Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono dituntut 12 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan korupsi penunjukan langsung kondensat migas PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI).

"Menuntut supaya menjadi hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa Raden Priyono dan terdakwa Djoko Harsono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer. Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa berupa pidana penjara masing-masing selama 12 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 6 bulan," jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Bima Suprayoga di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pertama yaitu pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga: Lima tersangka Jiwasraya akan jalani sidang di pengadilan tipikor

"Hal yang memberatkan, para terdakwa selaku pimpinan pada BP Migas tidak mendukung pemerintah dalam rangka menyelenggarakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. Hal-hal yang meringankan para terdakwa tidak menikmati uang hasil kejahatan, telah ada pemulihan kerugian keuangan dan kerugian keuangan negara sebesar dolar 2.588.285.650,91 dolar AS yang disetorkan ke rekening pada Bank Indonesia terdiri dari pokok dan denda sebesar pokok 2.577.626.284,39 AS , denda 10.659.366,52 dolar AS," tambah jaksa Bima.

Dalam perkara ini, Raden Priyono dan Djoko Harsono dinilai terbukti melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara senilai 2.588.285.650,91 dolar AS (sekitar Rp37,8 triliun).

Perbuatan itu dilakukan bersama dengan mantan Direktur Utama PT TPPI Honggo Wendratno yang hingga kini masih buron sehingga sidang Honggo digelar secara "in absentia".

Kasus bermula Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (Public Service Obligation) melalui surat ke BP Migas.

Honggo mengklaim, selain mampu menghasilkan produk aromatic (paraxylene, benzene, orthoxylene, toluene), PT TPPI juga mampu memproduksi Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Mogas RON 88 (bensin premium) sebagaimana Surat Nomor : TPPI/BPH Migas/L-040 tertanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada BP Migas.

Baca juga: Pengadilan gelar sidang perdana dugaan suap terhadap Muzni Zakaria

Padahal saat itu PT TPPI mengalami kesulitan keuangan dan telah berhenti berproduksi dan PT TPPI memiliki utang kepada PT. Pertamina (Persero).

Honggo kemudian mengirimkan surat permohonan kepada Djoko selaku agar TPPI dapat membeli minyak mentah/kondensat sebagai bahan baku langsung dari BP Migas untuk produksi BBM guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Atas permohonan itu, Djoko menyetujuinya. Raden Priyono kemudian menunjuk PT TPPI sebagai penjual Kondensat bagian negara tapi penunjukan itu menyalahi prosedur.

Penunjukan langsung PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melibatkan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara sehingga tidak pernah dilakukan kajian dan analisa selain itu penunjukan PT. TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melalui lelang terbatas, PT TPPI tidak terdaftar di BP Migas, PT TPPI tidak pernah mengirim formulir atau penawaran, dan PT TPPI tidak menyerahkan jaminan berupa Open Credit/Irrevocable LC.

Priyono dan Djoko kemudian menyerahkan kondensat bagian negara kepada PT TPPI dari kilang Senipah, kilang Bontang Return Condensate (BRC) dan kilang Arun tanpa dibuatkan kontrak kerja sama dan tanpa jaminan pembayaran. Akibat penyerahan kondesat itu, Honggo tidak mengolah kondensat bagian negara itu di kilang TPPI.

PT TPPI mengolah kondensat bagian negara yang seharusnya menjadi Produk Mogas 88, kerosene dan solar yang dibutuhkan PT Pertamina, menjadi produk-produk olahan kondensat yang tidak dibutuhkan PT Pertamina. Akibatnya, semua produk olahannya tidak dijual ke PT Pertamina (Persero) tetapi dijual ke pihak lain.

Jumlah keseluruhan penyerahan kondensat bagian negara kepada Honggo sejak 23 Mei 2009 sampai 2 Desember 2011 sebanyak 33.089.400 barel dengan nilai 2.716.859.655 dolar AS.

Terkait perkara ini, Honggo Wendratno dituntut 18 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar diwajibkan membayar uang ganti rugi sebesar 128.233.730 dolar AS.

Baca juga: Saksi akui serahkan "pelicin" APBD ke mantan Ketua DPRD Tulungagung
Baca juga: Dua terdakwa korupsi LCC ajukan status tahanan kota

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020