Uang dalam rekening-rekening tersebut disita karena merupakan hasil dari kejahatan.
Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum (JPU) KPK meminta agar uang senilai Rp11,461 miliar di rekening atas nama Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dirampas untuk negara.

Dalam sidang pembacaan tuntutan untuk mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, JPU KPK menyebutkan tiga barang bukti yang dituntut untuk dirampas, yaitu uang dalam rekening BNI atas nama Johnny E. Awuy senilai Rp61,149 juta; uang dalam rekening BNI atas nama KONI Pusat sejumlah Rp11,461 miliar; dan uang pengembalian dari saksi senilai Rp994,231 juta.

"Terhadap barang bukti tersebut di atas, sudah selayaknya penuntut umum menyatakan agar dirampas untuk negara," kata JPU KPK Budhi Sarumpaet saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.

Sidang dilakukan melalui sarana video conference, Imam Nahrawi berada di Gedung KPK, sementara jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim, dan sebagian penasihat hukum berada di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Uang dalam rekening-rekening tersebut disita karena merupakan hasil dari kejahatan.

Baca juga: Jaksa KPK: Taufik Hidayat perantara gratifikasi untuk Imam Nahrawi

Rekening atas nama KONI Pusat senilai Rp11,461 miliar berasal dari proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi pada tahun 2018 sejumlah Rp17,971 miliar.

Namun fee bagian Imam Nahrawi dan asisten pribadinya Miftahul Ulum belum sempat diserahkan Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy karena pada tanggal 18 Desember 2018 keduanya diamankan petugas KPK setelah memberikan jatah fee kepada sejumlah pejabat Kemenpora.

Uang sebesar Rp994,231 juta adalah uang pengembalian dari pemilik dari Kantor Arsitek Budipradono, yaitu Budiyanto Pradono kepada KPK.

"Dari total uang sejumlah Rp8,648 miliar yang telah dinikmati oleh terdakwa, ada uang sejumlah Rp2 miliar untuk membayar jasa desain aset milik terdakwa Imam Nahrawi kepada Kantor Arsitek Budipradono yang dalam persidangan telah dikembalikan oleh saksi Budiyanto Pradono kepada penyidik KPK sejumlah Rp994,231 juta karena sudah ada total penggunaan sebesar Rp1,005 miliar," ungkap jaksa Budhi.

Dalam surat tuntutannya, JPU KPK menyatakan bahwa Imam Nahrawi dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan berkapasitas sebagai pejabat publik, yaitu selaku Menpora yang seyogianya memberikan teladan yang baik dalam membina Kepemudaan dan Olahraga di Indonesia.

Baca juga: Jaksa KPK: Imam Nahrawi acuhkan temuan BPK soal anggaran Kemenpora

"Namun, kewenangan tersebut telah terdakwa salahgunakan dengan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan kewajiban dan sumpah jabatan terdakwa selaku Menpora. Maka, penuntut umum merasa perlu untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam pemilihan jabatan publik," kata jaksa.

Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp19,154 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.

JPU KPK menilai Imam Nahrawi bersama-sama dengan Miftahul Ulum terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar.

Sementara itu, Ulum dituntut 9 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menjadi operator lapangan aktif penerimaan suap dan gratifikasi.

Atas tuntutan terhadap Imam tersebut, penasihat hukum Imam Wa Ode Nur Zainab menyatakan surat tuntutan tidak sesuai dengan fakta hukum.

"Tuntutan penuntut umum tidak sesuai dengan fakta hukum, sangat mengada-ada, dan cenderung tendensius seperti ada dendam kepada klien kami. Kami telah siapkan nota pembelaan," kata Wa Ode.

Baca juga: Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020