Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislatif DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto mengusulkan TAP MPRS No.25/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai bagian dari konsiderans “Mengingat” dalam landasan Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

"Draft RUU HIP ini tidak memasukkan ketentuan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai bagian dari konsiderans 'Mengingat'," kata Mulyanto dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

Mulyanto menjelaskan TAP MPRS tersebut sangat penting dan relevan untuk dapat melindungi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dari pengaruh paham atau ajaran Komunisme/Marxisme Leninisme di tengah percaturan politik regional maupun global dalam perang dagang dan politik antara "state capitalism" dan "corporate capitalism".

Menurut dia, Pancasila yang dimaksud dalam RUU HIP lebih dimaksudkan dan ditekankan pada Pancasila 1 Juni 1945, bukan pada Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sehingga secara eksplisit muncul pasal terkait dengan "Trisila" dan "Ekasila".

Dimana, 5 sila (Pancasila) diperas menjadi 3 sila (Trisila), dan kemudian diperas lagi menjadi hanya 1 sila (Ekasila), yaitu gotong-royong.

"Draf RUU HIP ini cenderung meletakkan agama sebagai instrumen pelengkap dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu dapat ditafsirkan menihilkan sila-sila yang lain dalam Pancasila, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang merupakan konsensus nasional para pendiri bangsa," ujarnya.

Dia menjelaskan nilai-nilai dasar yang ada dalam Pancasila harus disampaikan secara lengkap dan utuh, sesuai dengan yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dan tidak boleh menjadi alat indoktrinasi sebagai ideologi tertutup yang mereduksi HAM, apalagi dilaksanakan dengan pendekatan keamanan sebagaimana yang pernah dialami di Era Orde Baru.

Mencabut dan menghapuskan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 6 terkait dengan Trisila dan Ekasila. Karena,

Dia menilai dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana yang terjadi dalam rapat-rapat BPUPKI juga dalam rapat-rapat PPKI, berbagai pandangan para pendiri bangsa tentang trisila dan ekasila telah diperkaya dan dirumuskan dalam formula yang lebih komprehensif.

"Untuk mendapat penerimaan yang luas dari masyarakat dan benar-benar memenuhi aspirasi dari seluruh komponen bangsa, maka RUU HIP ini tidak boleh dipertentangkan antara prinsip ketuhanan dan prinsip kebangsaan," katanya.

Baca juga: COVID-19 meluas, Universitas Pancasila perpanjang PJJ hingga 2 Mei

Sebelumnya, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) adalah RUU inisiatif DPR RI dengan pengusul Anggota Badan Legislasi DPR RI (Baleg), yang termasuk dalam RUU Prioritas tahun 2020 dalam Prolegnas 2020-2024.

RUU ini diharmonisasi dan Baleg DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU HIP.

RUU HIP telah selesai dibahas di tingkat Panja, dan pada tanggal 22 April 2020 telah dibahas di dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI.

Saat ini berada pada tahap penyiapan naskah akhir hasil Pleno Baleg tanggal 22 April 2020 untuk dibawa ke dalam Rapat Badan Musyawarah DPR RI (Bamus) untuk selanjutnya disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Baca juga: Laku Pancasila di Tengah Wabah Corona

Baca juga: Ormas PP dan Indika Foundation deklarasi Gerakan Relawan Cegah Corona

Baca juga: Pandemi COVID-19, BPIP: Masyarakat praktikkan nilai-nilai Pancasila

Baca juga: MPR-BPIP perkuat kerja sama kembalikan marwah Pancasila




 

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020