Jakarta (ANTARA) - Hampir satu bulan yang lalu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk berkegiatan dari rumah demi mengurangi penyebaran virus corona, sejumlah kantor dan sekolah pun memutuskan meniadakan kegiatan. 

Sejak itu pula, masyarakat mengandalkan teknologi, terutama yang berhubungan dengan komputer, ponsel dan internet agar mereka terus bisa bekerja dan belajar dari rumah. Salah satu teknologi yang mendadak populer dan disukai masyarakat adalah aplikasi konferensi video dari Amerika Serikat Zoom.

Alasannya, Zoom memberikan akses gratis selama 40 menit untuk keanggotaan tidak berbayar (basic) dan bisa menampung hingga ratusan partisipan dalam sekali waktu. Acara kumpul-kumpul di kedai kopi kini berganti menjadi "ngopi" bareng di rumah masing-masing lewat Zoom.

Begitu pun dengan urusan pekerjaan, banyak rapat yang kini diwadahi Zoom karena daya tampung partisipan yang begitu besar. Tidak terkecuali jurnalis, konferensi pers pun kini dihadiri secara virtual, baik melalui Zoom atau aplikasi sejenis seperti Google Hangouts Meet dan Skype selama periode physical distancing, menjaga jarak fisik.

Seperti hari ini, Kamis (16/4) Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) mengadakan diskusi virtual TIK-Talk edisi ke-19 dengan tema "Kolaborasi Multistakeholders untuk Memerangi Hoax dan Disinformasi di Tengah Pandemi COVID-19".

Diskusi tersebut membahas seputar masalah hoaks dan misinformasi yang menambah keresahan masyarakat di tengah pandemi virus corona, menghadirkan beragam pembicara termasuk dari pakar teknologi dan perwakilan kementerian.

Baca juga: Muncul gambar cabul, Zoom tak digunakan lagi di Singapura

Baca juga: Zoom pekerjakan mantan kepala keamanan Facebook


Diskusi tersebut terbuka untuk umum, bukan hanya untuk media, dan rupanya menarik minat masyarakat yang juga resah dengan penyebaran hoaks saat kondisi krisis seperti saat ini. Berkat teknolgi, berapa banyak peserta diskusi pun dapat diketahui lewat ikon partisipan. Jumlah peserta diskusi hari ini lebih dari 100 orang.

Satu setengah jam pertama, paparan dari para pembicara berlangsung dengan lancar, peserta diskusi pun menyimak sambil mengajukan pertanyaan lewat kolom obrolan atau "chat" di aplikasi.

Kegaduhan muncul begitu sesi tanya jawab dibuka, semula diperkirakan beberapa peserta lupa mematikan mikrofon sehingga suara mereka masuk ke forum diskusi. Kecurigaan muncul ketika lebih banyak orang yang berbicara dalam waktu yang bersamaan, dalam bahasa Inggris, beberapa diantara mereka bahkan mengaktifkan video, memperlihatkan aktivitas seperti sedang merokok hingga memuat gambar-gambar bermuatan pornografi.

Penyelenggara dan peserta, melalui obrolan di fitur chat, akhirnya menyadari diskusi kali ini terkena Zoombombing.

"Mohon maaf atas gangguan teknis yang terjadi. Saat ini kami panitia sedang memperbaiki dan terus memantau peserta yang join diskusi TIK-Talk agar tidak ada bombing. Sekali lagi, mohon maaf," tulis panitia di kolom obrolan Zoom.

Apa itu Zoombombing?
Istilah Zoombombing akhir-akhir ini mengemuka seiring dengan banyaknya penggunaan aplikasi konferensi video Zoom untuk menggantikan rapat di kantor, bahkan hingga kegiatan belajar-mengajar di kelas.

Zoombombing merujuk pada peristiwa orang, atau sekumpulan orang tidak dikenal, yang sebenarnya tidak diundang ke pertemuan tersebut, lalu mereka menginterupsi jalannya pertemuan.

Gangguan yang disebabkan bermacam-macam, dalam kasus pertemuan tadi, penyusup membuat suara gaduh dan menayangkan gambar-gambar tidak pantas.

Zoom sejak Maret lalu sudah memahami peristiwa Zoombombing ini, menurut mereka terjadi setelah aplikasi ini banyak digunakan oleh masyarakat luas untuk berkomunikasi selama physical distancing di berbagai negara. Peristiwa ini pun sudah sering terjadi di berbagai negara.

CEO Zoom, Eric Yuan menulis surat terbuka berisi permintaan maaf karena berbagai celah keamanan yang terjadi karena secara mendadak aplikasi mereka begitu populer, melebihi ekspektasi.

Baca juga: CEO Zoom akui salah langkah soal keamanan dan privasi

Baca juga: CEO Zoom minta maaf soal isu keamanan


Zoom, sejak wabah virus corona menjangkiti warga di berbagai belahan dunia, mengalami lonjakan pengguna menjadi 200 juta per hari pada Maret lalu, sementara per Desember 2019 mereka digunakan 10 juta orang per hari.

Kenapa bisa terjadi?
Untuk memahami kejadian yang baru saja terjadi, Antara menghubungi pakar keamanan siber dari Vaksin.com Alfons Tanujaya.

Peristiwa Zoombombing perlu dipahami melalui bagaimana aplikasi Zoom digunakan, jauh sebelum populer digunakan publik, aplikasi ini merupakan platform konferensi video yang umumnya digunakan oleh perusahaan untuk rapat dari jarak jauh.

"Aplikasi ini sudah digunakan di kalangan pemimpin perusahaan," kata Alfons.

Peserta rapat yang hanya sedikit ditambah dengan budaya perusahaan, para pengguna Zoom sudah memahami aturan main mengadakan rapat secara virtual. Fitur-fitur yang disematkan di Zoom, seperti Screen Sharing, yang bisa memuat apa yang ada di layar komputer dan berguna untuk presentasi, pun disesuaikan dengan kebutuhan rapat.

Zoom memiliki fitur "virtual background", mengganti latar belakang video dengan gambar yang diinginkan. Untuk keperluan rapat kantor, pengguna bisa mengganti latar belakang dengan logo perusahaan, agar terlihat lebih profesional.

Fitur keamanan dari Zoom, ruang rapat virtual ini dilengkapi dengan ID dan kata kunci sehingga tidak sembarang orang bisa masuk ke pertemuan tersebut.

Begitu aplikasi ini populer di kalangan masyarakat luas, mereka belum tentu memiliki budaya dan pengetahuan yang sama dengan para pengguna di kalangan perusahaan.

Baca juga: Elon Musk larang SpaceX gunakan Zoom karena "masalah keamanan"

Baca juga: Rapat virtual pakai Zoom tidak aman, video tidak dienkripsi


Di kalangan perusahaan, ID dan kata kunci untuk rapat Zoom hanya dibagikan kepada para peserta rapat. Sementara di kalangan masyarakat umum, ada orang-orang yang membagikan informasi tersebut di media sosial misalnya, untuk mengundang teman-temannya ikut pertemuan virtual.

Akibatnya, orang-orang tidak diundang tadi bisa masuk ke pertemuan dan mengacaukan rapat lewat fitur-fitur yang sebenarnya dibuat untuk keperluan profesional.

Dalam kasus Zoombombing yang dialami Antara, menurut analisis Alfons, penyusup menggunakan fitur Screen Sharing untuk menampilkan gambar-gambar tidak sopan. Padahal, semestinya, fitur tersebut ditujukan untuk membantu pemaparan saat rapat.

Penyusup juga bisa menggunakan fitur virtual background, untuk melancarkan aksinya.

Jika mengalami Zoombombing, bagaimana dengan keamanan data?
Satu hal pertama yang terpikirkan ketika mengalami Zoombombing adalah bagaimana soal keamanan data dan identitas pengguna, misalnya alamat email bocor.

Alfons menilai untuk saat ini, tidak ada kemungkinan data seperti alamat email dicuri penyusup Zoombombing karena bukan itu tujuan mereka.

"Zoombombing itu tujuannya untuk menyalurkan informasi yang ingin diberikan, mereka cuma bisa sejauh itu," kata Alfons.

Dalam kasus ini, penyusup ingin mengacaukan rapat dengan membuat kegaduhan dan membagikan gambar-gambar yang tidak sopan. Dalam kasus lain, menurut Alfons, penyusup ingin menggaungkan isu tertentu yang sedang mereka usung.

Meski pun begitu, bukan berarti sama sekali tidak ada risiko ketika rapat diganggu Zoombombing. Alfons menyarankan untuk berhati-hati terhadap tautan yang dibagikan lewat kolom chat, terutama jika pertemuan tersebut bersifat terbuka.

Alfons meminta untuk tidak sembarangan meng-klik tautan yang dibagikan di chat room Zoom, apalagi jika tidak mengenal si pengirim. Tautan yang diberikan bisa saja berisi malware yang begitu di-klik bisa mencuri data pengguna.

Meski pun begitu, tidak adil jika dengan cara yang disebutkan di atas lantas Zoom dicap tidak aman dan menyebarkan malware. Cara seperti ini juga digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di platform lain, misalnya WhatsApp.

Baca juga: Penjelasan peneliti Kasperksy soal potensi serangan siber pada Zoom

Baca juga: Ribuan alamat email dan password pengguna Zoom dijual di Dark Web

Baca juga: Singapura larang guru gunakan Zoom setelah "insiden sangat serius"

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020