Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan pemerintah belum saatnya menetapkan status darurat sipil untuk mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia.

"Optimalisasi penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini masih dapat dilakukan pemerintah dalam penanganan wabah COVID-19," kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anton Aliabbas dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Sebelumnya, dalam rapat terbatas Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah akan menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dengan physical distancing yang lebih tegas dan disiplin. Bila perlu, didampingi kebijakan darurat sipil.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, Presiden Jokowi harus berpijak pada UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam menanggulangi permasalahan wabah COVID-19.

Baca juga: Ketua MPR: Selesaikan dasar hukum rencana pemberlakuan darurat sipil

"Hal ini didasarkan pada isu COVID-19 yang merupakan kondisi yang disebabkan oleh bencana penyakit. Selain itu, penerapan pembatasan sosial meluas yang merujuk pada karantina kesehatan perlu dilakukan guna menghindari sekuritisasi problem kesehatan yang tidak perlu," kata Anton.

Menurut Anton, sejak awal pemerintah alpa mematuhi keseluruhan prosedur yang telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana.

Sebelum penetapan masa tanggap darurat nasional, lanjut dia, semestinya Presiden Joko Widodo melakukan penetapan status darurat bencana nasional (Pasal 51 Ayat 2).

Oleh karena itu, Presiden hendaknya segera mengeluarkan keputusan (keppres) terkait penetapan status bencana nasional yang akan menjadi payung hukum penerapan kebijakan pembatasan sosial.

Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak pemerintah untuk membuat alur komando kendali (kodal) bencana yang lebih jelas.

Ketiadaan pengaturan struktur kodal bencana dalam Keppres 9/2020 tentang Perubahan atas Keppres 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dinilai membuat penanganan bencana COVID-19 berjalan secara parsial dan tidak terkoordinasi.

Menurut koalisi, komando kendali harus langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Pakar: Jangan terapkan darurat sipil untuk kendalikan COVID-19

Pembatasan sosial berskala besar diatur dalam Pasal 59 UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yaitu:
(1) Pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat.
(2) Pembatasan sosial berskala besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat yang sedang terjadi antarorang di suatu wilayah tertentu
(3) Pembatasan sosial berskala besar sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
(4) Penyelenggaraan pembatasan sosial berskala besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan

Terdapat denda yang dapat diterapkan bagi mereka yang tidak mematuhi ketetapan tersebut yang diatur pada Pasal 93 UU No. 6/2018, yaitu:
"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.

Baca juga: Pemerintah diminta tetapkan status darurat kesehatan masyarakat

Baca juga: FPAN: Kurang tepat pembatasan sosial didampingi darurat sipil


Terkait dengan darurat sipil, berdasarkan Perppu No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya disebutkan:

Pasal 1
Ayat (1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
1. Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun;
3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Ayat (2) Penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Dalam keadaan darurat sipil penguasa yang bersangkutan, yaitu penguasa darurat sipil, dapat:
1. Mengeluarkan peraturan-peraturan polisi (Pasal 10);
2. Meminta keterangan-keterangan dari pegawai negeri (dicatat di sini bahwa dalam keadaan darurat militer/keadaan perang penguasa dapat mewajibkan setiap orang untuk memberikan keterangan (Pasal 12); selanjutnya pasal 23 dan 36 pada Huruf c).
3. Mengadakan peraturan-peraturan tentang pembatasan pertunjukan-pertunjukan apa pun juga serta semua pencetakan, penerbitan dan pengumuman apa pun juga (Pasal 13);
4. Menggeledah tiap-tiap tempat (Pasal 14);
5. Memeriksa dan mensita barang-barang yang disangka dipakai atau akan dipakai untuk merusak keamanan (Pasal 15);
6. Mengambil atau memakai barang-barang dinas umum (Pasal 16);
7. Mengetahui percakapan melalui radio, membatasi pemakaian kode-kode dan sebagainya (Pasal 17);
8. Membatasi rapat-rapat umum dan lain sebagainya dan membatasi atau melarang, memasuki dan memakai gedung (Pasal 18);
9. Membatasi orang berada di luar rumah (Pasal 19);
10. Memeriksa badan dan pakaian (Pasal 20);
11. Memerintah dan mengatur badan-badan kepolisian, pemadam kebakaran, dan badan-badan keamanan lainnya (Pasal 21).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020