Kita viralkan Kampung Toleransi Porot dengan harapan akan memberikan inspirasi kepada masyarakat lain
Temanggung (ANTARA) - Cukup sepi jalan pedesaan menuju Dusun Porot, Desa Getas, Kecamatan Kaloran yang berada di ujung timur wilayah Kabupaten Temanggung berbatasan dengan Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah tersebut.

Masyarakat yang sebagian besar petani tersebut hidup damai dan harmonis. Di Dusun Porot terdapat beberapa tempat ibadah yang saling berdampingan dari agama yang berbeda-beda.

Mereka menjalankan ibadah dengan penuh toleransi, bahkan saling bergotong-royong jika salah satu agama atau tempat ibadah tersebut ada kegiatan.

Desa Getas berpenduduk 4.120 jiwa tersebar di delapan dusun dengan warga berkeyakinan yang berbeda-beda. Pemeluk agama Islam berjumlah 1.817 orang, beragama Buddha 1.514 orang, agama Kristen 776 orang, dan agama Katolik 13 orang.

Mantan Sekretaris Desa Getas Suparmin menuturkan di tempat itu sudah biasa antara tetangga, bahkan dalam satu keluarga, memeluk agama yang berbeda-beda, tetapi mereka tidak pernah ada benturan.

"Kami hidup damai, tanpa pernah ada gejolak antaragama bahkan kami saling membantu jika salah satu agama melakukan kegiatan atau perayaan hari besarnya," katanya.

Baca juga: Peserta SMN Makassar kagum toleransi beragama di Papua

Ia menuturkan dirinya anak pertama dari delapan bersaudara dengan agama yang berbeda-beda, beragama Buddha tiga orang, beragama Islam dua orang, dan beragama Kristen tiga orang.

"Di dalam keluarga saya juga berbeda-beda agamanya, saya punya dua anak yang satu Kristen dan yang satu Buddha. Orang tua saya beragama Islam dan saya beragama Buddha. Kami selalu hidup rukun, tidak ada masalah," katanya.

Bahkan, dirinya dan anggota keluarganya yang berbeda keyakinan itu saling mengingatkan dalam hal beribadah.

"Kami saling mengingatkan untuk beribadah, saya ke tempat ibadah saya di wihara tiap sore, yang Kristen tiap Minggu ke gereja, yang Islam bapak saya ke masjid tidak masalah," katanya.

Warga disebutnya menjunjung tinggi toleransi umat beragama. Setiap ada kegiatan apa pun, warga selalu bersama-sama saling mendukung.

Kalau ada perayaan Waisak, mereka yang pemuda Kristen dan Islam membantu umat Buddha. Kalau bertepatan Hari Natal, mereka yang Buddha dan Islam juga membantu umat Kristen, sedangkan kalau ada pengajian yang sedang dilaksanakan umat Islam, mereka yang Buddha dan Kristen juga membantu kelancaran kegiatan tersebut.

"Setiap kegiatan kami saling bergotong-royong, tidak ada yang mempermasalahkan agama, kerukunan umat beragama sudah benar-benar tertanam di hati masyarakat," katanya.

Tingginya toleransi umat beragama di Dusun Porot tersebut, menarik perhatian Kepala Staf Kodam (Kasdam) IV/Diponegoro Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa untuk meninjau dan mencanangkan sebagai kampung toleransi.

"Menurut saya cukup unik, masalah kerukunan keberagaman agama yang bisa bersanding, bisa bersama-sama melaksanakan kegiatan sehari-hari tanpa ada unsur yang negatif," kata jenderal bintang satu itu.

Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku, agama, dan ras. Saat ini, ada beberapa tindakan provokasi yang mulai mencoba memecah belah dengan cara mengangkat isu-isu agama, suku, dan ras.

"Isu-isu itu merupakan upaya dari beberapa kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk memecah belah persatuan kita," katanya.

Baca juga: Arkeolog: Candi-candi di kompleks Prambanan cermin toleransi

Namun, mantan Komandan Korem Kupang, Nusa Tengagara Timur ini, melihat di Dusun Porot justru sebaliknya, yakni toleransi beragama dan kehidupan beragama di tempat itu cukup bagus.

Ia menuturkan gereja, masjid, dan wihara berdampingan, tidak saling mengganggu. Mereka bersama-sama melaksanakan kegiatan terkait dengan keagamaan masing-masing dengan saling memberikan dukungan.

"Bahkan ada dalam satu keluarga, bapaknya beragama Buddha, ibunya beragama Kristen, dan anaknya Muslim. Menurut saya itu cukup unik dan luar biasa mereka bisa hidup berdampingan seperti ini," katanya.

Ia mengatakan pendiri bangsa ini, proklamator Bung Karno, memiliki ide bahwa falsafah hidup Pancasila sebagai hal yang tidak diragukan lagi.

"Beliau sudah berpikir bahwa dengan keberagaman yang ada di Indonesia ini akan menjadi titik rawan manakala perbedaan dianggap menjadi suatu yang negatif, tetapi beliau sudah memikirkan itu semua sehingga beliau memiliki falsafah hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila," katanya.

Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Itulah Indonesia.

Ia berharap, seluruh warga Dusun Porot tidak mudah terprovokasi atau gampang mendengar isu-isu yang negatif kemudian terpancing melakukan tindakan yang merugikan pihak lain.

Pihaknya mengakui kecanggihan teknologi saat ini tidak bisa dihindari. Berita yang muncul di media sosial itu tidak bisa dibendung.

Menurut dia , hal yang paling mungkin dilakukan adalah menyikapi semua berita tersebut dengan bijak, tidak gampang percaya, dan tidak mudah untuk begitu saja menerima informasi tersebut seolah-olah yang benar.

"Belum tentu, banyak sudah berita atau informasi yang bersifat hoaks, beberapa waktu lalu kejadian di Manokwari, Papua Barat, itu pun juga disebabkan oleh berita hoaks dari media sosial yang berkembang begitu pesatnya, begitu cepatnya, dan beritanya tidak benar," katanya.

Terjadi beberapa kejadian di wilayah Jawa Timur yang informasinya dibagikan  sampai Papua. Akan tetapi, berita dan cerita atas peristiwa dari Jatim itu berbeda dengan informasi yang sampai Papua sehingga masyarakat di daerah itu terpancing dan tersulut emosinya, lalu melakukan aksi anarkis.

"Hal itu sangat merugikan, baik warga Papua sendiri maupun kita semuanya. Oleh karena itu, saya berharap kerukunan, toleransi yang sudah ada di dusun ini terus dipelihara, terus dijaga. Saya ingin mengangkat dusun ini menjadi model atau menjadi contoh toleransi beragama untuk bangsa Indonesia," katanya.

Ia mengatakan dusun ini dijadikan model bahwa di tempat itulah hidup semangat Bhineka Tunggal Ika, diwujudkan nilai-nilai Pancasila, untuk ditularkan ke daerah-daerah lain.

Ia menegaskan bangsa Indonesia harus bersatu, tidak gampang dipecah belah oleh siapa pun.

"Saya ingatkan terus pelihara persatuan dan kesatuan bangsa kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati, tidak ada tawar menawar lagi," katanya.

Bupati Temanggung M. Al Khadziq bersyukur masyarakat setempat bersatu dan bersaudara.

"Temanggung ini adalah kampung untuk semua agama dan kita hidup berdampingan, bersatu, bersaudara, tanpa pernah memandang perbedaan agama, suku, ras, dan juga kita tidak pernah memandang perbedaan politik," ujarnya.

Ia menuturkan masyarakat Temanggung damai, bergotong-royong. Dusun Porot, Desa Getas membuktikan diri bahwa masyarakatnya saling bersaudara meskipun berbeda-beda agama.

Ia menyebut tempat itu sebagai "Desa Pancasila" yang harus disyukuri dan dirawat bersama dalam semangat kebhinekaan.

"Saya berharap seluruh masyarakat di Temanggung bisa meniru keharmonisan hidup seperti yang terjadi di Dusun Porot ini," katanya.

Baca juga: Tunjukkan toleransi, Shinta Nuriyah sahur di Wihara Bogor

Dandim 0706/Temanggung Letkol (Inf) AY David Alam menuturkan setelah kemarin Dusun Porot dicanangkan sebagai kampung toleransi, hal yang pertama yang sudah dilaksanakan adalah memviralkan ihwal tersebut di berbagai media, terutama media sosial, kemudian melalui media cetak dan elektronik.

"Kita viralkan Kampung Toleransi Porot dengan harapan akan memberikan inspirasi kepada masyarakat lain, desa lain bahwa toleransi antarumat beragama, toleransi antarsuku dan bangsa itu merupakan nilai-nilai budaya kita yang sebetulnya sudah ada sejak zaman dulu, kita mencoba untuk mengingatkan kembali nilai-nilai tersebut," katanya.

Untuk tindak lanjut atas kegiatan tersebut, pihaknya akan secara rutin menyebarkan pesan-pesan tentang toleransi itu  dalam berbagai kesempatan.

"Kemarin sudah saya laksanakan juga sebagai inspektur upacara di salah satu SMA, kita laksanakan juga untuk memberikan pesan-pesan damai dan toleransi kepada para siswa," katanya. 

Penyebarluasan bukti semangat toleransi beragama di dusun tersebut, diharapkan makin menguatkan kesadaran bangsa ini tentang kebhinekaan Indonesia. 

Hidup bersama dalam perbedaan itu, indah!

Baca juga: Tradisi minoritas muslim Bali lepas jamaah umrah
Baca juga: Penelitian: toleransi beragama mahasiswa PTN masih tinggi

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019