Kalau yang mengaku-aku itu disebut warokan. Warokan juga yang membuat warok mendapat stigma negatif karena memiliki 'gemblak'
Jakarta (ANTARA) - Figur warok tidak bisa dilepaskan dari reog dan masyarakat Ponorogo, meskipun secara historis hubungan antara reog dan tradisi warok masih sulit ditelusuri.

Warok sebagai suatu kesenian muncul dalam pertunjukan reog sebagai tari warok. Penari warok biasanya digambarkan dengan riasan muka berwarna merah, berjenggot tebal, berpakaian serba hitam yang disebut "penadon" dengan ikat pinggang tali berwarna putih yang disebut "kolor" atau "usus-usus".

Peneliti reog, Rido Kurnianto, mengatakan warok adalah tokoh kanuragan sebelum era Islam yang merupakan figur rakyat tetapi memiliki kesaktian dan kewibawaan tinggi untuk mengatur masyarakat.

"Dalam pertunjukan reog garapan, tari warok menggambarkan olah kanuragan," katanya.

Tradisi warok adalah tradisi kehidupan dengan latar belakang ideologi kanuragan yang harus dilakoni. Salah satu yang harus dijalani adalah tidak berhubungan dengan perempuan, termasuk istrinya.

Dalam bukunya "Seni Reyog Ponorogo", mengutip makalah Ki Kasni Gunopati yang tidak dipublikasikan, Rido mengatakan "laku" para warok tersebut berkaitan erat dengan kisah Prabu Kelonosewandono dari Bantarangin.

Selama memerintah, Sang Prabu tidak didampingi seorang istri atau permaisuri. Hal itu karena pantangan yang dipesankan oleh Sunan Lawu, gurunya, untuk menjauhi perempuan agar ilmu kesaktian tetap terjaga.

Untuk mencegah kesenangan terhadap perempuan, Sang Prabu memelihara pemuda-pemuda belia berparas tampan untuk mendampingi dan menghiburnya.

Meski begitu, Sang Prabu akhirnya tetap berhasrat untuk meminang Dewi Songgolangit dari Kediri yang salah satu persyaratannya adalah rombongan Bantarangin harus melalui jalan bawah tanah.
 
Salah satu penari Kelonosewandono dari kelompok reog Ki Onggo Pati, Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, saat Gelar Reyog Desa Plunturan di Ponorogo, Minggu (25/8/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)


Dengan menggunakan cemeti bernama Pecut Samandiman pemberian Sunan Lawu, Prabu Kelonosewandono kemudian membuat jalan bawah tanah tersebut, yang berarti melanggar pesan Sang Guru bahwa cemeti tersebut hanya boleh digunakan dalam keadaan terdesak.

Suara Pecut Samandiman yang menggelegar didengar oleh Sunan Lawu yang kemudian mendatangi Prabu Kelonosewandono. Kepada Sang Murid, Sunan Lawu memberikan dua pilihan, tetap meminang Dewi Songgolangit tetapi tidak menjadi raja atau tetap menjadi raja tetapi dicintai oleh rakyatnya.

"Prabu Kelonosewandono kemudian memilih tetap menjadi raja," ujar Rido.

"Laku" Prabu Kelonosewandono yang tidak menyentuh perempuan dan memelihara pemuda-pemuda belia untuk menghibur itu kemudian diikuti para warok sehingga memunculkan tradisi "gemblak".

Menurut Rido, tugas seorang "gemblak" membantu mempersiapkan kebutuhan seorang warok, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalani "laku" untuk kanuragan.

Tradisi itulah yang kemudian menimbulkan stigma negatif akibat perilaku oknum warok terhadap "gemblak"-nya, seolah-olah warok memiliki penyimpangan seksual.

"Padahal, dalam praktiknya, 'gemblak' juga menjadi murid warok yang pada akhirnya menjadi media kaderisasi," kata Rido.

Apakah warok masih relevan saat ini? Rido mengatakan pada era modern saat ini warok bisa diartikan sebagai orang-orang Ponorogo yang dihormati oleh masyarakat.

Karena itu, seorang kepala desa, lurah, camat, bupati, dan tokoh masyarakat bisa dianggap sebagai warok Ponorogo saat ini.

Hal yang sama disampaikan Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Ponorogo Arim Kamandoko.

Menurut dia, warok adalah seseorang yang dihormati dan tanpa cela.

"Setiap laki-laki Ponorogo itu adalah warok, tetapi dengan derajat yang berbeda-beda," tuturnya.
Salah satu tokoh warok; yang menjadi sesepuh di Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo; Bikan Gondowiyono saat ditemui di rumahnya di Ponorogo, Senin (26/8/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)


                                                                          Diakui masyarakat
Salah satu tokoh warok; yang menjadi sesepuh di Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Bikan Gondowiyono, mengatakan warok adalah orang Ponorogo yang sudah menyelesaikan pendidikan kanuragan dari seorang warok sepuh dan kesaktiannya diakui masyarakat.

"Kesaktian seorang warok itu tidak diperlihatkan karena itu adalah kemampuan pribadi. Warok itu adalah seseorang yang lahir dan batinnya seimbang," kata Mbah Bikan, panggilan akrabnya.

Seorang calon warok biasanya berguru berbagai macam ilmu dari seorang warok sepuh, mulai dari pembinaan mental, ilmu kanuragan, hingga cara-cara bermasyarakat.

Seseorang yang menguasai ilmu warok biasanya dipandang oleh masyarakatnya. Tanpa bermaksud pamer, kesaktian seorang warok harus bisa dibuktikan untuk mendapat pengakuan dari masyarakat.

Karena itu, seorang warok seharusnya rendah hati dan berkata dengan cara yang baik. Warok yang sebenarnya tidak akan mengaku-aku sebagai warok.

"Kalau yang mengaku-aku itu disebut warokan. Warokan juga yang membuat warok mendapat stigma negatif karena memiliki 'gemblak'," tuturnya.

"Gemblak", menurut Mbah Bikan, seseorang yang baru berguru pada seorang warok. "Gemblak" dianggap sebagai anak asuh, bahkan pada era yang lebih modern juga disekolahkan.

Mbah Bikan mengaku mulai mempelajari ilmu warok dari kakeknya yang bernama Mbah Irodrono.

Secara tersirat, dia mengatakan mulai mendapat pengakuan sebagai warok ketika menjabat sebagai Kepala Desa Plunturan sejak 1968 hingga digantikan anaknya pada 2007.

Apakah keberadaan warok saat ini masih relevan? Menurut Mbah Bikan, warok masih relevan untuk menjaga desanya masing-masing.

Bahkan, pada masa Orde Baru, para warok se-Ponorogo dikumpulkan dalam satu wadah dan diberi tugas menjaga keamanan di Kabupaten Ponorogo.

Tentang hubungan warok dengan reog, Mbah Bikan mengatakan tidak bisa dipisahkan karena yang membuat reog itu adalah para warok.
Salah satu penari Warok dari salah satu kelompok reog peserta Festival Reyog Mini di Alun-Alun Ponorogo, Minggu (25/8/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)


"Warok lebih tua daripada reog. Karena warok memiliki keistimewaan dan dihormati masyarakat, mereka membuat perkumpulan reog. Dalam pertunjukan reog, warok menjaga dari pengaruh roh-roh jahat," katanya.

Karena itu, warok dan reog tidak akan bisa dilepaskan dari karakter dan kepribadian masyarakat Ponorogo. Menyebut Ponorogo, ingatan seseorang pasti akan mengarah pada reog dan warok. Begitu pula sebaliknya.

Sebagai upaya mengembangkan dan membumikan reog, Pemerintah Kabupaten Ponorogo setiap tahun mengadakan Festival Reyog Mini dan Festival Nasional Reyog Ponorogo.

Festival Reyog Mini diikuti peserta dari siswa-siswi SMP yang mewakili sekolah, kecamatan, maupun sanggar yang ada di Kabupaten Ponorogo, sedangkan Festival Nasional Reyog Ponorogo diikuti grup reog dari berbagai kalangan yang tidak hanya ada di Kabupaten Ponorogo.

Pada 2019, penyelenggaraan Festival Reyog Mini merupakan gelaran ke-17, sedang Festival Nasional Reyog Ponorogo merupakan gelaran ke-26.

Penyelenggaraan pada 2019 juga didukung oleh Platform Indonesiana dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang merupakan bagian dari Festival Budaya Bumi Reyog 2019 dan rangkaian Hari Jadi Ke-523 Kabupaten Ponorogo serta Perayaan Grebeg Suro. 

Baca juga: Reog Ponorogo (1) - Upaya membumikan lewat Festival Reyog
Baca juga: Reog Ponorogo (2) - Antara legenda, sejarah dan budaya

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019