Purwokerto (ANTARA) - Tim Peneliti Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia melakukan penelitian penanggulangan kejahatan produksi dan distribusi bahan pangan di Kepolisian Resor Banyumas, Jawa Tengah.

Saat ditemui usai diskusi dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan perwakilan dari berbagai instansi di Aula Rekonfu, Markas Polres Banyumas, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu, Ketua Tim Peneliti STIK Komisaris Besar Polisi Irfing Jaya mengatakan penelitian tersebut mengusung topik "Penanggulangan Kejahatan Produksi dan Distribusi Bahan Pangan dan Dampaknya Terhadap Kepercayaan Masyarakat Kepada Polri."

Baca juga: 4 Polda jadi lokasi penelitian penanggulangan kejahatan pangan

"Penelitian ini memang basic-nya adalah salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu mengadakan penelitian dan pengembangan. Kami melihat bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana ini oleh Polri dan Satgas Pangan," katanya didampingi Kepala Polres Banyumas Ajun Komisaris Besar Polisi Bambang Yudhantara Salamun.

Ia mengatakan ada tiga permasalahan yang dilihat dalam melaksanakan penelitian tersebut, yang pertama masalah tipologi tindak pidana pangan.

Baca juga: Penelitian di bidang pangan sangat dibutuhkan

Kemudian, bagaimana upaya dari segi represif dan preventifnya atau pencegahan maupun penegakan hukum yang dilakukan oleh Satgas Pangan.

Sementara yang ketiga adalah bagaimana upaya meningkatkan kinerja Polri dalam mencapai kepercayaan dari masyarakat.

"Output-nya nanti di akhir penelitian ini, kita mengadakan seminar berkaitan dengan instansi terkait, terutama yang tergabung dalam Satgas Pangan seperti Bareskrim Polri, Bulog, Kementerian Pertanian, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha," katanya.

Lebih lanjut, Irfing mengatakan Satgas Pangan yang dibentuk pada tahun 2019 atas perintah Kapolri, awalnya untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok, terutama dengan adanya penimbunan-penimbunan beras.

Akan tetapi belakangan ini, kata dia, malah banyak ditemukan tindak pidana seperti yang tertuang di dalam Pasal 133-148 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan khususnya yang berkaitan dengan pencampuran bahan berbahaya terhadap makanan.

"Kita banyak temukan tempat-tempat yang seperti ini (mencampurkan bahan berbahaya terhadap makanan, red.), kemudian laporan masyarakat laporan bahwa ada yang membuat ikan asin pakai formalin, membuat mi pakai boraks, pencampuran bahan berbahaya, ada pemutihan beras, dan sebagainya. Itu yang kita temukan berdasarkan info dari masyarakat," katanya.

Menurut dia, beberapa Polres ada yang memroses kasus pencampuran bahan berbahaya terhadap makanan ini ke tindak pidana pangan.

Kendati demikian, dia mengakui kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah pangan tidak terlalu menonjol di kepolisian, tidak seperti kasus narkoba dan tindak pidana lainnya.

"Dampak pencampuran bahan berbahaya terhadap pangan itu baru kita temukan setelah 10-20 tahun kemudian, tiba-tiba mereka kena kanker dan sebagainya, sehingga jarang memang kalau kita ketemukan," jelasnya.

Ia mengatakan tindak pidana pangan baru ditemukan setelah Satgas Pangan turun ke lapangan terutamas saat mendekati Lebaran atau akhir tahun untuk menjaga stabilitas harga beras atau pangan. "Pada saat-saat itulah baru ditemukan," katanya.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019