Semarang (ANTARA) - Banjir, salah satu bencana yang disebabkan oleh alam, menghantui sejumlah warga di pesisir pantai Pulau Jawa setiap tahun, terutama musim hujan.

Begitu pula, warga Semarang, Jawa Tengah, khususnya di wilayah dataran rendah atau dikenal sebagai kota bawah, sering kali dilanda banjir tahunan dan puncaknya ketika musim hujan. Bahkan, masyarakat di Kecamatan Semarang Utara terbiasa menghadapi rob meski pada musim kemarau.

Stasiun Semarang Tawang yang masuk wilayah Semarang Utara, pada hari Selasa (23/2), tidak luput dari bencana tahunan ini. Bahkan, akibat banjir, stasiun kereta api ini tidak bisa melayani aktivitas naik dan turun penumpang KA.

Pada hari itu, menurut Manajer Humas PT KAI Daerah Operasi 4 Semarang, Krisbiyantoro, ketinggian air di peron mencapai 75 sentimeter. Pada Rabu (24/2), turun menjadi 50 cm.

Stasiun Semarang Poncol untuk sementara menjadi tempat aktivitas naik dan turun penumpang. Diinformasikan pula jadwal perjalanan KA tetap berjalan seperti biasa meski masih ada titik rel yang terendam banjir dengan ketinggian antara 14 cm dan 23 cm.

Kereta api, kata Krisbiyantoro, tetap beroperasi dengan ditarik lokomotif hidrolik yang khusus melewati genangan air. Selain itu, PT KAI Daerah Operasi 4 mengoperasikan sembilan pompa pengendali banjir, kemudian polder di depan stasiun itu menampungnya. Ini menunjukkan PT KAI telah mengantisipasi dampak bencana banjir tahunan.

Banjir tidak hanya melanda kota bawah, kota atas pun yang ada di ketinggian tak luput dari bencana alam ini, misalnya di kawasan Perum Dinar Mas, Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang. Padahal kecamatan ini masuk wilayah perbukitan atau kota atas, di samping Kecamatan Gajahmungkur, Candisari, Banyumanik, Tembalang, Gunung Pati, Ngaliyan, dan Mijen.

Sistem Perizinan
Ibarat akan mematikan sebuah pohon, janganlah dipotong ranting karena akan tumbuh ranting-ranting baru. Begitu pula yang dipangkas batangnya, akan tumbuh batang baru.

Dalam masalah banjir yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air, perlu mencari akar masalahnya. Sejumlah pihak lantas menjadikan pembangunan infrastruktur yang masif salah satu penyebab banjir.

Apa betul pembangunan yang masif ini merupakan akar masalah banjir di Tanah Air? Hal ini pun langsung direspons oleh pakar perumahan Dr.Ing. Asnawi Manaf, S.T. yang juga Kepala Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center Universitas Diponegoro di Semarang.

Pembangunan secara masif di kota-kota besar, menurut Asnawi Manaf, bukanlah akar masalah yang menyebabkan di suatu wilayah terjadi banjir sepanjang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan memenuhi syarat amdal atau UKL-UPL.

"Yang menjadi pertanyaan apakah mereka ketika akan membangun di suatu lokasi, misalnya perumahan, pengurusan amdal atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak," kata dia.

Bila amdal diperhatikan di dalam setiap pemberian perizinan pembangunan dengan baik, tidak seharusnya dampak negatif (eksternalitas negatif) seperti banjir akan terjadi, paling tidak bencana alam ini sudah diantisipasi sejak dini.

Hal ini mengingat sebelum kepala daerah memberi surat izin perumahan, kata dia, terlebih dahulu melihat hasil evaluasi dokumen lingkungan hidup yang disusun pelaku usaha/pengembang perumahan, dalam hal ini adalah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau UKL-UPL.

Jika pengembang sudah mengantongi izin, berarti kegiatan usahanya tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup karena DLH ini menjabarkan pembangunan infrastruktur dan kondisi tanah atau aspek geologis.

Selain itu, jenis dampak lingkungan yang mungkin terjadi, baik berupa limbah cair, padat, gas, suara, serta cara developer untuk mengelola dan memantau kegiatan usahanya agar dapat menekan potensi risiko kerusakan lingkungan akibat pembangunan perumahan itu.

Ia mengemukakan bahwa setiap pembangunan tentu ada eksternalitas negatifnya, kemudian hal ini perlu ada hitung-hitungannya, misalnya membuat kolam retensi atau polder, membuat biopori, atau banyak sekali solusinya.

"Itu semua ada di amdal atau UKL-UPL," kata dia, yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro di Semarang.

Tidak hanya mengantisipasi banjir, tetapi juga terkait dengan kemacetan arus lalu lintas di sekitar lokasi pembangunan perumahan. Kajian mengenai dampak lalu lintas dari pembangunan itu tertuang dalam bentuk dokumen hasil analisis dampak lalu lintas (amdal lalu-lintas).

Proses Perizinan
Pembangunan masif itu sebenarnya tidak ada masalah asalkan memenuhi ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, apakah proses perizinan melalui proses amdal atau UKL-UPL serta amdal lalin itu secara murni atau sebaliknya?

Jangan sampai kemudian masalah perizinan ini dipandang oleh sebagian masyarakat menjadi sesuatu yang menakutkan. Prinsip-prinsip itu, kata Asnawi, adalah instrumen untuk melaksanakan atau mengantisipasi eksternalitas negatif.

Perizinan itu baik tetapi pelaksanaannya jadi tanda tanya. Oleh karena itu, perlu diaudit seperti apa sih sistem implementasi pembangunan itu diterapkan di dalam perizinan di Tanah Air.

Setelah tahu betapa pentingnya pengurusan amdal atau UKL-UPL terkait dengan perizinan pembangunan, seperti yang disampaikan Asnawi Manaf, tampaknya perlu menjadi perhatian semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat ikut serta atasi bencana alam ini sejak dini.

Setidaknya, perlu kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, misalnya, kenapa drainase di sekitarnya belum berfungsi maksimal sejak ada pembangunan infrastruktur? Padahal, hal ini tidak lepas dari perizinan.

Karena sudah telanjur, terus apakah dibiarkan terus-menerus? Lantas narima ing pandum, menerima begitu saja apa yang telah menimpanya tanpa ikhtiar atau mencari daya upaya agar banjir tidak menjadi bencana menahun.

Bagaimanapun harus terus berupaya, atau tidak cukup membangun polder, normalisasi kali, menyediakan pompa pengendali banjir, sumur resapan, dan upaya lainnya seperti membangun dam lepas pantai, tetapi juga perlu mengejawantahkan peraturan perizinan untuk pembangunan perumahan, pabrik, maupun pembuatan sumbur bor.

Dengan demikian, Kota Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat (Kota ATLAS), slogan ibu kota Provinsi Jawa Tengah, ini tidak sekadar slogan belaka. Akan tetapi, bagaimana mewujudkan rasa aman dari bencana alam, kriminalitas, dan hal lain yang mengusik rasa aman warga Semarang.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021