sedang susut karena pengeboran air tanah berlebihan dan pembangunan terus menerus yang menghilangkan ruang terbuka.

Kawasan utara Jakarta menderita susut tanah sebanyak 4,1 meter dalam jangka waktu 1974-2010, menurut studi Deltares 2011.

Pada 2015 banjir terjadi dengan adanya peristiwa presipitasi dua hari 485.5mm. tetapi peristiwa presipitasi paling ekstrim di Jakarta hingga kini terjadi ialah curah hujan 377mm pada 1 Januari 2020.

Sementara itu, banjir pada 20 Februari 2021 berkaitan dengan hujan ekstrim 19-20 Februari terutama di Pasar Minggu pada 19 Februari dengan curah hujan 226 mm per hari dan juga di Halim PK dengan presipitasi sama 20 Februari. Pemerintah DKI berkata 3.331 orang harus mengungsi.

Kejadian banjir Februari 2021 ini tidak separah banjir Jan 2020 saat mana 390 RW terendam dan 36.455 jiwa harus evakuasi karena cerah hujannya lebih ekstrim sebanyak 377 mm per hari.

Tabur Garam

Setelah kejadian curah hujan ekstrem tersebut 19-20 Februari, pada 21 hingga 25 Februari, TNI-AU menaburkan 22 ton garam di langit untuk mencegah hujan lebat di kawasan Jabodetabek. Dengan kerja sama BMKG dan BPPT (Badan Penerapan Penelitian dan Teknologi) garam disebarkan di atas pantai timur Lampung di Sumatra, Selat Sunda, ke perairan selatan Provinsi Banten.

Memang tidak ada hujan lebat makan korban di hari-hari kemudian setelah penaburan garam. Tetapi teknologi modifikasi cuaca (TMC) ini masih perlu ditelaah kemanjurannya.

“Penambahan material inti awan yang ditabur melalui TMC sifatnya meningkatkan aktifitas dan proses mikrofisika awan. Hingga saat ini belum ada data yang meyakinkan bila TMC ini benar-benar secara signifikan memodifikasi awan,” kata Herizal, deputi klimatologi BMKG dalam wawancara dalam jaringan.

Mengenai banjir itu sendiri akibat curah hujan ekstrem, Herizal menjelaskan bahwa banjir merupakan fungsi curah hujan dan kapasitas lingkungan, terutama sistem drainase dan kanal sungai.

Curah hujan berkaitan berapa volume air yang tertumpah di permukaan yang harusnya, dalam konsep siklus hidrologi, sebagian akan diserap ke dalam tanah, infiltrasi, dan selebihnya diteruskan sebagai air aliran permukaan, run-off.

Apabila badan sungai sendiri bermasalah dengan pendangkalan dan penyempitan karena sedimentasi serta problem sosial lainnya, maka menurut Herizal, perlu upaya serius untuk pemulihan kondisi tersebut. Salah satunya adalah normalisasi.

Dalam kurun waktu 100 tahun 1915-2015, frekuensi peristiwa banjir di Jakarta meningkat 2-3 kali lipat sesuai dengan meningkatnya intensitas curah hujan dalam satu hari, sebuah grafik BMKG menunjukkan.

Macet

Guna mengurangi risiko banjir di Jakarta, pemerintah, semua pemangku kepentingan dan warga kota secara bulat layak melakukan dua hal. Pertama, perdalam dan perlebar 13 sungai ibukota untuk mencegah luapan dan untuk memudahkan akses air ke laut. Adalah tugas pemerintah provinsi untuk membebaskan tanah untuk normalisasi sungai yang merupakan kerja Kementerian PUPR pemerintah pusat.

Program ini macet karena pemprov lamban dalam membeli tanah daerah aliran sungai. Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria mengeluh kurang dana di acara televisi Mata Najwa 24 Februari dalam diskusi bertajuk Sengkarut Banjir Ibu Kota.

Hal kedua untuk dikerjakan ialah menghentikan ekstraksi air tanah secara berlebihan dan pembangunan kota tanpa kendali yang menghilangkan ruang hijau terbuka yang berfungsi sebagai penampung air hujan.

Bila Presiden Joko Widodo dapat memerintahkan vaksin COVID-19 dua dosis gratis bagi 181,5 juta warga Indonesia, kiranya sebuah keputusan presiden yang serupa dahsyat diperlukan untuk mengakhiri petaka Jakarta di bawah permukaan air.

Baca juga: BMKG minta masyarakat Jabodetabek-Jawa bagian barat siaga banjir

Baca juga: Anies nyatakan sudah antisipasi prediksi cuaca ekstrem dari BMKG

Baca juga: BMKG ungkap empat penyebab Jakarta alami hujan ekstrem




*) Warief Djajanto Basorie adalah wartawan senior dan pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS).
 

Copyright © ANTARA 2021