Jakarta (ANTARA) - Saat ini Komisi Informasi Pusat (KIP) sedang melakukan uji publik terkait revisi Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Perki Slip).

Sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan pelaksanaannya, sudah pada tempatnya Komisi Informasi memberi contoh terbaik dalam menjalankan prinsip-prinsip transparansi dalam penyusunan semua ketentuan atau peraturan terkait keterbukaan informasi publik ini.

Langkah uji publik yang dilakukan KIP perlu disambut baik, salah satunya dengan memberikan masukan agar kualitas Perki Slip tersebut menjadi lebih baik.

Salah satu isu yang harus dijernihkan dalam peraturan tersebut adalah, apakah di BUMN perlu dibentuk Pejabat Pengelola Informasi Publik.

KIP berpendapat bahwa BUMN harus membentuk PPID karena BUMN merupakan sebuah Badan Publik. Hal itu diatur dalam Pasal 13 ayat (1) angka a UU KIP, bahwa Badan Publik harus menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Bahkan dalam Perki Slip Nomor 1 Tahun 2010 yang akan direvisi ini, ruang lingkup Badan Publik salah satunya mencakup BUMN atau BUMD.

Pasal ini dalam rancangan Perki Slip akan dihapus karena memang ruang lingkup tersebut tidak sesuai dengan definisi Badan Publik dalam UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 (UU KIP).

Dalam Pasal 1 angka 3 UU KIP tersebut, definisi Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Meskipun akan menghapus penyebutan eksplisit istilah BUMN dalam peraturan itu, namun KIP tetap berpandangan bahwa BUMN tetap dikualifikasikan sebagai Badan Publik.

BUMN sebagai korporasi

Argumen BUMN sebagai Badan Publik terutama berasal dari definisi Badan Publik pada UU KIP tersebut.

Salah satu bagian dari definisi Badan Publik tersebut di atas, yakni badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Badan lain itu maknanya adalah badan selain lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, yang disebutkan sebelumnya dalam definisi Badan Publik tersebut. Bisa jadi pembuat Undang-Undang bermaksud bahwa badan lain itu adalah termasuk badan usaha.

Namun apakah BUMN memiliki fungsi dan tugas pokok yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara? Hal inilah yang perlu dielaborasi lebih lanjut.

BUMN merupakan korporasi yang menjalankan operasionalnya sesuai dengan bidang usahanya. Dalam konteks Indonesia memang BUMN merupakan badan usaha yang spesial, karena keberadaan BUMN pada hakekatnya merupakan salah satu amanat konstitusi, khususnya dalam pembukaan dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan peranan penting negara dalam perekonomian.

Dalam konsepsi negara kesejahteraan (welfare state), pemerintah maupun negara memegang peranan penting untuk mengatur dan memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya, sehingga lazim bagi negara untuk ikut serta dalam segala aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk dalam kegiatan ekonomi masyarakat.

Setelah amandemen UUD 1945 Keempat, terbitnya UU BUMN tahun 2003, dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, telah terjadi perubahan paradigma atas penafsiran ketentuan Pasal 33 UUD 1945, khususnya mengenai peran BUMN yang bukan saja sebagai bentuk penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta atas kekayaan negara, namun juga dalam kerangka untuk terlibat secara aktif dalam perekonomian sebagai salah suatu kekuatan ekonomi.

Namun jangan keliru, BUMN bukan merupakan badan usaha untuk melakukan penyelenggaraan negara. BUMN melakukan fungsinya tetap sebagai korporasi.

Walau misi pendirian BUMN antara lain ikut memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian nasional, menyelenggarakan kemanfaatan umum, melakukan usaha rintisan bagi bisnis yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, serta turut aktif memberikan bimbingan bagi golongan usaha lemah dan koperasi,. Namun BUMN tetap memiliki tujuan untuk mengejar keuntungan. Sama dengan tujuan dari badan usaha atau korporasi lainnya.

Pembentukan PPID pada BUMN, yang kemudian menyamakan struktur dan organisasinya dengan PPID pada Kementerian/Lembaga, seolah-olah merupakan upaya untuk menutup mata bahwa instansi pemerintah itu secara tata kelola berbeda dengan tata kelola BUMN.

Hal inilah yang telah diluruskan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 62/PUU-XI/2013 tentang judicial review UU Keuangan Negara dan UU BPK. Putusan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut berusaha untuk mendudukkan posisi korporatisasi BUMN tersebut.

Pertimbangan putusan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut antara lain menyatakan bahwa BUMN (atau BUMD) berbeda dengan organ penyelenggara negara yang tidak menyelenggarakan usaha, seperti lembaga negara dan kementerian atau badan. Selanjutnya, fungsi BUMN (atau BUMD) disebut sebagai kepanjangan tangan dari Negara, yang dilaksanakan berdasarkan paradigma bisnis (Business Judgment Rules/BJR) yang sungguh-sungguh berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan paradigma pemerintahan (Government Judgement Rules/GJR).

Tidak perlu struktur baru

Dalam UU keterbukaan Informasi Publik, BUMN diwajibkan untuk menyediakan 14 informasi yang secara umum merupakan item informasi yang lazim diungkap oleh perusahaan yang sudah go public.

Informasi tersebut, antara lain mengenai nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis, kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, permodalan, nama lengkap pemegang saham, anggota direksi dan anggota dewan komisaris perseroan, laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan laba rugi, dan laporan tanggung jawab sosial perusahaan yang telah diaudit.

Untuk mengelola permohonan informasi terkait dengan 14 item tersebut, semestinya tata kelolanya juga sama dengan tata kelola perusahaan go public yang juga membuka item informasi korporasi tersebut. Lazimnya korporasi, hal-hal seperti itu biasanya ditangani oleh Corporate Communication atau Costumer Relationship.

Jadi, tidak perlu membentuk struktur baru bernama PPID di BUMN, yang kesannya sangat birokrat dan jauh dari nuansa korporasi.

Pengakuan BUMN sebagai korporasi adalah hal yang penting. Itu adalah tugas kita bersama. Hal tersebut tentunya juga akan menumbuhkan budaya tertentu yang khas dalam perusahaan.

Bilamana yang dipaksakan harus hadir adalah sebuah PPID dengan segala ketentuannya yang tata kelolanya sama dengan PPID di Kementerian/Lembaga, itu sama dengan menularkan budaya birokrasi dalam sebuah korporasi. Sungguh-sungguh itu perlu dihindarkan, khususnya melalui penyusunan aturan Perki Slip ini.

*) Rudi Rusli, Pengendali Fungsi Humas Kementerian BUMN, Kandidat Doktor Stratejik Manajemen Universitas Trisakti.

Copyright © ANTARA 2020