Karena suplai dikurangi, otomatis harga naik. Ini teori permintaan yang biasa
Jakarta (ANTARA) - Keputusan Pemerintah mempertahankan atau tidak menurunkan bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu, dianggap tepat karena pertumbuhan ekonomi berbagai sektor di Indonesia saat ini negatif.

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Mudrajad Kuncoro mengatakan, pertumbuhan sektor minyak dan gas secara kuartal ke kuartal, negatif 0,75 persen selain itu meskipun dilihat year to year naik, tetapi sangat kecil, hanya 0,43 persen.

"Itu yang menyebabkan pemerintah tidak berani menurunkan harga. Karena pelaku usaha sektor migas berjatuhan, termasuk Pertamina dan PGN," kata Mudrajad melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Pertumbuhan yang negatif tersebut, menurut dia, karena permintaan memang tidak ada atau juga ikut turun sehingga turut berpengaruh juga terhadap pertumbuhan sektor minyak dan gas.

"Sektor lain juga banyak yang negatif. Paling parah adalah pendidikan, yang minus 10,39 persen," katanya.

Secara keseluruhan, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi saat ini anjlok menjadi 2,97 persen year to year, dari sebelumnya yang berada pada angka 5 persen.

"Saat ini pertumbuhan yang terjelek. Pada triwulan pertama 2020, menjadi hanya 2,97 persen. Sementara kalau dilihat kuartal ke kuartal, pertumbuhan bahkan sudah negatif, menjadi minus 2,41 persen. Itu bukan tumbuh tetapi kontraksi," katanya.

Selain itu, keputusan tidak menurunkan harga BBM itu juga tepat karena harga minyak mentah dunia masih sangat berfluktuasi, yakni ketika April harga minyak Brent anjlok pada pada level sekitar 20 dolar AS/barel, saat ini kembali melesat sekitar 100 persen.

"Minyak Brent sekarang sudah menyentuh harga 42,30 dolar AS/barel. Harga minyak masih bisa naik dan bisa turun," ujarnya.

Harga minyak dunia, menurut Mudrajad, sangat berfluktuasi karena naik-turunnya harga minyak dunia, sangat dipengaruhi faktor geopolitik internasional, termasuk perang harga Arab Saudi dan Rusia serta Amerika.

Bahkan, tambahnya, saat ini, ketika harga kembali naik, juga dominan disebabkan faktor suplai, bukan permintaan, karena OPEC sepakat memangkas produksi 9,7 juta barel/hari.

"Karena suplai dikurangi, otomatis harga naik. Ini teori permintaan yang biasa," katanya.

Baca juga: Ekonom UI sebut tepat kebijakan harga BBM tidak diturunkan
Baca juga: Ini kata Ombudsman mengapa harga BBM tak turun

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020