Orang mengira kalau bukan saya sebagai psikolog, ya ahli hukum, padahal secara formal belajar sastra Arab
Jakarta (ANTARA) - Rita Pranawati salah satu aktivis yang banyak bergelut pada sektor perlindungan anak Indonesia, terutama yang tidak begitu populer, yaitu soal pengasuhan.

Kendati demikian, perempuan kelahiran Kebumen, 6 April 1977 itu, mengatakan bahwa isu pengasuhan anak tidak populer bukan berarti tidak penting dan ditinggalkan begitu saja.

Tanpa upaya perlindungan intensif bagi anak-anak Indonesia, tentu sama saja bangsa sedang mempertaruhkan masa depannya.

Menurut dia, masa depan baik tidaknya sumber daya manusia Indonesia ditentukan dari kualitas anak-anak, sedangkan tumbuh kembang anak yang baik paling utama dipengaruhi pola pengasuhan baru dari pendidikan di sekolah.

Dengan kata lain, posisi pendidikan paling penting mendukung kualitas anak setelah pengasuhan keluarga.

Peraih penghargaan Peneliti Muda Filantropi Center for the Study or Religion and Culture (CSRC) 2005 itu, saat berbincang dengan ANTARA secara eksklusif, mengatakan pengasuhan merupakan fondasi kesejahteraan anak di masa kini dan mendatang.

"Pengasuhan menentukan mereka akan memiliki masa tumbuh kembang yang baik atau tidak. Pengasuhan dampaknya jangka panjang, sampai mereka dewasa. Ketika fase emas pengasuhan saat anak tidak lulus maka tahapan berikutnya akan sangat berat," kata alumnus terbaik kedua Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada 2000 tersebut.

Sekretaris Bidang Perlindungan Anak, Remajam dan Keluarga MPP Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia periode 2015-2020 itu, menyebut terjadi fenomena literasi pengasuhan di banyak keluarga di Indonesia tergolong rendah.

Pemetaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memetakan hampir semua kementerian/lembaga sudah terlibat dalam isu keluarga dan pengasuhan.

Tetapi, menurut dia, faktanya tidak semua keluarga yang memiliki anak mendapatkan pengetahuan yang baik untuk cakap mengasuh.

"Padahal negara wajib mengapasitasi orang tua cakap mengasuh," katanya.

Baca juga: KPAI: Anak harus dicegah jadi korban-pelaku asusila di media sosial

Salah satu isu krusial dalam pengasuhan anak adalah soal kuasa hak asuh buah hati saat orang tuanya bercerai. Hingga saat ini, belum ada aturan dan praktik di masyarakat yang mendorong hal terbaik bagi tumbuh kembang anak.

Rita mengatakan orang tua pisah terkadang berebut anak asuh tanpa mau mendengarkan kemauan anak. Bahkan jika putusan pengadilan memutuskan kuasa asuh diberikan kepada salah satu pihak, hal itu belum tentu ditaati.

"Dalam perkara perceraian hanya satu persen yang mengikutsertakan anak. Hak anak sangat subordinat dari perceraian dan perempuan itu sendiri. Artinya perlu diperjuangkan, belum lagi cita-cita besarnya menjadi undang-undang bisa tapi perlu proses panjang," kata dia.
 
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati di sela wawancara dengan ANTARA di kantor KPAI, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Komisioner Bidang Pengasuhan KPAI yang juga tokoh organisasi sayap Muhammadiyah urusan perempuan, Aisyiyah, tersebut mengatakan pengasuhan anak dari suami istri harus berlangsung secara setara, bukan saling mensubordinatkan satu sama lain. ANTARA/Anom Prihantoro


                                                                                    Momentum
Salah satu momentum penting Rita untuk menggeluti bidang pengasuhan anak adalah saat masih studi Sastra Asia Barat di Universitas Gadjah Mada melalui Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) Yogyakarta pada 1999.

Pada 2004, melalui Majelis Pelayanan Kesehatan dan Sosial (MPKS) Muhammadiyah, dia turun ke Aceh pascatsunami untuk ikut menangani dan mengadvokasi hak asuh anak-anak korban bencana.

Selanjutnya, peraih penghargaan Allison Sudrajat Award AUSAID 2011 itu terus bergerak dalam bidang pengasuhan anak melalui organisasi sayap Muhammadiyah untuk remaja putri atau Nasyiatul Aisyiyah (NA).

Di NA, dia aktif untuk menguatkan konseling keluarga yang mengalami perceraian. Saat beralih di organisasi otonom perempuan Muhammadiyah yang lebih senior, yaitu Aisyiyah, Rita kembali berjibaku dengan kasus-kasus terkait dengan anak di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Aisyiyah.

Kini, Rita juga masih aktif sebagai Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selaku komisioner bidang pengasuhan.

Rita bercerita satu hal unik mengenai sejumlah orang yang mengiranya sebagai psikolog dan ahli hukum terkemuka karena sering melakukan advokasi dan konseling terhadap anak.

"Orang mengira kalau bukan saya sebagai psikolog, ya ahli hukum, padahal secara formal belajar sastra Arab. Situasi karena sering mengonseling orang dikira psikolog praktik, padahal tidak, tapi latar belakang di sosiologi keluarga," kata Master of Arts Bidang Sosiologi Monash University Australia pada 2013 itu.

Rita yang juga merupakan magister agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada 2006 itu, mengatakan tidak belajar persoalan hukum dan psikologi secara formal tetapi dari sekian banyak kegiatan mengadvokasi anak melalui sejumlah organisasi menempanya belajar terus menerus.

"Karena belajar sehingga mengerti. Latar belakang saya selaku peneliti tentu membuat tidak bisa sembarangan berbicara sesuatu. Peneliti tidak akan bicara tanpa data. Sebagai peneliti akan merasa bersalah kalau ngomong tanpa data, ngawur tanpa belajar, tanpa buka aturan," kata peneliti Center for the Study or Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Baca juga: KPAI: Hari Anak Nasional perundungan di sekolah angkanya tinggi

Di sela waktunya, ia kerap melakukan penyegaran dengan menambah pengetahuan terkait dengan pengasuhan anak melalui membaca buku, jurnal, dan diskusi dengan pakar.

"Saya bisa karena praktik, baca, konsultasikan. Sebenarnya karena isunya pengasuhan, irisannya sangat kuat dengan psikologi dan hukum. Maka mau tidak mau harus belajar, meski tidak ditempuh secara formal," kata dosen Universitas Prof Dr HAMKA (UHAMKA) tersebut.

Menurut peraih Australian Leadership Award Scholarship pada 2011 itu, sejumlah pakar hukum, terutama hakim, kerap heran dengan dirinya yang mengetahui pasal-pasal dalam kasus yang sedang ditangani. Maka, wajar sejumlah orang mengiranya ahli hukum.

Pengetahuan hukum, kata dia, diperbarui melalui berbagai saluran sehingga bisa berdiskusi dengan para ahli hukum secara linier soal kasus anak di lapangan.

"Jadi 'from practice to theory, from theory to practice'. Tidak bisa juga batin saya kalau cuma asal atau 'waton ngomong'," kata perempuan yang juga fasih berbahasa Jawa itu.

Adapun maksud "from practice to theory, from theory to practice" adalah dari praktik ke teori, dari teori ke praktik.

Sebagai Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Rita mengaku tidak jauh dari orang yang memiliki persoalan karena pada umumnya mereka yang datang ke KPAI itu bermasalah.

Tantangannya, kata dia, setiap dari mereka memiliki keinginan menyelesaikan persoalan dengan caranya. Mereka memiliki perspektif egonya dalam proses menyelesaikan persoalan dan merasa paling benar. Di situlah, pentingnya untuk menempatkan diri sebagai pihak yang netral.

Sebagai komisioner yang mengurusi beragam persoalan anak, dia terkadang dapat terbawa pada kesedihan kasus yang melanda pelapor.

"Bayangkan sampai harus tahu kekerasan seksual yang sangat mengerikan di mana mungkin orang tidak bisa membayangkan. Terkadang juga terbawa kesedihan dari kasus," katanya.
 
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati di sela wawancara dengan ANTARA di kantor KPAI, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Komisioner Bidang Pengasuhan KPAI yang juga tokoh organisasi sayap Muhammadiyah urusan perempuan, Aisyiyah, tersebut mengatakan peraturan hak pengasuhan anak belum maksimal dan perlu pembenahan secara segera, terutama soal perebutan hak asuh anak pasangan bercerai. ANTARA/Anom Prihantoro

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019