Jakarta (ANTARA) - Pernah mengalami sulitnya mendapatkan buku bacaan saat duduk di bangku sekolah dasar (SD), Neas Wanimbo kemudian membangun perpustakaan di sejumlah daerah di Papua dengan harapan siswa bisa mudah mendapatkan akses bahan bacaan.

Neas, pemuda berusia 24 tahun, merasakan betul bagaimana terbatasnya akses pendidikan di sekolahnya. Apalagi ia tinggal di wilayah pengunungan. Ia berasal dari Suku Dani di Wamena. Kondisi geografis di wilayah itu, membuat siswa sulit mengakses buku bacaan dan pendidikan sebagaimana mestinya.

Ia mengenang bagaimana di sekolahnya, SD YPPGI Tangma, Kabupaten Yahukimo, Papua, hanya ada satu guru yang mengajar untuk enam kelas. Ia juga masih ingat bagaimana dirinya juga diperbantukan mengajar di sekolah itu saat SD, karena dinilai sudah lancar membaca, menulis dan berhitung dengan baik.

Dahaga Neas kecil akan bahan bacaan tak terpuaskan dengan perpustakaan di sekolahnya karena tak ada buku. Orang tuanya juga tak mampu membelikan karena hanya bekerja sebagai petani.

"Padahal buku itu sangat penting, karena dengan membaca buku wawasan kita bertambah. Buku merupakan jendela dunia," kata Neas

Dari latar belakang tersebut, ia kemudian mempunyai inisiatif membangun perpustakaan Hano Wene di SD YPPGI pada 2017. Sekolahnya mempunyai satu gedung kosong yang kemudian disulapnya menjadi perpustakaan. Ia kemudian mengumpulkan buku-buku bekas dari teman-temannya dan dibawa ke Papua. Dengan harapan meskipun hanya ada satu guru yang mengajar, tapi hasrat anak membaca bisa terpuaskan.

"Jadi kalau pulang ke Papua isi bagasi bukan baju, tapi buku, karena ongkos kirim ke Papua cukup mahal, lebih baik sekalian," katanya.

Perpustakaan tersebut diberi nama Hano Wene yang bermakna kabar baik. Ia ingin dari perpustakan tersebut dapat menyebarkan kebaikan untuk masyarakat di sekitarnya. Untuk tahap awal sudah ada sekitar 500 buku bacaan di perpustakaan itu. Dalam waktu dekat, ia akan mengirimkan lagi sekitar 2.000 buku bacaan ke kampung halamannya. Buku-buku tersebut didapatnya dari kampanye donasi buku bekas yang digalangnya. Ia juga menerapkan pola menjemput buku, bagi donatur yang ingin menyumbang buku bekas.

Selain di kampung halamannya, Neas juga merintis pembangunan perpustakaan di empat daerah lainnya, yakni Sorong, Kaimana, Sarmi, dan Lani Jaya. Perpustakaan tersebut dikelola oleh Neas bersama dengan melibatkan warga setempat sehingga mereka merasa memiliki.

"Kami libatkan masyarakat, mulai dari anak muda, kepala suku hingga kepala sekolah. Jadi mereka merasa memiliki dengan dilibatkan, mereka jaga perpustakaan dengan baik," ujar lulusan Teknik Informatika Universitas Tanri Abeng, Jakarta, tersebut.

Perpustakaan tersebut terbuka untuk umum, masyarakat bisa mengakses buku bacaan di situ. Menurut dia, mengajak siswa dan masyarakat berkunjung ke perpustakaan itu bukanlah perkara mudah karena mereka lebih memilih pergi ke kebun atau berburu.

Solusinya, Neas menginisiasi pertandingan sepak bola di depan perpustakaan. Begitu selesai bermain bola, mereka diajak berkunjung ke perpustakaan. Ia juga melakukan sosialisasi pada para orang tua untuk mengajak anaknya ke perpustakaan.


Keluarga tidak mampu

Neas berasal dari keluarga tidak mampu karena orang tuanya hanya petani biasa. Hingga kini, masyarakat di kampungnya masih menggunakan koteka, bahkan ia sendiri baru menggunakan pakaian saat pindah ke Jayapura.

Untuk biaya pendidikan, ia mengandalkan beasiswa. Ia mendapatkan beasiswa sejak duduk di kelas dua SMP, yang mana ia harus pindah ke Jayapura. Kemudian melanjutkan sekolah di SMA Mandala Trikora, juga dengan beasiswa.

Agar mendapatkan beasiswa, ia berusaha untuk menggeluti satu bidang olahraga, yakni sepak bola. Akan tetapi, ia gagal dalam bidang yang ditekuninya itu. Ia kemudian pindah ke cabang angkat besi.

Neas mendapatkan beasiswa dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menuntut ilmu di Universitas Tanri Abeng. Beasiswa itu didapatnya secara kebetulan, karena saat liburan sekolah ia main di sekolahnya dan ditawari kepala sekolahnya.

"Kepala sekolah kemudian beri rekomendasi, lebih dari 500 orang yang ikut, tapi yang lolos hanya 15 orang. Tapi yang berangkat cuma 10 orang, karena ada yang sudah diterima di perguruan tinggi lainnya," ujarnya.

Neas kemudian menyelesaikan pendidikan hanya dalam waku dua tahun delapan bulan. Setelah lulus, Neas mengikuti program Initiatives of Change di India selama enam bulan. Ia juga pernah bekerja sebagai admin perpustakaan di AKASHA, Malaysia. Kemudian sebagai perancang situs di Gampari, India.

Sejumlah penghargaan diraihnya, yakni Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) Academy dari pemerintah Amerika Serikat, alumni Civic Engagement di Arizona State University of America, kemudian Japan School Visit Program di Jepang.

Ia juga meraih peringkat kedua dalam kompetisi merancang kartu pos di Peace Tival Convey, medali emas pada turnamen futsal dan renang di Universitas Tanri Abeng.

Ke depan, ia berharap bisa membangun perpustakaan yang ada di setiap komunitas yang ada di Papua dan Papua Barat, sehingga kendala akses terhadap buku bacaan di wilayah itu bisa teratasi.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019