Lampung Timur (ANTARA) - Kehidupan para nelayan di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung tak luput terkena dampak pandemi virus corona  penyebab COVID-19 melalui terjadinya penurunan harga komoditas perikanan dari hasil melaut.
​​​​​​
Di wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai terdapat ribuan nelayan dengan bermacam-macam alat tangkap. Mereka umumnya mencari ikan sebatas di sekitar perairan laut wilayah Kabupaten Lampung Timur. Terdapat pula ratusan pelaku usaha perikanan di wilayah ini.

Komoditas utama perikanan di Kabupaten Lampung Timur, tepatnya perairan laut Labuhan Maringgai adalah kepiting rajungan, disusul udang, dan berbagai jenis ikan.

Kepiting rajungan dari wilayah Kecamatan Labuhan Maringgai selama ini diekspor ke berbagai negara, sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menetapkan wilayah Labuhan Maringgai sebagai proyek percontohan rajungan berkelanjutan.

Sebelum wabah COVID-19 merebak, tercatat pada bulan Februari 2020, harga kepiting rajungan ukuran super mencapai Rp50 ribu per kilogram dan ukuran sedang Rp37 ribu per kilogram.

Tangkapan nelayan pun relatif selalu banyak, satu orang nelayan bisa mendapatkan 30 kg sampai 50 kg rajungan dalam sehari. Satu pengolah rajungan saja, mampu mengumpulkan satu ton hingga dua ton lebih dalam sehari.

Baca juga: Harga ikan anjlok terdampak Corona, nelayan kurangi frekuensi melaut

Harga Merosot

Tapi, setelah pandemi COVID-19 merebak, harga kepiting rajungan menjadi turun, dan belum ada tanda-tanda harga akan naik sampai hari ini.

Penurunan harga rajungan ini tentunya membuat nelayan dan pelaku usaha rajungan di wilayah ini merugi.

Saptiri, salah satu nelayan di Labuhan Maringgai, saat ditemui menyebutkan adanya wabah corona membuat harga kepiting rajungan turun.

Saptiri menyebutkan harga kepiting rajungan ukuran sedang saat ini sebesar Rp15 ribu per kilogram, dan ukuran besar Rp35 ribu per kilogram.

Padahal, menurutnya lagi, hasil tangkapan kepiting rajungan sekarang ini mulai berkurang, menyusul musim angin barat akan berakhir berganti musim angin timur.

Musim angin timur berlangsung antara bulan Juni sampai November. Pada musim angin timur ini, nelayan yang mencari kepiting rajungan beralih menangkap udang dan ikan kembung.

"Sebentar lagi nelayan rajungan akan beralih menangkap udang dan ikan, mulai sekitar bulan Juni nanti," ujarnya pula.

Dia berharap pada musim angin timur, harga komoditas laut akan naik.

"Kalau begini terus, kita tidak ada penghasilan," ujar dia.

Nelayan lainnya, Samsudin mengatakan virus corona membuat nelayan khawatir terpapar, namun tidak ada pilihan lagi, nelayan harus tetap melaut demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Samsudin berharap, pemerintah cepat menanggulangi pandemi COVID-19 ini, karena imbasnya telah membuat harga ikan turun, sehingga penghasilan nelayan makin menyusut.

Dia juga berharap selama wabah COVID -19 masih terus berlangsung, pemerintah juga memberikan bantuan sosial kepada nelayan kecil.

Salah seorang pengolah rajungan menyebutkan, faktor penyebab terjadi penurunan harga kepiting rajungan karena pihak perusahaan penampung membatasi kuota pengiriman barang, sehingga menurunkan harganya.

Kondisi itu, mau tidak mau membuat pelaku usaha kepiting rajungan menurunkan pula harga pembelian di tingkat nelayan.

"Sekarang dibatasi jumlah rajungan yang dikirim, hampir setengahnya dari sebelumnya. Sebelum ada wabah corona, tidak ada batasan barang yang dikirim. Harga juga diturunkan dari perusahaan," ujar dia lagi.

Dia mencontohkan, harga daging kepiting rajungan ukuran jumbo tadinya Rp250 ribu per kilogram, kini turun menjadi Rp110 ribu per kg.

Namun menurut dia selama pandemi COVID-19 ini, para pelaku usaha kepiting rajungan umumnya tetap beroperasi.

Baca juga: Awas, kapal nelayan di NTT jadi angkutan penumpang saat wabah corona

Nelayan Perlu Bantuan

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Lampung Bayu Witara mengungkapkan faktor penyebab penurunan harga komoditas laut, seperti ikan dan kepiting rajungan di sejumlah wilayah Provinsi Lampung adalah akibat sejumlah perusahaan pengekspor perikanan mengurangi permintaan barang.

Bahkan, menurutnya, ada perusahaan pengekspor perikanan yang menyetop permintaan.

Banyak pula rumah makan dan restoran di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya tutup, sehingga permintaan atas komoditas perikanan menurun drastis.

Sedikitnya permintaan itu, sangat berpengaruh terhadap harga bahan baku hasil ikan dan lainnya di tingkat nelayan.

"Permintaan barang dengan stok barang tidak imbang, banyak barang, sehingga membuat harga turun," ujarnya lagi.

Bayu Witara mengingatkan agar pemerintah harus segera ikut campur untuk membantu kesulitan dialami nelayan saat ini, yaitu dengan menstabilkan harga komoditas perikanan laut.

"Keran ekspor hasil perikanan laut harus dibuat normal lagi," ujar dia.

Bayu pun mengaku telah mendengar keluhan nelayan di 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung, tentang kesulitan kehidupan sehari-hari dialami mereka pada masa pandemi COVID-19 ini.

Padahal dari para nelayan itulah kita semua selama ini dapat memenuhi kebutuhan protein dari sumber daya laut, seperti ikan, udang, kepiting, dan lainnya untuk konsumsi masyarakat di dalam maupun luar negeri.

Nelayan juga berkontribusi terhadap pemasukan kas negara, sehingga nelayan dan keluarganya adalah pihak yang mesti dipikirkan nasibnya oleh pemerintah pusat dan daerah, seperti dengan memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Apalagi di tengah pandemi COVID-19 saat ini, pemerintah harus memastikan pelaku usaha perikanan tidak terkendala pemasaran dan para nelayan menerima harga hasil tangkap secara layak.

Boleh jadi, semua harapan itu tak hanya disuarakan para nelayan dari Lampung Timur, tapi juga nelayan lain di negeri ini, menghadapi dampak pandemi masih belum usai hingga saat ini.

Baca juga: Pandemi, KKP pastikan cold storage mampu tampung hasil nelayan

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020