Jakarta (ANTARA News) - Komite Ahli Pengobatan Filariasis Indonesia (KAPFI) memastikan kematian beberapa warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tidak terkait dengan pemberian obat pencegah penyakit kaki gajah itu kepada mereka.

"Hasil analisis yang dilakukan setelah pemberian obat massal 10-16 November menunjukkan, dari delapan orang yang dilaporkan meninggal, tiga di antaranya tidak mengonsumsi obat antifilariasis dan lima orang lainnya meninggal karena masalah lain," kata Ketua KAPFI Prof Dr Purwantyastuti, di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, dari lima orang yang meninggal setelah mengonsumsi obat antifilariasis tersebut tiga di antaranya menunjukkan tanda serangan jantung dan dua lainnya memperlihatkan gejala stroke.

Informasi itu, ia menjelaskan, diperoleh dari formulir data keluhan pasien yang diisi petugas kesehatan saat yang bersangkutan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.

"Jadi kesimpulan itu diambil berdasarkan hasil kajian mengenai reaksi obat, keluhan pasien, dan diagnosisnya," katanya.Purwantyastuti mengatakan, obat perlu waktu untuk bekerja.

"Reaksi obat muncul satu sampai empat jam setelah pemberian, jadi kalau kejadiannya sebelum itu bisa dipastikan bukan karena pengaruh obat," katanya serta kembali menegaskan kematian lima warga Bandung tidak berhubungan dengan reaksi obat.

Dia menjelaskan, obat yang diberikan secara massal kepada warga Kabupaten Bandung untuk pencegahan filariasis terdiri atas diethylcarbamazine citrate (DEC)--obat antifilariasis yang sudah digunakan sejak lama--, albendazol (obat cacing) dan parasetamol (obat penurun panas).

Obat-obat tersebut, lanjut dia, sudah digunakan sejak puluhan tahun silam dan terbukti aman, tidak pernah ada laporan kejadian efek samping yang membahayakan, apalagi menyebabkan kematian.

Dosis pemberiannya pun lazim, kata dia, yakni enam miligram per kilogram berat badan. Penimbangan berat badan warga memang tidak dilakukan, namun pemerintah menggunakan perhitungan berat badan rata-rata per kelompok umur yang dinilai cukup sahih.

Obat itu, lanjut dia, harus diberikan setiap tahun selama lima tahun berturut-turut untuk memastikan seluruh cacing filaria yang ada dalam tubuh mati.

Pemberian DEC, dia menjelaskan, memang menimbulkan efek samping pusing, mual, demam, muntah, dan demam selama beberapa hari, apalagi kalau diminum sebelum makan, itu tidak membahayakan.

Kematian mikrofilaria--anak cacing filaria-- akibat pemberian obat, menurut ahli parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Saleha Sungkar juga menimbulkan respon sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan si pengidap kesakitan.

"Tapi daripada kita harus menderita karena tubuh kita cacat akibat parasit itu, bukankah lebih baik kita sedikit menderita pada awalnya?" katanya.

Ia menjelaskan, pemberian obat antifilariasis untuk pencegahan merupakan cara efektif memutuskan siklus penularan penyakit yang disebabkan oleh jenis cacing filarial Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori itu.

Tentu saja, lanjut dia, ada upaya untuk memberantas perantara penularan dan menghindari kontak dengan perantara penularan.

Orang yang terlihat sehat namun mengandung mikrofilaria di dalam tubuhnya akan menularkan parasit dalam tubuhnya kepada orang lain dengan perantara 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres.

"Mereka harus diberi obat, tiap tahun selama lima tahun, supaya tidak mengalami pembengkakan dan menjadi cacat serta menularkan parasitnya kepada yang lain," katanya.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menjelaskan pula bahwa sejak tahun 2002 pemerintah melakukan pemberian obat antifilariasis massal untuk mencegah penyebaran filariasis di daerah endemis, yakni yang lebih dari satu persen penduduknya mengidap mikrofilaria dalam darahnya.

Prosedur pencegahan yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1997 untuk eliminasi filariasis tersebut hingga tahun 2008 juga telah dilaksanakan di 50 negara yang mencakup 496 juta orang.

Negara-negara anggota WHO telah sepakat membebaskan dunia dari kaki gajah tahun 2020 dengan berupaya menerapkan berbagai strategi termasuk pemberian obat massal.

Indonesia pun berusaha memberantas penyakit yang mengakibatkan pembengkakan beberapa bagian tubuh termasuk tungkai kaki bawah, lengan dan alat genitalia itu. Di Indonesia sebanyak 11.699 kasus kronis filariasis ditemukan di 378 kabupaten/kota.

"Pemerintah melakukan pencegahan dan pemberantasan, termasuk pemberian obat massal di daerah-daerah endemis. Targetnya, filariasis sudah bisa diberantas tahun 2018, lebih awal dari target dunia," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009