Jakarta (ANTARA) - Menyusul pemotongan kabel utilitas, kini Pemprov DKI Jakarta tengah melakukan sosialisasi pembuatan "ducting" terpadu utilitas, namun harga yang ditawarkan penanggung jawab proyeknya yakni Badan usaha milik daerah (BUMD) DKI sebesar Rp70-Rp700 ribu, dinilai terlalu memberatkan.

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemenenterian Komunikasi dan Informatika Ismail MT, Senin, mengharapkan agar pemerintah daerah tidak mematok biaya sewa yang besar bagi perusahaan penyedia layanan publik.

"Seharusnya pemerintah daerah bisa mempertimbangkan harga sewa yang jauh lebih terjangkau agar tidak membebankan masyarakat ataupun pelaku usaha," kata Ismail saat dihubungi wartawan.

Menurut Ismail, saat ini telah terjadi pola pikir yang keliru di pemerintah daerah mengenai infrastruktur telekomunikasi di mana pemerintah daerah cenderung menjadikan infrastruktur telekomunikasi sebagai lumbung pendapatan asli daerah (PAD) dengan membebankan retribusi yang memberatkan kepada perusahaan.

Padahal, lanjut dia, seharusnya sektor telekomunikasi dan penyedia layanan kepada masyarakat tidak dibebankan hal tersebut, karena pendapatan yang diberikan oleh sektor lain dengan hadirinya infrastruktur Telekomunasi akan lebih besar dari retribusi.

"Harusnya pemerintah daerah bisa memberikan harga sewa yang terjangkau sehingga tidak membebankan masyarakat dan pelaku usaha. Jika sarana utilitas yang dibuat pemerintah daerah tersebut terjangkau maka diharapkan pertumbuhan ekonomi nasional dan pertumbuhan pajak dapat dicapai," tutur Ismail.

Sebelumnya, diketahui, pemangku kepentingan soal itu, di antaranya anggota Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel), operator telekomunikasi non Apjatel, operator selular, Telkom, PLN, PDAM dan PGN yang mengaku telah diundang untuk mendapatkan informasi mengenai standar pembuatan Pembuatan Ducting Terpadu Utilitas oleh Pemprov DKI melalui BUMD PT Sarana Jaya dan PT Jakarta Propertindo.

Akan tetapi, disebutkan antusiasme para pemangku kepentingan tersebut untuk mendukung Pemprov DKI menata ulang jaringan utilitas sontak berubah ketika disuguhkan estimasi skema tarif yang dibuat oleh kedua BUMD.

Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Sarana Jaya disebutkan mekanisme bisnis yang akan ditawarkan oleh Sarana Utilitas kepada operator yaitu sekali Pembayaran (One Time Charge). Harga sewa untuk Pelaksanaan Pembuatan Ducting terpadu dengan kondisi Trotoar telah dilakukan revitalisasi (Trotoar Baru) dengan pembuatan Manhole per 200 meter dengan End-hole per 100 meter dipatok Rp700 ribu permeter per oprator per satu ruas jalan.

Sedangkan Pelaksanaan Pembuatan Ducting terpadu dengan kondisi Trotoar belum dilakukan revitalisasi dengan pembuatan Manhole per 200 meter tanpa pembuatan End-hole per 100 meter dipatok Rp600 ribu permeter per operator per satu ruas jalan.

Yang tak kalah mahal juga diberikan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang menawarkan harga untuk sewa kabel sebesar Rp70 ribu per meter per tahun per satu ruas jalan di Jakarta.

Penetapan harga oleh BUMD Jakpro dan Sarana Jaya, melalui Pergub DKI 06 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelenggaraan Infrastrktur Jaringan Utilitas yang mengamanatkan jaringan utilitas yang dibangun diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui BUMD, setelah jaringan utilitas tersebut dibangun oleh BUMD, maka semua operator wajib menyewa kepada BUMD tersebut.

Hal seperti ini sendiri, dengan dikenakannya biaya sewa cukup tinggi untuk jaringan utilitas bawah tanah bagi PLN, PGN dan operator telekomunikasi sudah mulai marak terjadi. Sebelum Pemprov DKI Jakarta, Pemkot Surabaya telah mendapatkan protes dari penyedia infrastruktur dasar karena mengenakan biaya sewa yang sangat mahal.

Melihat fenomena tersebut Ismail mengaku khawatir, karena jika seluruh daerah menerapkan retribusi atau sewa yang tinggi kepada operator telekomunikasi, rencana pemerintah untuk membuat smart city dan broadband yang terjangkau bagi masyarakat, akan terhambat.

Menurut Ismail, infrastruktur tidak harus dilihat benefitnya secara langsung, Pemda disarankan mendapatkan benefit dari multiyear efect dari pemanfaatan pembangunan infrastruktur.

"Akan banyak ekonomi yang akan memanfaatkan dari adanya jaringan broadband dan infrastruktur yang ada di Jakarta. Lima program prioritas Presiden Jokowi semuanya membutuhkan broadband. Keluhan dari teman-teman operator sudah kami pahami. Nanti saya akan lapor kepada pak Menkominfo mengenai permasalahan sewa tersebut. Semoga saja Omnibus Law bisa jadi solusi yang terbaik bagi pemerintah daerah dan penyedia infrastruktur publik," tutur Ismail.

Baca juga: Jakpro siap kembalikan PMD jika pengelola revitalisasi TIM diganti

Baca juga: Jakarta Propertindo kerjakan 11 kegiatan strategis daerah

Baca juga: PT Pembangunan Sarana Jaya setor Rp52 miliar ke Pemprov Jakarta


Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat, harga yang diberikan Pemprov DKI melalui PT Sarana Jaya dan Jakpro terbilang mahal. Menurut Heru, seharusnya sebelum membuat ducting dan menggenakan biaya, Pemprov DKI, Jakpro dan PT Sarana Jaya dapat melibatkan pelaku usaha penyedia layanan publik dan penyelenggara telekomunikasi agar didapat angka yang tidak merugikan penyedia namun tidak terlalu murah.

"Jika harga terlalu mahal akan memberatkan perusahaan dan ujung-ujungnya biaya tersebut akan dibebankan ke masyarakat. Namun jika terlalu murah Ppemprov juga tidak memiliki kemampuan untuk perawatan dan pengembangan duct di tempat lain dan ke depan," ujar Heru.

Heru menambahkan seharusnya ducting yang dibuat oleh PT Sarana Jaya dan Jakpro juga ada standarnya. Seperti ada semacam gorong-gorong yang aman dari segala gangguan sehingga bersih dan benar -benar terlindung.

"Dari gambar yang ada nampaknya tidak ada standarnya dan harus ada perbaikan agar layak disebut cable ducting. Jika gambar tadi disebut ducting yang akan ditawarkan Pemprov kepada operator, maka kualitas dan harga yang diberikan tidak sesuai. Alias mahal," ucap Heru.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019