telah merugikan keuangan negara sebesar Rp63,829 miliar
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (PT CMI Teknologi) Rahardjo Pratjihno didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp63,829 miliar, karena melakukan korupsi pengadaan "Backbone Coastal Surveillance System" (BCSS) yang terintegrasi dengan "Bakamla Integrated Information System" (BIIS) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016.

"Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi bersama-sama dengan Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bakamla RI, Leni Marlena selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla, dan Juli Amar Ma'ruf selaku Koordinator ULP Bakamla telah merugikan keuangan negara sebesar Rp63,829 miliar sebagaimana audit perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS pada Bakamla tahun anggaran 2016," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Feby Dwiyandospendy, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Terdakwa Rahardjo Pratjihno sendiri tidak hadir di Pengadilan Tipikor, namun mengikuti sidang dari Gedung KPK melalui "video conference". Hanya ada JPU KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum yang bersidang di pengadilan.

Dari perbuatan korupsi tersebut, JPU KPK menyatakan Rahardjo memperkaya diri sendiri dan orang lain.

"Memperkaya terdakwa selaku pemilik PT CMI Teknologi sebesar Rp60,329 miliar dan memperkaya Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp3,5 miliar," kata jaksa Feby.

PT CMI Teknologi adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha pengadaan produk-produk teknologi komunikasi dan telah beberapa kali menjadi rekanan (penyedia barang/jasa) bagi instansi pemerintahan.
Baca juga: KPK tahan Dirut PT CMIT tersangka kasus proyek di Bakamla


Pada Maret 2016, Rahardjo diajak Ali Fahmi ke Kantor Bakamla menemui Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla Arief Meidyanto. Ali Fahmi adalah staf khusus (narasumber) bidang perencanaan dan keuangan Bakamla.

Pada pertemuan itu, Rahardjo dan Arief Meidyanto berdiskusi soal keinginan mengembangkan sistem teknologi BIIS dan rencana kedatangan tim teknis PT CMI Teknologi.

Pertemuan dengan tim teknis terjadi seminggu kemudian. Pada kesempatan itu, Rahardjo juga bertemu dengan Kepala Bakamla Arie Soedewo. Rahardjo mengusulkan kepada Arie dan Arief, agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau "Backbone Surveillance" yang terintegrasi dengan BIIS.

"Pada April 2016, Arie Soedewo mengarahkan Arief Meidyanto agar dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk pembuatan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) APBN-P 2016 dapat berkonsultasi dengan terdakwa yang pada saat itu sedang berada di Bakamla," kata jaksa Feby.

Rahardjo lalu mengirimkan lewat email soal spesifikasi teknis yang dibutuhkan masing-masing stasiun Bakamla di daerah yang akan diintegrasikan melalui jaringan Backbone beserta rencana anggarannya (RAB) senilai total Rp350 miliar. Data tersebut menjadi dasar untuk menyusun KAK dan RAB sebesar Rp315,113 miliar.

Ali Fahmi lalu berkoordinasi dengan pihak-pihak di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Direktorat Jenderal Anggaran dan Kementerian Keuangan sebelum pembahasan anggaran di Komisi I DPR.

Setelah dibahas di DPR, maka paket anggaran pengadaan BCSS itu berhasil ditampung dalam APBN-P 2016 senilai Rp400 miliar, namun anggaran belum bisa digunakan karena membutuhkan persetujuan lebih lanjut atau istilahnya masih ditandai bintang.

Arie Soedewo lalu menunjuk Tim Pokja ULP Bakamla diketuai Leni Marlena yang dibantu Juli Amar Ma'ruf sebagai koordinator untuk pengadaan yang berada di Deputi Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Bakamla.

"Pada Juli 2016, terdakwa kembali bertemu dengan Arie Soedewo dan Arief Meidyanto di Kantor Bakamla untuk memaparkan rencana BCSS. Berdasarkan paparan itu, Arie Soedewo mengatakan PT CMI Teknologi sebenarnya dapat ditunjuk langsung dalam lelang pengadaan backbone karena barang yang diadakan unik dan memiliki nilai lokal yang tinggi," ujar jaksa Feby.

Rahardjo lalu mempersiapkan perusahaan lain yang akan mendampingi PT CMI Teknologi untuk mengikuti lelang BCSS di Bakamla. Disepakati juga tiap spek item barang akan dibuat sedetail mungkin untuk "mengunci spek" dalam KAK pengadaan.

Bahkan meski lelang pengadaan belum dilakukan, namun Rahardjo telah menandatangani Surat Perjanjian Kerja Sama dengan Direktur Utama PT CSE Aviation Edwin Sudarmo tentang Pelaksanaan Pekerjaan Mengelola Proyek Pembangunan Backbone Surveillance System Bakamla RI di seluruh Indonesia dengan nilai kontrak sebesar Rp2,496 miliar.

Pada Agustus 2016, meski tanda bintang belum dicabut karena harus menunggu Laporan Audit yang disebut Probity Audit diselesaikan tim BPKP, Juli Amar Ma'ruf menyarankan Leni Marlena tetap memulai proses lelang pengadaan "backbone".
Baca juga: Erwin Arief divonis 2,5 tahun penjara terkait suap Bakamla



Leni pun menetapkan sistem pemilihan penyedia barang/jasa yang dipergunakan adalah pelelangan umum dengan metode pascakualifikasi sistem gugur satu sampul, karena menganggap jenis pekerjaan ini tergolong sederhana padahal pengadaan "backbone" tersebut termasuk jenis pekerjaan kompleks yang seharusnya menggunakan pelelangan umum dengan metode penilaian prakualifikasi.

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dibuat Juli Amar Ma'ruf berdasarkan konsep Arief Meidyanto adalah sejumlah Rp3,99,805 miliar meski dibuat tanpa PPK, karena Bambang Udoyo baru ditunjuk sebagai PPK pada 22 Agustus 2017.

PT CMI Teknologi lantas keluar sebagai pemenang lelang pekerjaan pengadaan "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" Bakamla TA 2016 dengan nilai penawaran Rp397,006 miliar. Namun pada Oktober 2016, Kemenkeu hanya menyetujui anggaran BCSS tersebut sebesar Rp170,579 miliar.

Karena anggaran kurang dari nilai HPS pengadaan, seharusnya lelang dibatalkan dan dilelang ulang, tapi Leni dan Juli tidak membatalkan lelang namun bersama Bambang Udoyo bertemu untuk membicarakan "Design Review Meeting" (DRM) dengan PT CMI Teknologi. Dalam pertemuan DRM itu disepakati nilai pengadaan menjadi Rp170,579 miliar.

Pada 18 Oktober 2016, Rahardjo dan PPK Bakamla Bambang Udoyo menandatangani kontrak pengadaan berbentuk lumpsum dengan nilai pekerjaan senilai Rp170,579 miliar.

PT CMI Teknologi lalu melakukan subkontrak dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan.

"Pada akhir Oktober 2016 bertempat di daerah Menteng Jakarta Pusat, terdakwa memberikan selembar cek Bank Mandiri kepada Hardy Stefanus senilai Rp3,5 miliar untuk diberikan kepada Ali Fahmi sebagai realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla," ujar jaksa Feby.

Hardy lalu mencairkan dalam bentuk dolar Singapura sebesar Rp3 miliar dan sisanya Rp500 juta dalam bentuk rupiah. Hardy lalu menyerahkan kepada Ali Fahmi di gerai Starbucks dekat PRJ Kemayoran saat pameran Indo Defense.

"Hingga batas akhir 31 Desember 2016, terdakwa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, bahkan ada sejumlah alat yang baru dapat dikirim dan dilakukan instalasi pada pertengahan 2017," kata jaksa Feby pula.

Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Bakamla juga tidak pernah melakukan pengecekan ke lapangan atas kesesuaian jumlah alat yang telah diadakan, namun hanya berdasarkan dokumen laporan dari PT CMI Teknologi dan menyampaikan kemajuan sebesar 81,25 persen.

Namun, Bambang Udoyo selaku PPK tetap menyetujui pembayaran PT CMI Teknologi seperti saran Juli Amar Ma'ruf yaitu sebesar Rp134,416 miliar.

"Dari jumlah tersebut, ternyata biaya pelaksanaan hanya sebesar Rp70,587 miliar, sehingga terdapat selisih sebesar Rp63,829 miliar sebagai yang merupakan keuntungan dari pengadaan backbone di Bakamla. Adapun nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp3,5 miliar, sehingga terdakwa selaku pemilik PT CMI Teknologi mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp60,329 miliar," ujar jaksa Feby.

Pengadaan "backbone" yang dilaksanakan oleh PT CMI Teknologi tersebut pada akhirnya tidak dapat dipergunakan sesuai tujuan yang diharapkan karena kualitas sistemnya belum berfungsi dengan baik, sebagaimana tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan fisik oleh Tim Ahli Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tanggal 29 Oktober 2019 yang menyatakan bahwa meskipun semua "Bill of Material" yang telah dijanjikan dalam kontrak dapat dipenuhi oleh kontraktor namun secara fungsi tidak dapat didemonstrasikan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.

Atas perbuatannya, Rahardjo didakwa Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan, sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Baca juga: KPK mendalami keterlibatan korporasi dalam dugaan korupsi di Bakamla

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020