Penyelesaian sengketa kasus perdata harus mengedepankan perdatanya, bukan pidana
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum perbankan Yunus Husein mengingatkan Bareskrim Polri agar tidak memaksakan sebuah perkara perdata untuk masuk ke ranah pidana.

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini menegaskan bahwa penanganan sebuah perkara perdata harus diselesaikan secara perdata pula.

Hal itu dikatakan Yunus Husein di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis, usai diperiksa sebagai saksi ahli oleh penyidik Bareskrim Polri dalam gelar perkara kasus dugaan tindak pidana perbankan yang melibatkan debitur bermasalah Rita Kishore Kumar Pridani dan Kishore Kumar Tahilram Pridani selaku Direksi PT Ratu Kharisma yang mengajukan permohonan kredit bersama dengan 20 direksi, komisaris, dan karyawan Bank Swadesi yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Penyelesaian sengketa kasus perdata harus mengedepankan perdatanya, bukan pidana," ujar Yunus.

Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum perbankan, Yunus memberi pandangan kepada penyidik terkait penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menjerat 20 tersangka.

Baca juga: Ahli hukum perbankan harap Bukopin milik investor dalam negeri

Ia menilai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh para tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut tidak termasuk ke dalam ranah pidana melainkan kesalahan administrasi yang bisa diperbaiki melalui kesepakatan kedua pihak yang berperkara.

"Jadi Pasal 49 itu tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan, tapi langkah yang diperintahkan oleh otoritas, dalam hal ini BI (Bank Indonesia) atau OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," tutur Yunus.

Menurut dia, dalam beberapa kasus, banyak bank dilaporkan secara pidana oleh debitur-debitur bermasalah. Langkah debitur nakal tersebut menurutnya adalah sebagai upaya agar mereka terbebas dari kewajiban untuk membayar.

Yunus menekankan dalam kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini terdampak pandemik COVID-19, bank memiliki fungsi penting seperti jantung dalam tubuh manusia yang mensuplai likuiditas ke perekonomian seperti jantung yang mensuplai darah ke dalam tubuh manusia.

"Lewat diskusi dengan penyidik, kami berharap polisi merekonstruksi ulang agar modus-modus para debitur nakal ini tidak membuat dunia perbankan ketakutan," imbuhnya.

Kasus ini berawal ketika pada awal tahun 2008, Rita Kishore Kumar Pridani dan Kishore Kumar Tahilram Pridani selaku Direksi PT Ratu Kharisma mengajukan permohonan kredit ke Bank Swadesi yang kini telah diakuisisi oleh PT Bank of India Indonesia sebesar Rp10,5 miliar dengan agunan yang disebut senilai Rp13,5 miliar.

Baca juga: Ahli: transaksi Irvanto terindikasi pencucian uang

Dalam perjalanannya, pihak Rita tidak membayar cicilan kepada bank. Kemudian setelah melalui proses mediasi, pihak bank melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar melelang aset yang dilakukan terbuka. Hasilnya aset yang diagunkan oleh Rita berupa tanah seluas 1.520 meter persegi di daerah Seminyak, Bali laku dalam lelang tersebut senilai Rp6.386.000.000.

Pihak Rita tidak puas dengan hasil lelang tersebut karena nilai lelang jauh dibawah nilai aset yang diagunkannya.

Setelah melalui proses panjang, akhirnya pihak Rita melaporkan komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Metro Bali atas dugaan melakukan tindak pidana perbankan.

Kasus ini kemudian diserahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri dan menetapkan status tersangka kepada 20 karyawan, komisaris, maupun direksi Bank Swadesi yang telah memasuki masa pensiun.

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020