semakin tinggi temperatur kemungkinan kasus COVID-19 harian semakin rendah
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan dari kajian sejumlah ahli menyebut terdapat pengaruh cuaca dan iklim terhadap tumbuh kembang virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Rita dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan BMKG mengkaji variabel tumbuh kembang virus corona dengan cuaca dan iklim bersama 11 doktor meteorologi, klimatologi, matematik beserta ilmuwan kedokteran, mikrobiologi, kesehatan dan pakar lainnya.

Kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran COVID-19.

Hasil kajian, kata dia, menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah COVID-19 sebagaimana disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al. (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020) dan Wang et. al. (2020).

Baca juga: Psikolog dorong orang tua terapkan GEMBIRA hadapi COVID-19

Baca juga: Kasus corona terus naik, Singapura pun tutup sekolah dan tempat kerja


"Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis," kata dia.

Kemudian, lanjut dia, penelitian Chen dan Sajadi menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus SARS-CoV-2 adalah temperatur sekitar 8-10 derajat Celcius dan kelembapan 60-90 persen.

Rita mengatakan para peneliti menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur dan kelembaban relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19.

Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur di atas 1 derajat Celcius dengan jumlah dugaan kasus COVID-19 per hari.

"Mereka menunjukkan bahwa bahwa COVID-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah 1–9 derajat Celcius. Artinya semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus COVID-19 harian akan semakin rendah," kata dia.

Sementara itu, kata dia, Wang menjelaskan pada kondisi udara dingin dan kering dapat juga melemahkan kekebalan seseorang dan mengakibatkan orang lebih rentan terhadap virus.

Araujo dan Naimi, kata Rita, melalui model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.

Iklim tropis, kata dia, membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil sehingga penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat.

"Kondisi cuaca/iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19," katanya.

Ia mengatakan faktor penularan di Indonesia diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia.

"Akhirnya laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut," katanya.

Untuk itu, dia merekomendasikan masyarakat yang beraktivitas agar memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti sembari tetap menjalankan protokol keselamatan sehingga tidak tertular COVID-19.

Baca juga: Lima pasien positif COVID-19 asal Bekasi dinyatakan sembuh

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020