Bogor (ANTARA) - Pengamat Sosial dan Budaya dari Universitas Pakuan Bogor, Jawa Barat, Agnes Setyowati, Senin, memberikan dua catatan penting atas keputusan Presiden Jokowi terkait pemindahan ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur (Kaltim).

Dua catatan dari Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan itu antara lain mengenai aspek lingkungan dan sosial budaya yang akan terkena dampak dari pemindahan ibu kota.

"Dari aspek lingkungan hidup, pemerintah harus memikirkan regulasi tentang pelestarian lingkungan supaya tidak terjadi deforestrasi (penebangan hutan) secara besar-besaran demi membangun ibu kota baru," ujarnya.

Baca juga: Pengamat sebut Kaltim mudahkan pengendalian sistem pertahanan negara

Menurutnya, hal itu sangatlah penting mengingat Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki hutan sangat luas dan hijau. Hutan tersebut merupakan habitat tumbuhan dan hewan liar, salah satunya hewan khas Indonesia yaitu orangutan.

"Pemerintah wajib mempertimbangkan hal ini mengingat dalam skala global dunia sedang mengalami permasalahan lingkungan, salah satunya seperti global warming," kata Agnes.

Di sisi lain, pemindahan ibu kota baru menurutnya identik dengan pembangunan fisik yang diikuti dengan pertumbuhan di berbagai sektor, terutama di sektor ekonomi. Jika bercermin pada masyarakat dunia, pusat kota selalu menjadi tujuan banyak orang untuk meningkatkan kualitas hidup dan perekonomian mereka.

"Oleh karena itu, sama halnya seperti Jakarta, tentu saja masyarakat dari berbagai wilayah Indonesia akan berdatangan ke Kalimantan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka sehingga masyarakat lokal harus siap ‘berkompetisi’ secara positif dengan masyarakat dari wilayah lain," tuturnya.

Ia berpesan agar pemerintah memperhatikan masalah kependudukan dan sosial, sehingga dapat menekan kesenjangan sosial.

Selain itu, masuknya penduduk dari luar Kalimantan juga akan membuat ibu kota baru Indonesia ini menjadi pusat budaya baru dengan masyarakatnya yang multikultural. Ia menganggap, hal itu tentu akan memunculkan fenomena sosial budaya yang khas karena berbagai budaya dari luar ibu kota akan masuk dan melebur dengan budaya setempat.

"Masyarakat lokal harus siap bernegosiasi dengan derasnya arus budaya yang masuk dari berbagai daerah," sebutnya.

Agnes juga meminta pemerintah menguatkan wacana Indonesia-sentris yang kaya terhadap keberagaman. Dengan kata lain, pemerintah harus menguatkan wacana keindonesiaan untuk meredam konflik budaya yang mungkin saja dapat terjadi di ibu kota baru ini.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi resmi mengumumkan pada Senin (26/8/2019), bahwa ibu kota negara akan pindah ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim. Wacana pemindahan ibu kota yang sebenarnya sudah berlangsung sejak era pemerintahan Soekarno ini akhirnya terealisasi di era pemerintahan Joko Widodo.

Menurut Agnes, pemindahan ibu kota ini merupakan hal yang sah-sah saja. Pasalnya, pemindahan ibu kota secara umum memang sudah harus dilakukan mengingat Jakarta sudah menjadi wilayah multifungsi sebagai pusat pendidikan, pusat budaya, pusat ekonomi, bisnis, jasa dan lain-lain. Oleh karena itu, Jakarta telah memiliki berbagai macam permasalahan seperti kepadatan penduduk, kemacetan, permasalahan lingkungan, kriminalitas dan lain sebagainya.

"Oleh karena itu, ibu kota negara memang sudah saatnya harus berpindah lokasi terlebih lagi apabila memang sudah didukung dengan kajian-kajian akademik dari berbagai aspek dan pendanaan yang dipikirkan secara matang," kata Agnes.

Di sisi lain, menurutnya secara gografis Kalimantan Timur ini memang terletak persis di tengah-tengah Indonesia sehingga hal ini diharapkan dapat menyatukan serta mempererat budaya Timur dan Barat di Indonesia itu sendiri.

Baca juga: Karding: Pemindahan ibu kota berikan keuntungan kemajuan Indonesia
Baca juga: Pengamat: Pemindahan ibu kota ke Kaltim secara geopolitik sudah tepat
Baca juga: Insan Olahraga Kaltim sambut baik pemindahan Ibu Kota Negara

Pewarta: M Fikri Setiawan
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019