Padang (ANTARA) - Pada peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-100 tahun 17 Agustus 2045 Indonesia telah menjelma jadi salah satu negara maju dengan dengan kekuatan ekonomi dan sumber daya manusia yang unggul.

Saat itu Produk Domestik Bruto Indonesia menjadi yang terbesar kelima di dunia dengan nilai setara 7,4 triliun dolar Amerika Serikat.

Dengan jumlah penduduk mencapai 319 juta jiwa, sebanyak 223 juta jiwa merupakan kelas menengah atau hampir 70 persen dengan angka harapan hidup mencapai 76 tahun.

Ketika itu Indonesia juga menjadi satu kekuatan ekonomi kreatif dan digital terbesar di dunia yang akan mendorong pertumbuhan dan menjadi penggerak ekonomi berbasis inovasi.

Di sektor pariwisata, pada 2045 Indonesia akan menjadi destinasi unggulan dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 74 juta orang per tahun. Sedangkan di sektor pertanian, ketahanan pangan juga terwujud melalui swasembada karbohidrat dan protein.

Indonesia juga ditargetkan terbebas dari kemiskinan akut pada 2040, dengan kesenjangan pendapatan berada di tingkat yang ideal.

Pemerataan daerah juga ditingkatkan dengan mendorong pembangunan di luar Jawa. Peranan kawasan timur Indonesia akan meningkat dari 20 persen di 2015 menjadi 25 persen di 2045.

Selanjutnya, penguatan reformasi birokrasi dilakukan pada seluruh sektor dan bidang. Pembangunan hukum dan pemberantasan korupsi diarahkan pada kesadaran masyarakat berbudaya hukum dan masyarakat anti korupsi.

Itu semua adalah visi Indonesia 2045 menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia yang telah disusun pemerintah saat ini dalam dalam rangka mewujudkan Indonesia berdaulat, maju adil dan makmur.

Siapakah yang paling berperan strategis mewujudkan semua itu? Tentu saja para generasi muda yang saat ini berstatus pelajar yang tengah menuntut ilmu di berbagai jenjang.

Bisakah visi Indonesia 2045 itu terwujud? tentu saja bisa jika para generasi muda tersebut disiapkan dengan baik dari sekarang termasuk dari sisi kesehatan sehingga lahir generasi yang bugar dan produktif.

Baca juga: SEAMEO : "stunting" hambat terciptanya generasi emas

Baca juga: TCSC-IAKMI dan BKKBN suarakan kemerdekaan remaja dari jeratan rokok



Digerus rokok

Namun, fakta cukup mengejutkan diungkap oleh Yayasan Lentera Anak yang mencatat jumlah anak perokok di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga harus menjadi perhatian serius banyak pihak jika ingin menikmati bonus demografi.

Berdasarkan temuan pada 2018 hasil riset kesehatan dasar jumlah anak perokok menjadi 9,1 persen dari total perokok di Tanah Air." kata Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari.

Menurutnya, salah satu program kerja pemerintah adalah menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan rokok mengandung zat aditif yang mempengaruhi otak bagian depan.

"Otak bagian depan itu belum berkembang sempurna sampai usia 20 tahun, kalau anak merokok maka mempengaruhi otak bagian depan tersebut sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan kemampuan mengambil keputusan," kata dia.

Oleh sebab itu jika anak merokok maka masa pertumbuhannya diganggu oleh nikotin dan bagaimana akan lahir sumber daya manusia yang unggul kalau kemampuan kognitif anak terganggu.

Tidak hanya perokok aktif, ia menyebutkan saat ini terdapat 60 juta anak yang menjadi perokok pasif dengan bahaya yang juga sama dengan perokok aktif.

"Anak-anak tidak berdaya karena bapak, om dan keluarganya merokok di sekitar mereka sementara asap tersebut cukup berbahaya," ujarnya.

Menurut dia, kalau seandainya anak perokok dibiarkan saja dan tidak dilakukan tindakan apapun baik pencegahan maupun perlindungan maka 2030 akan naik jadi 15,90 persen jumlahnya.

"Artinya kita akan gagal mendapatkan bonus demografi karena anak-anak yang sekarang akan jadi manusia produktif mengalami sakit akibat dampak rokok sehingga tidak bisa lagi menjadi sumber daya manusia yang berkualitas," katanya.

Baca juga: Cukai rokok yang tidak naik rugikan generasi muda

Baca juga: Emil Salim: generasi muda harus diselamatkan dari kecanduan



Dikepung iklan

Sejalan dengan itu hasil penelitian yang diungkap Lembaga Swadaya Masyarakat Ruang Anak Dunia (Ruandu) Foundation di Kota Padang pada 2015 hampir 70 persen sekolah yang ada di kota itu berada dalam kepungan iklan rokok.

Beragam iklan rokok yang terpajang melalui spanduk, baliho, hingga videotron seakan menyasar segmen pelajar yang setiap hari lalu lalang di ruang publik dan jalan menuju sekolah.

Iklan tersebut dikemas dengan bahasa yang persuasif untuk membujuk siswa membeli rokok.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada 56 lokasi sekolah di Padang pada Februari hingga Agustus 2015 semua kawasan di sekitar sekolah telah "dikepung" iklan rokok, bahkan hingga ke pinggir kota.

"Lebih miris ada iklan rokok yang tertulis Rp2.000 per tiga batang. Itu sama saja menggiring pelajar untuk membeli, mari kita patungan masing-masing Rp1.000, beli lalu hisap bersama," ujar Ketua LSM Ruandu Foundation Muharman

Menurutnya kalau anak-anak dibiarkan merokok, akan mengancam bonus demografi Indonesia 2020 karena saat itu komposisi penduduk Indonesia lebih banyak kalangan muda yang produktif.

"Kalau hari ini anak-anak memutuskan untuk merokok akibat tipu daya iklan, maka pada 2020 Indonesia akan diisi manusia produktif yang tidak kompetitif karena derajat kesehatannya turun," ucapnya.

Yang lebih mengkhawatirkan serbuan iklan yang masif itu akan membuat rokok menjadi isu yang sepele, terutama bagi anak-anak sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bahayanya, lanjut dia.

Muharman menilai hanya ada dua solusi mengatasi hal ini yaitu pemerintah daerah harus melarang total iklan, promosi dan sponsor rokok, serta komunitas sekolah seperti guru, siswa dan orang tua bergerak bersama agar lingkungan sekolah bebas dari promosi rokok.

"Perlindungan terhadap anak dan remaja dari terpaan iklan rokok tidak cukup hanya dengan larangan iklan di ruang publik saja, namun pelarangan total sebagaimana direkomendasikan badan kesehatan dunia WHO," ujarnya.*

Baca juga: IISD: negara belum lindungi generasi muda dari rokok

Baca juga: Kemenkes: HTTS momentum suarakan bahaya rokok

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020