Masih banyak pekerja yang pada saat masuk kerja atau apel berdesak-desakan
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah LSM seperti Amnesty International dan Lembaga Pusat Studi dan Advokasi Ketenagakerjaan Trade Unions Rights Centre menyatakan pemerintah perlu menjamin perlindungan finansial pekerja terhadap penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"PSBB akan menimbulkan efek domino bagi aktivitas rantai produksi, termasuk aktivitas di DKI Jakarta yang mulai Jumat ini akan menerapkan PSBB," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, pekerja industri baik berskala rumahan maupun UMKM, pekerja harian lepas dan pekerja berpenghasilan rendah terancam pemotongan upah dan kehilangan pekerjaan akibat COVID-19.

Ia juga mengingatkan bahwa tidak semua pekerja bisa bisa menerapkan imbauan bekerja dari rumah.

Untuk itu, Amnesty International dan Trade Unions Rights Centre (TURC) mendesak pemerintah pusat untuk menjamin perlindungan keamanan, keselamatan dan kesejahteraan pekerja dari seluruh sektor, terutama kelompok rentan dan pekerja informal, selama penanggulangan wabah COVID-19.

Selama pelaksanaan penanggulangan wabah COVID-19, Amnesty International Indonesia dan TURC menemukan kasus pekerja yang dirumahkan tanpa dibayarkan upahnya dan bahkan mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja).

Selain itu, dinilai masih terdapat perusahaan yang belum menerapkan pola hidup bersih dan standar kesehatan kerja yang memadai, yang terindikasi dari perlindungan K3 seperti masker, cairan pembersih tangan dan APD (alat pelindung diri) tidak cukup tersedia.

Direktur Eksekutif TURC Andriko Otang mengemukakan, kebijakan pencegahan dan penanganan, serta prinsip jaga jarak sosial masih belum diterapkan optimal.

"Masih banyak pekerja yang pada saat masuk kerja atau apel berdesak-desakan, belum lagi selama perjalanan menuju tempat kerja di dalam sarana transportasi publik. Situasi ini membuat mereka rentan tertular. Namun, mereka harus tetap pergi bekerja karena resiko kehilangan pendapatan,” kata Andriko Otang.

Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menginginkan adanya skema bantuan finansial khusus untuk para pekerja migran yang baru kembali ke Tanah Air, yang terimbas dampak dari pandemi COVID-19.

"Pekerja migran yang baru kembali ke Tanah Air ini termasuk golongan yang rentan, baik secara kesehatan maupun keuangan," kata Pingkan Audrine Kosijungan.

Untuk itu, ujar Pingkan, kalangan pekerja migran tersebut juga perlu mendapatkan penanganan secara kesehatan serta juga secara finansial agar mereka tetap bisa berdaya secara ekonomi.

Melansir data yang dikeluarkan oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), setidaknya terdapat arus balik dari pekerja migran yang berasal dari 85 negara penempatan yang jumlahnya mencapai 33.503 orang per 29 Maret 2020.

Angka itu diproyeksikan akan mencapai lebih dari 37.000 dengan memperhitungkan data pekerja migran yang akan habis masa kontrak kerjanya dalam waktu dekat.

Meningkatnya jumlah negara-negara yang terjangkit COVID-19 juga berimbas pada keberlanjutan hidup para pekerja migran Indonesia di negara-negara penempatan. Secara bergelombang, mereka kembali ke Indonesia dikarenakan adanya pemberlakuan karantina oleh negara tempat mereka bekerja.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020