Indonesia akan menikmati keuntungan besar di pasar global, baik di Uni Eropa maupun negara-negara yang lain, seperti Australia, yang sudah mengikuti model FLEGT dari Uni Eropa
Jakarta (ANTARA) - "Deforestasi global baru-baru ini menurun hampir 40 persen, dan Indonesia berkontribusi penting dalam penurunan tersebut," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya.

Pernyataan itu disampaikannya pada diskusi panel State of the World's Forests 2020 (SOFO 2020) secara virtual yang dipusatkan di Kantor Pusat FAO Roma, Italia, Jumat, (22/5).

Deforestasi tahunan Indonesia, ujarnya melanjutkan, pernah mencapai lebih dari 3,5 juta hektare dalam periode 1996 hingga 2000.

"Namun telah turun tajam menjadi 0,44 juta dan akan terus turun di masa mendatang," kata dia.

Pada pertemuan virtual yang dihadiri 492 peserta dari negara-negara anggota Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), yang juga dihadiri Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu, Direktur Eksekutif Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) Inger Andersen, dan delegasi penting negara lainnya itu, Siti Nurbaya menyatakan angka deforestasi yang menurun tajam di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi bukti komitmen pemenuhan target dan sasaran global yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati hutan.

Ia mengatakan terkait capaian penurunan laju deforestasi yang signifikan di Indonesia itu, tidak lepas dari serangkaian tindakan korektif pemerintah di bawah arahan dan kebijakan Presiden Jokowi, seperti pengelolaan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melalui perbaikan peringatan dini dan antisipasi, dan mitigasi.

Selain itu, dilakukan pengelolaan lahan gambut melalui moratorium izin baru dan pemanfaatan secara tepat lahan gambut serta pengaturan muka air tanah dengan teknik hidrologi.

Upaya lainnya melalui penegakan hukum terhadap kegiatan ilegal, termasuk penerapan efektif Sistem Jaminan Legalitas Hutan Indonesia yang dikenal sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Dari rujukan kesejarahan, seperti dikutip dari laman
http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/1#:~:text=SVLK%20mulai%20berlaku%20pada%20Juni,%2FMenhut%2DII%2F2009%20.&text=SVLK%20hadir%20sebagai%20sebuah%20sistem,dan%20perdagangan%20kayu%20di%20Indonesia, SVLK mulai berlaku pada Juni 2009, sejak Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 .

Hal tersebut terjadi ketika Menteri Kehutanan saat itu, M.S. Kaban, menyetujui dan mengadopsi usulan parapihak menjadi mandatory Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK).

Kemudian, pada 2013 di era Menhut Zulkifli Hasan atau setelah empat tahun disahkan sejak 2009, SVLK efektif diterapkan bersamaan dengan dirancangnya sebagai dasar kesepakatan sukarela (VPA) antara Uni Eropa dengan Indonesia.

Baca juga: Indonesia dapat memimpin aksi iklim dengan SVLK, sebut Dubes COP26

Pada September 2013 VPA ditandatangani dan SVLK secara resmi menjadi landasan perdagangan produk kayu bagi kedua belah pihak.

Dalam perjalanannya, SVLK terus disempurnakan dengan revisi P.38/Menhut-II/2009 menjadi Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 dan ditambah revisi Permenhut No. P.45/Menhut-II/2012 serta Permenhut No. P.42/Menhut-II/2013 .

Dalam diskusi dengan tema "Legalitas Perdagangan Produk Kayu Indonesia" pada 21 Januari  2014, di Jepara, Jateng, Manajer "Global Forest & Trade Network (GFTN) WWF-Indonesia Aditya Bayunanda menyatakan verifikasi legalitas dicanangkan sebagai jawaban atas permintaan Indonesia agar negara-negara pengimpor kayu tidak membeli kayu ilegal dari Indonesia.

Pada diskusi yang digagas atas kerja sama GFTN WWF-Indonesia, Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), dan didukung Uni Eropa itu, ia menambahkan kegiatan dimulai melalui proses "multistakeholder" sejak 2001 yang kemudian melahirkan draf pertama standar legalitas pada 2005 yang difasilitasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).

SVLK merupakan sistem pelacakan yang disusun secara "multistakeholder" untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia, dan dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait dengan perdagangan dan peredaran.

Pada diskusi itu, Wakil Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam, dan ASEAN Colin Crooks mengemukakan bahwa Indonesia berpeluang besar menjadi negara pertama yang bisa mengirimkan kayu berlisensi Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu (Forest Law Enforcement Governance and Trade/FLEGT) ke Uni Eropa.

"Jika demikian, Indonesia akan menikmati keuntungan besar di pasar global, baik di Uni Eropa maupun negara-negara yang lain, seperti Australia, yang sudah mengikuti model FLEGT dari Uni Eropa," katanya.
Ilustrasi - FAO memberikan dukungan untuk produksi dan perdagangan kayu secara legal dan berkelanjutan. (FOTO ANTARA/HO-FAO Indonesia)


Dinamika

Meski SVLK telah menjadi hal yang wajib dalam perdagangan dan peredaran kayu, hal itu sempat mengalami dinamika yang cukup serius tatkala muncul Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, yang ditandatangani Mendag Agus Suparmanto pada 27 Februari 2020.

Permendag 15/2020 itu tak ayal langsung memantik protes dan kritik tajam koalisi masyarakat sipil dari beberapa Civil Society Organization (CSO) atau LSM yang bergerak dalam pemantauan implementasi SVLK.

Mereka menyatakan Permendag itu melemahkan SVLK karena ada klausul menghapus persyaratan dokumen sertifikat legalitas kayu (V-Legal) untuk ekspor furnitur, bahkan kemungkinan semua produk kayu ekspor, karena dokumen tersebut merupakan bagian dari pemberlakuan SVLK, yang menjadi tonggak bersejarah pengelolaan hutan secara lestari dan diakui pasar internasional.

Karena itu, koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), AURIGA, KAOEM TELAPAK, Forest Watch Indonesia (FWI), Independen Forest Monitoring Fund (IFM Fund) pada 20 Maret 2020 di Bogor (https://eia-international.org/wp-content/uploads/Open-letter-Surat-Terbuka-untuk-Presiden-terkait-Permendag-15-tahun-2020-Bahasa.pdf) menulis surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan pencabutan atau merevisi Permendag 15/2020.

Baca juga: Pemerintah Inggris: SVLK selaraskan pelestarian dan perdagangan produk kayu Indonesia

Ada enam poin yang disampaikan yakni (1) tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 karena melemahkan usaha-usaha memperbaiki tata kelola kehutanan, mengurangi kerusakan hutan, dan pembalakan liar.

Kemudian, (2) tidak sesuai dengan PermenLHK 30/2016 dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakpastian berusaha, lalu (3) menyebabkan Indonesia melanggar komitmen Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu (FLEGT VPA), sesuai dengan Perpres 21/2014, yang berdampak pada hilangnya jalur hijau perdagangan produk kayu Indonesia ke Uni Eropa,.

Selain itu, (4) menurunnya daya saing ekspor produk industri kehutanan dengan negara produsen kayu lainnya karena saat ini beberapa negara lain, seperti Vietnam, telah menandatangani VPA dengan Uni Eropa dan segera menerapkan sertifikasi legalitas kayu, (5) penurunan citra tata kelola hutan dan reputasi produk kayu Indonesia di kancah internasional.

Terakhir, (6) hilangnya kepercayaan dari pelaku usaha dan investasi baik yang selama ini patuh pada pelaksanaan SVLK.

Koalisi melihat bahwa apabila hal tersebut tidak dilakukan, akan terbuka peluang-peluang lain yang akan menyebabkan semakin mundurnya tata kelola kehutanan di Indonesia.

Menanggapi derasnya kritik itu, pada 6 Mei 2020 (http://jdih.kemendag.go.id/peraturan/detail/1998/2)
Mendag Agus Suparmanto secara resmi mencabut Permendag 15/2020 itu.

"Menetapkan, pada saat peraturan menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku," demikian salinan surat pencabutan itu.
Logo Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia. (FOTO ANTARA/HO-rimbakita.com)



Selaras

Sejak diterapkan hingga akhirnya muncul kontroversi dengan munculnya Permendag 15/2020 --yang akhirnya dicabut-- sebenarnya antara pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan serta aspek perdagangan sudah selaras.

Pengakuan itu dikukuhkan dalam webinar bertajuk "UK Market Update for FLEGT Timber Product: Indonesia's Timber as Sustainable Partner for UK Market”, Rabu (23/9), yang disampaikan Minister of State for Pacific and the Environment Inggris Lord Goldsmith.

Kegiatan itu diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London bekerja sama dengan Foreign Commonwealth and Development Office beserta Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Timber Trade Federation, dan British Retail Consortium

"Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) membuktikan bahwa perdagangan dan pengelolaan hutan berkelanjutan dapat berjalan secara beriringan," katanya dalam webinar yang juga diikuti Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong.

Ia mengatakan SVLK merupakan bentuk kerja sama Indonesia-Inggris yang baik dalam mengembangkan standar kepatuhan yang kuat untuk produk kayu berkelanjutan.

Selain kemanfaatan ekonomi, Lord Goldsmith mengakui, SVLK telah turut mengurangi deforestasi dan penebangan kayu liar selama tiga tahun terakhir, di mana saat ini tercatat 24 juta ha lahan hutan dan dengan 3.000 pelaku usaha telah tersertifikasi SVLK.

Baca juga: Pemerintah gerakkan pengelolaan hutan lestari demi kurangi emisi

Seiring dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Indonesia dan Inggris telah menandatangani kesepakatan bilateral implementasi FLEGT melalui VPA Indonesia-Inggris pada Maret 2019.

Atas kondisi penerapan SVLK yang sudah berjalan baik itu, dalam pernyataan di Jakarta pada 7 Agustus 2020, FAO memberikan dukungan.

"FAO mendukung peneguhan komitmen Indonesia-EU untuk produksi dan perdagangan kayu secara legal," sebut pernyataan FAO.

FAO telah meluncurkan enam proyek baru untuk mendukung produksi dan perdagangan kayu legal di Indonesia. Hibah tersebut bernilai sekitar 550.000 dolar AS (sekitar Rp8,06 miliar), yang diperoleh dari Uni Eropa, Badan Kerja Sama Pembangunan Internasional Swedia, dan Departemen Pembangunan Internasional Inggris Raya, mitra FAO dalam mempromosikan produksi dan perdagangan kayu yang berkelanjutan dan legal.

Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan Delegasi UE untuk Indonesia Michael Bucki menyatakan proyek-proyek baru ini akan memungkinkan para pemangku kepentingan sektor kehutanan Indonesia mencapai tujuan legalitas yang ditetapkan dalam Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) antara UE-Indonesia, yang ditandatangani sebagai bagian dari Rencana Aksi UE untuk Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola, dan Perdagangan (FLEGT).

FAO menekankan pentingnya tindakan nyata saat tekanan meningkat dan kapasitas pengawasan berkurang terutama pada pemanfaatan sumber daya hutan di tengah pandemi global yang sedang berlangsung.

Produksi dan perdagangan kayu legal dan berkelanjutan di Indonesia bertumpu pada penerapan sistem penjamin legalitas kayu nasional atau SVLK, yang melacak produk kayu dari hutan di seluruh rantai pasokan.


Baca juga: Deforestasi turun, Indonesia terima 103,8 dolar juta dari GCF
Baca juga: Indonesia upayakan deforestasi tidak lebihi laju rehabilitasi 2030
Baca juga: Deforestasi berperan dalam peningkatan zoonosis

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020