Kami meminta kepada Presiden untuk segera merumuskan peta jalan transisi energi, sebab Indonesia telah merumuskan peta jalan transisi hanya saja belum menjadi skala prioritas.
Bengkulu (ANTARA) - Puluhan orang yang mengatasnamakan diri Gerakan Menolak Punah menggelar aksi jeda untuk iklim dengan seruan mendesak pemerintah segera menghentikan ketergantungan terhadap batu bara sebagai sumber utama listrik nasional dan beralih ke energi terbarukan untuk mengatasi krisis iklim yang semakin memburuk.

"Kami meminta pemerintah dan dunia usaha segera menghentikan penggunaan energi kotor PLTU batu bara dan beralih ke energi terbarukan," kata Koordinator Fossil Free Bengkulu Cimbyo Layas Ketaren saat aksi Jeda untuk Iklim di Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu, Jumat.

Ia menyebutkan kebijakan pemerintah menambah PLTU batu bara menjadi langkah mundur bagi Indonesia untuk mengatasi krisis iklim dengan menekan emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran batu bara.

Proyek PLTU batu bara di Bengkulu dengan kapasitas 2 x 100 Megawatt yang dibangun dengan dukungan dana Tiongkok menurutnya akan terus menuntut kebutuhan batu bara yang digali dengan cara menghilangkan hutan hingga areal pertanian warga.

"Bengkulu saat ini sudah menggunakan 87 persen energi terbarukan jadi keliru kalau mengembangkan PLTU batu bara yang merupakan energi kotor," ujar Cimbyo.

Baca juga: Kaum muda peserta aksi iklim desak pemerintah kekang perubahan iklim

Baca juga: Anak-anak muda Indonesia ikuti seruan aksi iklim Greta Thunberg


Koordinator lapangan, Frengki Wijaya mengatakan bahwa aksi ini bertujuan mengkampanyekan pentingnya transisi energi dari fosil ke energi terbarukan secara adil. Mewujudkan masa depan bebas energi fosil, merupakan langkah nyata penanggulangan perubahan iklim untuk kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang.

“Bila pemerintah kita hari ini masih mengandalkan batu bara untuk sumber energi listrik seperti PLTU batu bara artinya mereka secara sadar memperburuk krisis iklim,” katanya.

Perwakilan #gerakanmenolakpunah Suyitno yang juga pegiat seni Bengkulu mengatakan aksi ini untuk menyerukan semua orang bahwa bumi sudah menuju kepunahan akibat perubahan iklim.

Cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang salah satunya dipicu PLTU batu bara dan kebakaran hutan yang saat ini sedang terjadi, serta kekeringan adalah beberapa contoh dari dampak perubahan iklim.

Sementara Direktur Kanopi Bengkulu, Ali Akbar mengatakan aksi ini ditujukan bagi pemimpin negara agar tidak panik terhadap situasi iklim dunia saat ini.

"Kenapa panik karena terlalu ditunggangi oleh para pebisnis yang menginginkan batu bara sebagai sumber energi di seluruh pelosok dunia," kata Ali.

Baca juga: Seorang pekerja PLTU Bengkulu tewas tergilas mesin

Baca juga: Seekor lumba-lumba mati dekat proyek PLTU Bengkulu


Selain itu pihaknya juga ingin menyuarakan di level internasional, khususnya para pengambil keputusan yang hari ini mengadakan rapat memilih peta jalan atau mencari peta jalan transisi energi menuju 100 persen energi terbarukan.

"Kami meminta kepada Presiden untuk segera merumuskan peta jalan transisi energi, sebab Indonesia telah merumuskan peta jalan transisi hanya saja belum menjadi skala prioritas," tutur Ali.

Di Bengkulu, pihaknya meminta Gubernur Bengkulu untuk mencabut izin lingkungan PLTU batu bara yang yang saat ini digugat warga di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Aksi jeda iklim yang berlangsung di seluruh dunia digelar di 12 titik di Indonesia khususnya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Di Bengkulu ada lebih 50 komunitas yang bergabung seperti GMKI, Fossil Free Bengkulu, Komunitas Seni Unihaz, Kampala, Kanopi, Lingkar Institut, dan sejumlah organisasi pecinta alam.

Gerakan ini akan melakukan aksi lanjutan di Pantai Berkas pada Minggu (22/9) dengan agenda pawai iklim, orasi, seni musik, seni mural dan menandatangani petisi tolak energi kotor.*

Baca juga: Sembilan pekerja asal China lari saat razia imigrasi di PLTU Bengkulu

Baca juga: Menteri Jonan tinjau ulang PLTU Bengkulu


Pewarta: Helti Marini S
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019