Jakarta (ANTARA) - Tim advokasi Novel Baswedan tetap meminta Presiden Joko Widodo untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) demi menyelidiki ulang kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik KPK tersebut.

"Pasca putusan hakim ini Presiden Joko Widodo harus segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menyelidiki ulang kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan sebab penanganan perkara yang dilakukan oleh Kepolisian terbukti gagal untuk mengungkap skenario dan aktor intelektual kejahatan ini," kata anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Muhammad Isnur, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat.

Pada Kamis (16/7), Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis selama 2 tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan 1,5 tahun penjara kepada Ronny Bugis karena terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan luka berat terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Hakim mengatakan Rahmat dan Ronny tidak terbukti berniat untuk menyebabkan luka berat meski sudah merencanakan penyerangan sehingga terbukti berdasarkan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Kami Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut pertanggungjawaban dari Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara karena selama ini mendiamkan citra penegakan hukum dirusak oleh kelompok tertentu," tambah Isnur..

Baca juga: Tim advokasi Novel: vonis ringan agar terdakwa tak dipecat dari Polri
Baca juga: WP KPK nilai vonis penyerang Novel tunjukkan urgensi dibentuknya TGPF
Baca juga: Round Up - Jalan panjang kasus Novel Baswedan


Menurut Isnur, Presidenlah yang membawahi langsung Polri dan Kejakgung sehingga baik dan buruk penegakan hukum adalah tanggung jawab langsung Presiden Jokowi.

"Proses persidangan ini juga menunjukkan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak pernah berpihak pada korban kejahatan. Terlebih lagi korban kejahatan dalam perkara ini adalah penegak hukum," kata Isnur.

Pada masa yang akan datang para penegak hukum, khususnya penyidik KPK pun akan selalu dibayang-bayangi oleh teror yang pada faktanya tidak pernah diungkap tuntas oleh negara, katanya.

Tim advokasi juga menilai, sejak awal sudah dibuat skenario sempurna ketika dakwaan sampai ke tangan hakim yaitu tuntutan yang ringan untuk mengunci putusan hakim.

"Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan. Misalnya tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana 5 tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut 1 tahun penjara," ungkap Isnur.

Alasan putusan harus ringan adalah agar kedua terdakwa tidak dipecat dari Kepolisian dan menjadi "whistle blower" atau "justice collaborator" (pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum).

"Skenario sempurna ini ditunjukkan oleh sikap terdakwa yang menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum," tegas Isnur.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020