Jurnalisme, mau tulis, apalagi foto cepat banget jalannya. Apalagi, zaman Internet begini. Cepat basi."
Yogyakarta (ANTARA) - Tatkala menyiapkan Museum Purna Bhakti dan GFJA, Oscar banyak melakukan perjalanan penelisikan ke berbagai tempat, termasuk mewawancarai para wartawan pensiunan ANTARA.

Tak jarang ia harus meminta-minta layaknya pengemis dan perayu ulung agar para seniornya mau menyumbangkan koleksi pribadi terkait tugas profesional semasa kerja di ANTARA. Tentu saja koleksi bernilai sejarah, mulai dari arsip Buletin ANTARA, naskah dan foto, kamera dan mesin ketik, alat pengirim pesan Morse maupun telegraf, hingga kartu pers, serta kartu pengenal saat liputan internasional. Hebatnya, koleksi sepeda motor tua pun didapatkannya.

Baca juga: Oscar Motuloh sang Empu Ageng (Bagian I)

Bohemian penelisik

Satu hari pensiunan wartawan yang pernah bertugas di Manila, Filipina, dan Kepala ANTARA Jawa Timur, Wiwiek Hidajat (kini almarhum) di kediamannya di Surabaya, medio 1991, antara lain berujar: “Kalau yang mengemis koleksi pribadi bukan seorang bohemian yang kelihatannya bisa dipercaya membawa misi ANTARA, saya mungkin tidak mau memberikan kartu pengenal ini.”

Bohemian alias tukang keluyuran yang dimaksud Wiwiek ya siapa lagi kalau bukan Oscar Motuloh. Ia sabar mewawancarai, memotret sekaligus mengemis agar sang senior mau merelakan kartu persnya saat menjadi wartawan ANTARA di awal kemerdekaan RI dan perjuangan Arek-Arek Surabaya terkait peristiwa bersejarah yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan, 10 November 1945.

Dengan cara-cara bohemian pula, pria yang akrab dengan penampilan rambut gondrong, kaos oblong gelap dilapisi baju kasual dan sepatu pendaki gunung itu menggali kesejarahan Kantor Berita ANTARA. Dia juga banyak menelisik cerita dan koleksi wartawan sekaligus penulis sejarah pers Soebagijo IN.

“Pak Bagijo tantangan tersendiri buat gue. Pertama ke rumahnya cuma diterima di teras. Gue juga serasa ujian skripsi atau diinterogasi polisi, malah ditanya-tanya. Belakangan baru diajak masuk ruang tamu sampai ke ruang khusus buku pribadinya. Seru jadinya, banyak dapat ilmu sekaligus ada juga koleksinya,” kata Oscar.

Pengalaman menjalani karir pewarta foto hingga mengelola manajemen penerbitan buku foto jurnalistik, kurasi galeri, dan sejumlah hal terkait itulah yang kemudian membuat dirinya dipercaya para pihak mengadakan sejumlah pameran foto pribadi bergengsi di dalam maupun luar negeri.

Paling tidak, ia menjadi kurator untuk 161 buku dan pameran foto selama tahun 1999—2018, pameran foto jurnalistik tunggal maupun kelompok 31 kali dalam periode 1997—2019.

“Voice of Angkor” hasil liputan di kawasan Candi Angkot Wat, Kamboja, menjadi pameran tunggal perdana Oscar pada 1997. Sejumlah fotonya itu dipamerkan di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, selain juga menjadi materi promosi edukasi Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) di Paris, Prancis.
 
Penanggung Jawab dan Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Oscar Motuloh menyampaikan pidato ilmiah saat penganugerahan Gelar Kehormatan Empu Ageng dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di Concert Hall, ISI Yogyakarta, Rabu (18/9/2019). Oscar Motuloh memperoleh anugerah gelar kehormatan Empu Ageng atau setara dengan Doktor HC dari ISI Yogyakarta atas perannya dalam dunia pendidikan, kemanusian, dan kebudayaan serta jejak aktivitas dan karyanya khususnya bidang fotografi jurnalistik. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/pras.

Baca juga: Oscar Motuloh terima gelar "Empu Ageng" dari ISI Yogyakarta

Kemudian, pameran tunggal “Carnaval” (1999), “Peripherial Songs” (2002), “The Art of Dying” (2003), “Sanctuary” (2006), dan “Lintasan Saujana Jiwa - Soulscape Road” (2009) menjadi pembuktian sekaligus kesaksiannya menapaki langkah menjadi maestro fotografi jurnalistik “di Indonesia”.

Langkah itu menjadi lebih panjang menjadi maestro foto jurnalistik “dari Indonesia” melalui pameran tunggal “Soulscape Road” diboyong ke satu tempat yang didirikan tahun 1864, yakni Tropen Museum, Amsterdam, Belanda (2011).

“Oscar bekerja dengan gagasan yang orisinal tentang kesejarahan untuk dinikmati generasi kekinian. Detil, kejelian, dan sifat argumentatifnya dalam menuangkan gagasan sangat mengagumkan. Saya menikmati bekerja bersamanya,” ujar Hans van den Akker, kurator Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda, di satu kunjungannya ke GFJA.

Museum Bronbeek awalnya salah satu Istana Raja Belanda pada 1845, kemudian menjadi tempat tinggal prajurit di Hindia Belanda (KNIL) yang cacat purnatugas. Bersama GFJA, museum tersebut sejak 2015 rutin mengadakan pameran foto, penerbitan buku berbagai kepingan dokumen bersejarah, terutama militer Belanda di Indonesia.

Terungkap pula, banyak prajurit wajib militer KNIL berhati nurani pro-kemerdekaan RI lantaran menyaksikan dan merasakan langsung kedekatan TNI dan rakyatnya. Sejumlah prajurit itu menuangkan kegalauannya memerangi rakyat Indonesia melalui buku harian, foto-foto, dan catatan grafis karya Flip Peteers untuk tunangannya bertitelkan “Lieve Gerda” (Gerda Sayang).

Hans juga mengakui kekuatan referensi mitra kerjanya itu memadukan fakta dan dokumen sejarah dengan kemampuan visual, sastra dan musikalitas untuk membuat tema pameran. Hal ini mudah saja dibuktikan bilamana melihat banyaknya koleksi buku dan cakram digital aneka genre, serta berbagai pernak pernik yang memicu gagasan di mana pun Oscar memilih sarangnya.

Satu hal yang sangat sulit dilepaskan dari spirit dirinya adalah GFJA. Galeri dalam bangunan bersejarah di Jalan Antara, Pasar Baru. Notabene di situ menjadi lokasi disebarkannya isi naskah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 ke berbagai penjuru dunia. Keduanya punya keterikatan kuat yang bisa jadi lantaran 17 Agustus juga hari kelahiran Oscar Motuloh di Surabaya, Jawa Timur, pada 1959.

GFJA selama lebih dari tiga dasawarsa layaknya rumah tinggal dan juga rumah singgah para fotografer, peneliti jurnalisme, bahkan penelaah bangunan bersejarah dan sinematografi. Rasa memiliki oase berjurnalisme, khususnya foto jurnalisme, terwujud di sana.

Dan, Oscar mengakhiri karir profesionalnya selaku wartawan dan karyawan ANTARA yang berusia 60 tahun di sana pula. Kinerjanya tentu saja tak akan pernah mudah tergantikan oleh siapa pun yang menjadi ahli warisnya. Walau, ia meyakini nilai-nilai jurnalisme tak akan pernah dimakan zaman.

“Jurnalisme, mau tulis, apalagi foto cepat banget jalannya. Apalagi, zaman Internet begini. Cepat basi. Cuma saja, nilai jurnalisme, pakai fakta, data, dan referensi jujur buat rakyat enggak bakal ada matinya,” demikian Oscar Motuloh.
(-Habis-)

*) Priyambodo RH adalah pewarta LKBN ANTARA sejak 1990, dan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS, 2008—2018).

Baca juga: Oscar Motuloh terima Penghargaan Kebudayaan 2015

Copyright © ANTARA 2019