Tanjungpinang (ANTARA) - Suara mesin memecah kesunyian di kawasan Galang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, awal pekan lalu.

Di lokasi dekat dengan bibir jalan raya, tampak sejumlah orang separuh baya sibuk beraktivitas. Di antara mereka tidak mengenakan baju karena panas terik matahari.

Dalam lokasi itu, terdapat empat kolam, dua di antaranya belum dipergunakan.

Dua orang pria mengendalikan pipa dari dalam kolam, sementara seorang pria lainnya berada di atas bak truk bermuatan 3 kubik merapikan pasir yang keluar dari pipa tersebut.

Truk keluar setelah sang sopir membayar sejumlah uang kepada pengelola pasir tersebut.

"Harganya Rp230.000 pertiga kubik," kata salah seorang pekerja di lokasi yang dekat dengan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone).

Berbeda dengan sopir truk lainnya di lokasi yang lama. Sopir dari toko bangunan ini tidak membayar tunai, melainkan utang.

Dalam sehari, sopir itu bisa 3-4 kali mengambil pasir, kemudian diantar ke toko bangunan atau ke lokasi proyek.

Kemudian penelusuran dilakukan di kawasan lainnya, masih di Galang Batang. Tidak jauh dari lokasi itu tampak dari jalan raya sejumlah kolam yang terbengkalai, bekas pertambangan pasir.

Aktivitas pertambangan pasir juga tampak di sejumlah lokasi lainnya yang juga tidak jauh dari jalan raya. Para pekerja tampak giat melakukan aktivitas pertambangan, tanpa rasa takut. Truk yang mengangkut pasir darat lalu-lalang di lokasi tersebut.

Pertambangan pasir juga dilakukan di lokasi lainnya, yang berada agak jauh dari jalan raya. Dari keterangan pekerja dan sopir, di lokasi itu ada rencana pembangunan "panglong" atau pertambangan pasir berskala besar.

Di kawasan Galang Batang juga terdapat sebuah lokasi yang sempat dikenal sebagai Danau Biru. Di lokasi ini terdapat dua kolam, dengan air yang berwarna biru. Beberapa tahun lalu sempat populer, dan dikunjungi banyak warga dan wisatawan. Namun sekarang, lokasi bekas pertambangan pasir itu terbengkalai.

Perjalanan kemudian dilanjutkan. Di tepi jalan tampak usaha ready mix. Tidak jauh dari lokasi itu, tampak sejumlah perusahaan, seperti lokasi operasional PT MIPI, yang melakukan impor dan ekspor kitchen set, resort, lalu Kawasan Ekonomi Khusus yang dikelola PT Bintan Alumina Indonesia yang sampai sekarang masih melakukan pembangunan.

Baca juga: Pengusaha bantah sebagai pimpinan kartel pasir ilegal Bintan

Baca juga: Polres Bintan tertibkan penambangan pasir ilegal



Sosok Ricky

Sejumlah pekerja di lokasi pertambangan pasir di Galang Batang menyebut nama Ricky, pemilik Toko Mitra Bangunan, ketika ingin membeli pasir dalam jumlah banyak.

Dari data Pemkab Bintan, ternyata Ricky menguasai tiga lokasi, dua di antaranya di Kawal.

Camat Gunung Kijang, Arif Sumarsono mengatakan seluruh aktivitas pertambangan pasir tersebut, ilegal. Jumlah lokasi pertambangan pasir di Galang Batang mencapai 26 titik. Aktivitas pertambangan pasir terbesar di Teluk Bakau, Bintan.

"Galang Batang maupun Teluk Bakau bukan kawasan pertambangan," ujarnya.

Berdasarkan data tahun 2019, pemilik maupun penanggungjawab dalam aktivitas pertambangan pasir adalah Gonde, Maxi, Alex, Ferdi, Yohanes, Yoman, Yanti, Latif, Edison/Nas dan Riki (Ricky) Mitra.

Penelusuran dilakukan di Toko Mitra Bangunan, Tanjungpinang. Toko ini nyaris sama seperti toko bangunan lainnya.

Ricky yang dikonfirmasi terkait namanya yang disebut-sebut sejumlah pekerja di lokasi pertambangan membantah kalau dirinya mengendalikan seluruh aktivitas pertambangan pasir.

Pengusaha muda itu juga membantah disebut-sebut sebagai kartel (penguasa pasar) pasir ilegal di Pulau Bintan (Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan).

"Saya bukan kartel pasir ilegal. Saya saja beli pasir juga dengan para penambang," kata Ricky.

Dia mengaku pernah melakukan pertambangan pasir di kawasan Kawal tahun 2019. Aktivitas ilegal itu didorong oleh dua hal, pertama permintaan pasir cukup besar, dan pertambangan pasir sudah dilakukan oleh berbagai pihak.

"Saya pikir kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak? Jadi saya buka juga," ucapnya.

Namun usaha tersebut hanya berlangsung selama sekitar 9 bulan, karena banyak persoalan yang dihadapi.

"Biaya untuk tambang juga besar. Lebih untung membeli pasir daripada menambang sendiri," ujarnya.

Ia juga merasa heran, namanya sampai sekarang masih dibawa-bawa dalam aktivitas pertambangan pasir. Padahal, menurut pengakuannya, kegiatan tersebut sudah dihentikan sejak Oktober 2019.

Ricky mengaku hanya mengusai lahan seluas 103 hektare di kawasan Kawal. Lahan itu pun bukan miliknya.

Di atas lahan itu, sempat dioperasikan lima mesin dompeng untuk menyedot pasir. Namun, sejak Rabu pekan lalu, seluruh aktivitas pertambangan pasir di lokasi itu sudah berhenti.

"Saya dapat uang sewa lahan Rp50.000 dari setiap truk yang membawa pasir dari lahan saya. Uang itu saya bagikan juga kepada pemilik lahan," tuturnya.

Berdasarkan penelusuran Antara, nama Ricky disebut-sebut oleh sejumlah pelaku pertambangan pasir di kawasan Galang Batang. Para penambang membeberkan pemesanan pasir harus melalui Ricky.

Namun, Ricky menyangkalnya. Ia mengatakan tidak ada kaitannya dengan aktivitas pertambangan pasir di Galang Batang.

"Ada beberapa orang yang tambang di lokasi itu bekas anak buah saya. Mereka masih membawa-bawa nama saya," ujarnya.

Ricky juga membantah informasi bahwa seluruh pelaku pertambangan pasir membayar "uang koordinasi" sebesar Rp1 juta kepada berbagai pihak melalui dirinya.

"Itu tidak benar. Saya bukan koordinator para penambang," katanya.

Baca juga: Pasir ilegal di Bintan rugikan masyarakat

Baca juga: Tambang pasir ilegal merajalela di Bintan



Tertibkan

Pemberitaan terkait pasir ilegal sampai sekarang masih heboh dibicarakan sejumlah kalangan.

Polres Bintan menertibkan seluruh pertambangan pasir darat ilegal di Galang Batang dan Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang.

Kapolres Bintan AKBP Boy Herlambang mengatakan penertiban dilakukan sejak Rabu pekan lalu. Sejumlah peralatan yang digunakan untuk menyedot pasir darat diamankan.

"Tidak ada pertambangan pasir darat lagi di kawasan itu," katanya.

Kasat Reskrim Polres Tanjungpinang AKP Agus Hasanudin menambahkan penertiban lokasi penambagan pasir darat didampingi oleh Ketua RT.

"Dua lokasi yang paling luas disegel," ujarnya.

Ia mengemukakan di lokasi pertambangan pasir itu dibuat kolam. Dari kolam ini, pasir disedot menuju truk pengangkut pasir.

"Sudah banyak penambang yang tidak beroperasi lagi saat kami turun ke lapangan," ucapnya.

Baca juga: Mendorong negara berantas pertambangan bauksit ilegal

Baca juga: Menelusuri pelaku pertambangan bauksit ilegal di Bintan

Baca juga: Pulau-pulau di Bintan terancam akibat tambang ilegal



Rugikan masyarakat

Pasir dari hasil pertambangan ilegal di Galang Batang, Teluk Bakau dan kawasan lainnya merugikan masyarakat dan pengusaha pengembang, kata salah seorang pengusaha perumahan terbesar di Kota Tanjungpinang, Suryono.

"Harga pasir sangat tinggi. Seandainya dilegalkan, harganya bisa lebih murah," ujarnya.

Harga pasir ilegal dengan ukuran tiga kubik yang dijual toko bangunan Rp460.000-Rp500.000. Pasir ini diantar ke tempat konsumen.

Suryono mengatakan biaya operasional untuk pertambangan pasir ilegal tidak sedikit. Pengusaha pasir tidak hanya menyiapkan modal usaha, melainkan juga mental.

"Kalau tidak ada pasir, tidak akan bisa membangun. Jadi ini juga hal yang perlu diperhatikan," ucapnya.

Ia mengatakan pembangunan perkantoran, ruko dan perumahan menggunakan pasir dari Bintan. Kebutuhan pasir di Bintan dan Tanjungpinang cukup tinggi, terutama untuk perumahan.

Karena itu seharusnya pemerintah memberi solusi agar tidak ada lagi pertambangan pasir ilegal di Bintan. Pemerintah harus menyiapkan kawasan khusus untuk pertambangan pasir.

Harga pasir juga dapat diintervensi pemerintah sehingga bisa lebih murah dibanding sekarang. Harga pasir yang tinggi juga mempengaruhi harga rumah, harga batako, dan harga lainnya.

"Saya pikir ini tidak sulit, jangan biarkan pengusaha bekerja secara ilegal. Tetapkan kawasan khusus pertambangan pasir, kemudian masyarakat dapat bekerja dan pemerintah dapat menarik retribusi," katanya.*

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020