Bandarlampung (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Lampung segera menggelar "Festival Kehutanan 2020" yang bertujuan meningkatkan sinergi dalam pembangunan hutan, promosi produk kehutanan berbasis agroforestri dan wisata alam daerah.

"Festival Kehutanan Lampung akan berlangsung dari 2 hingga 5 November 2020. Targetnya,  kami ingin menghadirkan para pihak yang memiliki potensi dalam usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) dengan pola agroforestri," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Yanyan Ruchyansyah, di Bandarlampung, Sabtu.

Ia mengatakan bahwa kegiatan ini memang dirancang untuk mempertemukan para pihak terkait yang memiliki kepentingan dalam menjaga pemanfaatan hasil hutan, dari sektor hulu sampai ke sektor hilir.

Sehingga, konsumen yang berada di hulu dapat memahami fungsi petani menjaga hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka di hilir. Dengan demikian, kesadaran dalam menjaga fungsi hutan dapat berkesinambungan.

Baca juga: Seminar lingkungan Walhi-GYM ajak masyarakat selamatkan hutan

Baca juga: Pangan hasil hutan dan gambut Indonesia dipamerkan di Norwegia


Sebab, di kawasan hutan yang menjadi urusan Pemerintah Provinsi Lampung seluas 564.954 ha meliputi hutan lindung, hutan produksi dan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, perambahan serta okupasi kawasan hutan sebagai dampak pertumbuhan penduduk yang membutuhkan lahan guna berusaha dan bermukim masih menjadi persoalan utama.

"Meskipun secara hukum status kawasan hutan adalah hak negara, namun fakta di lapangan pengelolaan lahan hutan dilakukan oleh masyarakat," kata dia.

Selain permasalahan tersebut, lanjutnya, pembangunan kehutanan di provinsi ini juga dihadapkan kepada persoalan lain yang cukup komplek yakni masih terjadinya tindak pidana illegal logging, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis.

Kemudian, potensi kayu rakyat/hutan rakyat yang belum terdata dengan valid, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan wisata alam belum maksimal, konflik di kawasan hutan, pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) belum maksimal dan masih terjadinya konflik satwa liar.

Menurutnya, salah satu solusi terhadap permasalahan tersebut dengan melakukan perubahan paradigma pengelolaan hutan yakni dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat (community based development).

"Artinya pengelolaan hutan harus melibatkan dan menyejahterakan masyarakat sekitar dengan tetap mempertahankan kelestarian fungsi hutan sebagaimana mestinya dengan menggunakan prinsip wanatani atau lebih dikenal dengan istilah agroforestri," katanya.

Sehingga, dalam rangka mewujudkan pembangunan kehutanan yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, perekonomian dan daya saing daerah yang berlandaskan kelestarian fungsi hutan, diperlukan sinergi para pihak, baik itu pemerintah, akademisi, pelaku usaha dan stakeholder lainnya.*

Baca juga: Festival pesta ulat sagu upaya jaga hutan

Baca juga: Ribuan warga antusias ikuti Festival Hasil Hutan

Pewarta: Dian Hadiyatna
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020