Jakarta (ANTARA) - Kasus mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun, beberapa waktu lalu sempat menggemparkan publik tanah air.

Pasalnya, kasus tersebut menjadi kontroversial karena Baiq Nuril yang menjadi korban pelecehan seksual secara verbal oleh atasannya tersebut malah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Sebaliknya Baiq Nuril bukan hanya divonis bersalah tetapi bukti rekaman pelecehan seksual yang disebarkan oleh rekannya justru dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta mencemarkan nama baik pelaku pelecehan seksual.

Korban pelecahan seksual itu terpaksa menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Melihat ketidakadilan yang menimpa Baiq Nuril kala itu, masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti bagi mantan guru honorer itu.

Desakan tersebut disampaikan oleh lebih dari 250 ribu orang yang menandatangani petisi dukungan bagi Baiq Nuril melalui situs Change.org.

Melihat simpati masyarakat yang besar itu serta hasil diskusi dari sejumlah pakar hukum, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) soal amnesti untuk Baiq Nuril.

Keputusan Presiden tersebut membebaskan Baiq Nuril dari jerat hukum.

Kasus Baiq Nuril merupakan satu dari ribuan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 disebutkan bahwa sepanjang 2018 terdapat 348,466 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Sebanyak 392.610 kasus bersumber dari kasus yang ditangani Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama, dan sebanyak 13.568 kasus yang ditangani oleh 209 layanan mitra Komnas Perempuan yang tersebar di 34 provinsi.

Dari jumlah 9.637 kasus atau 71 persen kejadian terjadi di ranah privat/personal atau disebut KDRT di mana pelakunya memiliki hubungan darah dengan korban, kekerabatan, atau terikat hubungan pernikahan dan hubungan pacaran.

Sedangkan sebanyak 3.915 atau 28 persen terjadi di ranah komunitas di mana pelaku tidak memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan korban, seperti majikan, guru, teman kerja, tokoh masyarakat, atau bahkan orang yang tidak dikenal.

Dan kasus lainnya yaitu 16 kasus berkaitan dengan kekerasan seksual yang dilakukan atas nama negara.

Agar kasus yang mendera Baiq Nuril tidak dialami perempuan lain di dunia kerja, serikat buruh mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No.190 dan Rekomendasi No.216 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

Organisasi perburuhan internasional (ILO) menerbitkan Konvensi No.190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Konvensi yang diadopsi pada sidang ILO ke-108 di Jenewa, Swiss, 21 Juni 2019 itu memuat berbagai ketentuan antara lain mengakui hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender (perempuan).

 Ketua Umum Federasi serikat buruh makanan, minuman, pariwisata, restoran dan hotel ( FSB KAMIPARHO) Sulistri mengungkapkannya di sela-sela diskusi interaktif ILO tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang digelar di Jakarta, Kamis.(10/10)

Apa yang menimpa Baiq Nuril sungguh memprihatinkan dan membuktikan bahwa perempuan adalah kelompok pekerja yang rentan terhadap pelecehan maupun kekerasan.

Berdasarkan kejadian yang terjadi di lapangan selama ini, korban kekerasan maupun pelecehan itu malu untuk menyampaikan tindakan yang dialaminya, ungkap Sulistri.

Menurut dia, hal itu terjadi karena pekerja yang melaporkan pengalamannya sebagai korban tindakan kekerasan maupun pelecehan cenderung dikucilkan dan tidak didengar suaranya.

"Korban kekerasan dan pelecehan baru terbuka kepada seseorang yang bisa dipercayainya. Untuk itu, korban harus nyaman dan merasa aman dulu baru mau terbuka," kata Sulistri.

Diperlukan aturan yang mengatur dan melindungi korban kekerasan dan pelecehan  agar mereka berani melapor kepada para penegak hukum.

"Di dalam Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja juga mengatur hal itu. Konvensi ini kuat karena disertai rekomendasi yang menjadi acuan implementasinya di level negara. Konvensi tersebut bertujuan untuk mewujudkan masa depan dunia kerja yang bermartabat dengan tidak adanya kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja," ujar Sulistri.

Terkait upaya penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, lanjut dia, pembangunan karakter dan mental serta sosialisasi pemahaman tentang definisi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja harus dilakukan secara masif kepada seluruh pihak.

Hal itu karena tindakan pelecehan maupun kekerasan di dunia kerja sangat mempengaruhi produktivitas pekerja.

"Ketika pekerja merasa tidak nyaman karena mengalami kekerasan dan pelecehan maka produktivitasnya akan menurun. Produktivitas yang menurun itu akan juga mempengaruhi kinerja perusahaan ataupun lembaga  tempat dia bekerja," kata dia.


Penerapan konvensi

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mendorong penerapan Konvensi ILO No.190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di dunia kerja, yang salah satu tujuannya menjamin perlindungan bagi pekerja tanpa memandang status kontrak kerja.

Fokus konvensi ini pada inklusifitas yang penting. Artinya siapapun yang bekerja akan terlindungi tanpa memandang status kontrak kerja, kata penasihat senior ILO, Tim De Meyer, pada diskusi interaktif ILO tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, beberapa waktu lalu.

De Meyer mengatakan pekerja magang, sukarelawan, pencari kerja dan orang-orang yang menjalankan kewenangan sebagai pemberi kerja berhak untuk mendapatkan perlindungan berdasarkan Konvensi ILO No.190.

Baca juga: ILO dorong perlindungan pekerja tanpa memandang status kontrak
Hal itu berlaku juga untuk sektor publik dan swasta, sektor ekonomi formal dan informal, serta wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Menurut De Meyer, beberapa kelompok pekerja di sektor, jabatan dan pengaturan kerja tertentu juga mengalami kerentanan khusus terhadap kekerasan dan pelecehan.

Mereka yang bekerja di sektor kesehatan, transportasi, pendidikan dan rumah tangga atau bekerja di malam hari maupun di wilayah terpencil sangat rentan terhadap kekerasan dan pelecehan, ujarnya.

Selain itu, kekerasan dan pelecehan berbasis gender menjadi salah satu fokus utama dari Konvensi ILO No.190 dengan pendekatan yang juga mempertimbangkan pihak ketiga, misalnya klien, pelanggan, penyedia layanan dan pasien.

"Karena merekapun dapat menjadi korban ataupun pelaku," kata De Meyer.

Selanjutnya, konvensi tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja itu juga mempertimbangkan dampak kekerasan rumah tangga pada dunia kerja.

 De Meyer mendefinisikan kekerasan dan pelecehan yang terjadi di dunia kerja bukanlah suatu perilaku tunggal, namun serangkaian perilaku yang terjadi berulang kali hingga menimbulkan cedera atau dampak buruk bagi keadaan fisik maupun psikologis seseorang.

"Kekerasan dan pelecehan yang terjadi di dunia kerja bukan perilaku tunggal, tetapi serangkaian perilaku dan praktik yang tidak dapat diterima sehingga menimbulkan cedera atau dampak secara psikologis maupun fisik. Kekerasan dan pelecehan yang terjadi di dunia kerja itu tidak terjadi hanya satu kali melainkan berulang kali kepada korban yang sama, ujar De Meyer.

Definisi mengenai kekerasan dan pelecehan di dunia kerja itu tercantum dalam Konvensi ILO No.190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

De Meyer menjelaskan bahwa konvensi tersebut mengambil pendekatan pragmatis, yaitu mendefinisikan kekerasan dan pelecehan sebagai serangkaian perilaku atau praktik yang tidak dapat diterima yang mengakibatkan cidera secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi.

Di perangkat hukum ini tidak membedakan definisi kekerasan dan pelecehan. Definisi kekerasan dan pelecehan mencakup penyiksaan secara fisik, lisan, perundungan, pengeroyokan, pelecehan seksual, ancaman, dan penguntitan, ucapnya.

Ia mengatakan konvensi itu juga mempertimbangkan kondisi dan cara kerja di dunia modern saat ini, di mana kegiatan kerja seringkali dilakukan tidak di tempat kerja fisik, seperti kantor.

Untuk itu, Konvensi ILO No.190 itu juga mencakup komunikasi yang berhubungan dengan kerja, termasuk yang mungkin terjadi melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Menurut De Meyer, konvensi itu memberikan kerangka aksi yang jelas untuk upaya membentuk masa depan dunia kerja yang bermartabat.

Konvensi ini juga memberikan peluang untuk membentuk masa depan dunia kerja yang bebas dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan, ujar dia.

Terkait perubahan perilaku, De Meyer mengatakan bahwa hal itu tidak mudah. Namun diadopsinya instrumen-instrumen yang kuat seperti ini akan mengirimkan pesan yang kuat.

"Akan membuat yang selama ini tidak terlihat menjadi semakin terlihat. Kita tahu bahwa tindakan itu adalah merupakan pelecehan dan kekerasan. Tetapi terkadang kita sulit untuk mendefinisikan atau menarasikan tindakan tersebut ke dalam suatu aturan," ujar De Meyer.
Baca juga: ILO: kekerasan dan pelecehan di dunia kerja bukan perilaku tunggal

Semua pihak perlu menangani penyebab yang mendasari semua ini, termasuk berbagai bentuk diskriminasi yang saling bersinggungan, stereotipe gender dan hubungan khusus yang berbasis gender.

Penilaian risiko di tempat kerja, seperti yang diatur dalam Konvensi dan lebih jauh dalam Rekomendasi, dapat juga membantu dalam mengubah perilaku karena mempertimbangkan berbagai faktor yang meningkatkan kemungkinan kekerasan dan pelecehan.

Konvensi juga meminta dilaksanakannya pelatihan dan tindakan-tindakan yang akan meningkatkan pemahaman.

Sama halnya dengan sebagian besar Konvensi ILO, Konvensi ILO No. 190 akan berlaku 12 bulan setelah dua negara anggota meratifikasinya.

Mengingat dukungan tingkat tinggi yang ditunjukkan saat konvensi ini disahkan, kami sangat yakin Konvensi ini akan cepat berlaku.

Namun Konvensi ini akan membawa dampak karena semua negara anggota akan diminta untuk memerhatikan otoritas nasional mereka yang berwenang.

Dengan demikian isu ini akan mendapatkan perhatian di tingkat nasional maupun internasional.

Kelahiran Konvensi No.190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja mampu mewujudkan dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan dalam berbagai bentuk dan di berbagai jenis pekerjaan serta di berbagai tempat kerja.

Konvensi ini mengatur secara luas definisi dunia kerja, yang melingkupi ruang publik dan pribadi (privat) serta definisi pekerja, baik formal maupun informal seperti pekerja rumah tangga maupun pekerja rumahan, sehingga dapat digunakan untuk memberikan perlindungan yang lebih luas.

Namun, Konvensi tersebut akan menjadi efektif apabila negara anggota PBB yang ikut membuat instrumen tersebut meratifikasinya menjadi sebuah aturan baku.

Indonesia sebagai satu dari 387 negara yang mendukung lahirnya konvensi ini sudah seharusnya segera menyusun strategi menuju ratifikasi dan implementasi sebagai bentuk pengakuan mewujudkan masa depan dunia kerja yang lebih bermartabat.

Baca juga: Serikat buruh desak pemerintah ratifikasi Konvensi ILO No.190
Baca juga: ILO dorong pemerintah segera ratifikasi Konvensi PRT
Baca juga: ILO dorong pembentukan dunia kerja yang bermartabat
Baca juga: ASEAN Didesak Adopsi Konvensi ILO tentang PRT

Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019