Meminta agar para komisioner lain dan anggota KPU di daerah waspada, dan mengambil kebijakan sesuai peraturan perundangan
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI  2017-2022 Arief Budiman meyakini suap yang ditujukan kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan tidak memengaruhi kebijakan lembaga tersebut dalam penetapan nama calon anggota legislatif terpilih.

"Bagi saya, uang suap yang didakwakan itu tidak ada pengaruhnya dengan kebijakan yang kami ambil," kata Arief di kediamannya, di Jakarta, Senin.

Arief menyampaikan hal tersebut sebagai saksi di pengadilan untuk terdakwa Saeful Bahri. Arief bersaksi melalui sarana "video conference", sedangkan Saeful Bahri berada di Rumah Tahanan (Rutan) KPK di Gedung KPK lama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum berada di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Saeful Bahri yang juga merupakan kader PDI Perjuangan didakwa bersama-sama Harun Masiku ikut menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta, agar mengupayakan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I kepada Harun Masiku.

"Saya ingin katakan KPU telah menjalankan tugas-tugasnya sesuai ketentuan perundangan berlaku, mengambil keputusan secara independen, tidak terpengaruh dengan hal-hal di luar itu termasuk apa yang disampaikan tadi terdakwa bertemu siapa kami tidak terpengaruh," ujar Arief.
Baca juga: Kader PDIP didakwa suap komisioner KPU Wahyu Setiawan Rp600 juta


Arief juga meminta agar para komisioner lain dan anggota KPU di daerah waspada, dan mengambil kebijakan sesuai peraturan perundangan.

"Tentu saya ingin ingatkan kepada seluruh anggota KPU, ketua dan anggota KPU di provinsi, kabupaten, kota agar lebih waspada dan berhati-hati dalam mengambil kebijakan agar sesuai dengan peraturan perundangan bukan yang lain," kata Arief.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa meski Nazarudin Kiemas sudah meninggal dunia, namun ia tetap mendapat suara tertinggi di Dapil Sumsel I yaitu 34.276 suara dalam pileg. Pada Juli 2019, rapat pleno PDIP memutuskan Harun Masiku yang hanya mendapat suara 5.878 sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin Kiemas.

Atas keputusan rapat pleno DPP PDIP tersebut, Hasto lalu meminta Donny Tri Istiqomah selaku penasihat hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan ke KPU RI. Namun KPU membalas surat DPP PDIP itu dengan menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP, karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Harun Masiku lalu meminta Saeful, agar ia dapat menggantikan Riezky Aprilia dengan cara apa pun yang kemudian disanggupi Saeful.

Saeful bersama Donny Tri Istiqomah lalu menemui Harun Masiku di Restoran Hotel Grand Hyatt Jakarta pada 13 Desember 2019, dan disepakati biaya operasional untuk Wahyu adalah sebesar Rp1,5 miliar dengan harapan Harun dapat dilantik sebagai anggota DPR pada Januari 2020.

Uang diserahkan pada 17 Desember 2019 dari Harun Masiku kepada Saeful sebesar Rp400 juta. Selanjutnya ditukarkan menjadi 20 ribu dolar Singapura untuk diberikan kepada Wahyu sebagai "down payment".
Baca juga: KPU sebut kasus Wahyu Setiawan tidak pengaruhi tahapan pilkadaBaca juga: Kader PDIP didakwa suap komisioner KPU Wahyu Setiawan Rp600 juta


Uang diberikan melalui Agustiani, sedangkan sisa uang dari Harun dibagi rata Saeful dan Donny masing-masing Rp100 juta.

Pada 26 Desember 2019, Harun lalu meminta Saeful mengambil uang Rp850 juta dari Patrick Gerard Masako. Uang itu digunakan untuk operasional Saeful sejumlah Rp230 juta, untuk Donny Tri Istiqomah sebesar Rp170 juga dan kepada Agustiani Tio sejumlah Rp50 juta ,sedangkan sisanya Rp400 juta ditukarkan menjadi 38.350 dolar Singapura untuk DP kedua kepada Wahyu Setiawan.
Baca juga: Simpang siur keberadaan Harun Masiku, Kemenkumham bentuk tim gabungan

Pada 8 Januari 2020, Wahyu Setiawan menghubungi Agustiani agar mentransfer sebagian uang yang diterima dari Saeful, yaitu sejumlah Rp50 juta ke rekening BNI atas nama Wahyu. Namun, sebelum uang ditransfer, Agustiani dan Wahyu diamankan petugas KPK dengan menyita 38.350 dolar Singapura.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020, Harun hingga saat ini belum ditemukan dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020