Jakarta (ANTARA) - Gusti Maulidin (63) dan Sarwani (50) merupakan warga Desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, yang pada akhir November 2019 menjadi terdakwa kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat membuka ladang untuk menanam padi di lahan seluas kurang dari satu hektare (ha).

Mereka, menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusatara (AMAN) Kotawaringin Barat Mardani, dijerat dengan pasal berlapis. Pertama, dengan Pasal 108 Jo 69 Ayat 1 Huruf H Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kedua, dengan Pasal 78 Ayat (3) Jo Pasal 50 Ayat (3) Huruf D, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketiga, Pasal 187 ke-1 KUH Pidana dan keempat, Pasal 188 KUH Pidana.

Mardani mengatakan Gusti dan Sarwani merupakan masyarakat adat yang secara turun-temurun mewarisi budaya membuka lahan terbatas untuk berladang dengan cara membakar. Bagi mereka, aktivitas tersebut hanya sebatas kepentingan ketahanan pangan lokal, tidak untuk merusak lingkungan hidup.

Lahan yang mereka buka dengan cara membakar untuk maksud menyuburkan tanah itu secara riil tidak ada lagi tutupan hutannya dan sudah berulang kali dijadikan tempat berladang, di mana selain padi dulu juga sudah pernah ditanami karet atau para, kopi dan rotan. Dari ladang tersebut dihasilkan beras-beras organik terbaik.

UU Nomor 32 Tahun 2009 pasal 69 ayat 2 yang berbunyi Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Dan pasal itu hingga hari ini masih berlaku.

Mardani mengatakan persoalan hukum seperti yang dialami Gusti dan Sarwani terjadi setiap tahun, dan bila dibiarkan peladang-peladang kecil habis dipenjara dan tentu akan berdampak pula pada kehidupan keluarga mereka.

Baca juga: Anggota DPRD Bengkayang nilai perlu ada Perda lindungi peladang

Baca juga: Persatuan Peladang Tradisional Kalbar temui Menko Polhukam



Hati-hati cari solusi

Pakar Perencanaan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Universitas Indonesia Hendricus Andy Simarmata mengatakan, terkait dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang menggunakan cara membakar untuk membuka lahan pertanian memang perlu hati-hati pemecahan masalahnya. Kemungkinan ada dari mereka merupakan generasi ke-3, sehingga eksposur penggunaan teknologi modern sangat terbuka lebar.

Karena itu, menurut dia, perlu diperhatikan pula pemanfaatan lahan yang mereka buka dengan membakar itu untuk apa, karena biasanya jika itu masyarakat dengan ladang berpindah hanya untuk perladangan skala kecil untuk mencukupi hidup sejumlah kepala keluarga.

Apabila ternyata pembukaan lahannya sangat luas, dirinya berpendapat itu perlu dipertanyakan karena sudah menyalahi aturannya sehingga jalur penegakan hukum dapat diambil.

Andi mengatakan terkadang ada pula kendala bahasa dalam persoalan istilah-istilah perladangan atau pertanian yang dilakukan masyarakat adat. Perlu ada bahasa pengganti yang memiliki makna sama pada saat mengkomunikasikan istilah-istilah yang mereka gunakan sehari-hari, sehingga perlu pelibatan antropolog.

Namun demikian, Andi menegaskan akan mengkritik apabila yang terjadi justru amputasi pengetahuan yang merupakan kearifan lokal mereka.

Baca juga: BRG: Pembukaan lahan tanpa bakar solusi cegah karhutla

Baca juga: BRG dorong pemda rawan karhutla di Sumsel kembangkan PLTB



Alternatif tanpa bakar

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan sudah dan sedang menyiapkan sistem pencegahan karhutla secara permanen. Dari tiga jalur utama upaya pencegahan yang disiapkan yakni, pengendalian operasional, pencegahan berdasarkan analisis iklim dan langkah, serta pengelolaan lanskap yang di dalamnya melibatkan praktisi pertanian tradisional.

Menurut Siti, saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang mencoba mengeksplorasi solusi bagi pertanian tradisional yang memakai cara membakar lahan.

Partisipasi Masyarakat Peduli Api (MPA) di desa-desa rawan karhutla dirasa belum cukup, sehingga pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan saat ini adalah menciptakan kesadaran hukum bersama di masyarakat untuk mengontrol dirinya sendiri ikut mencegah terjadinya kebakaran.

Guna menjawab UU Nomor 32 Tahun 2009 pasal 69 ayat 2 yang berbunyi Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing di kondisi lingkungan lahan yang sudah berubah maka, menurut Siti, perlu dikembangkan alternatif cara bertani untuk masyarakat.

"Mereka mengolah lahannya sendiri, kita coba ada bush cutter, lalu teknik pengomposan, atau dijadikan cuka kayu untuk penyuburan lahan. Jadi enggak dibakar," ujar Siti.

Ia mengatakan jika pembukaan lahan dengan cara dibakarnya satu atau dua hektare saja dan dijaga betul mungkin tidak apa-apa. Tapi kalau sampai misalnya 200 kepala keluarga melakukannya bersama-sama tentu menimbulkan asap juga, terlebih jika kasusnya ada masyarakat yang disuruh pihak lain membakar untuk land clearing.

Saat ini, menurut dia, memang upaya mendorong masyarakat beralih ke pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) masih sporadis yang juga melibatkan Manggala Agni.

Sejumlah perusahaan sudah mulai menggunakan bush cutter, KLHK memproses sisa-sisa kayu menjadi cuka kayu yang digunakan lagi untuk menyuburkan tanah yang dicobakan di Sumatera Selatan, sementara Dandrem menggunakan enzim untuk coba menyuburkan tanah, ada pula yang mencoba dengan menutup pori-pori gambut.

Hingga saat ini terus diupayakan membangun dukungan masyarakat bagaimana mengolah lahan tanpa menimbulkan risiko kebakaran. Tentu dukungan teknologi dan lainnya juga sedang dipikirkan dan dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian, ujar Siti.*

Baca juga: Tanpa bakar, M Yasin olah lahan gambut jadi lebih ramah tanaman

Baca juga: 2 tersangka pembakar lahan di Palangka Raya terancam 12 tahun


Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020