Waktu itu saya ditunjuk jadi pimpinan proyeknya, memimpin peneliti lelaki
Jakarta (ANTARA) - Sebagai seorang perempuan dan sekaligus ibu, Dr Sastia Prama Putri sempat mengalami dilema dalam menjalani peran gandanya sebagai istri, ibu dan juga peneliti.

"Di dunia kerja, kita dituntut untuk selalu profesional seakan-akan kita tidak punya keluarga. Apalagi saya sebagai peneliti penuh waktu. Padahal kalau anak sakit pasti kepikiran, tapi pekerjaan juga tidak bisa ditinggal. Ini merupakan tantangan terbesar saya," ujar perempuan yang akrab disapa Sastia itu di sela-sela Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Beruntung, ia memiliki sistem dukungan yang amat baik, hingga ia mampu menjalani semua perannya dengan baik dan bahkan meraih sejumlah penghargaan internasional. Pada masa itu, ibunya hampir setiap bulan terbang Jakarta-Osaka untuk membantunya mengasuh buah hatinya. Dari mulai ia melahirkan hingga saat ini anaknya berusia sembilan tahun.

Sekelumit kisah itu diungkapkan Sastia, yang menjabat sebagai dosen luar biasa di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB), namun kesehariannya menetap di Jepang sebagai Assistant Professor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University, Jepang.

Ia merupakan salah satu diaspora Indonesia yang berkarir di Jepang. Saat ini, Sastia memimpin grup aplikasi metabolomik untuk bioteknologi mikroba khususnya untuk produksi biofuel dan produk pangan khas Indonesia. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai specially appointed assistant professor di Center for the Advancement of Research and Education exchange Network, Osaka University.

Sastia bekerja di bawah bimbingan ahli metabolomik ilmu pangan dunia, Prof Eiichiro Fukusaki. Fokus penelitian Sastia adalah pada peningkatan kualitas produk pangan dan pertanian Indonesia dan pengembangan sumber energi terbarukan dengan menggunakan mikroba dengan pendekatan ilmu metabolomik.

Metabolomik merupakan proses penentuan metabolit-metabolit dengan karakter tertentu terkait dengan penyakit, respon pengobatan, dan sebagainya.

Ia merupakan perempuan asing pertama yang meraih penghargaan dari Osaka University. Penghargaan itu diraihnya atas perannya dalam pendidikan yakni mempersiapkan program double degree tingkat magister ITB dan Osaka University.

Sejumlah penghargaan juga diraihnya mulai dari L’Oreal for Women in Science 2015 untuk risetnya tentang aplikasi metabolomik untuk kopi Indonesia dan Osaka University Award 2018 untuk kategori dosen berprestasi yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam hal merintis berbagai kerja sama akademik maupun riset dengan institusi luar negeri terutama di Indonesia.

Baca juga: Menristek siap wujudkan SDM unggul


Peneliti Perempuan

Menjadi peneliti perempuan, kata Sastia, tidaklah mudah. Terutama dalam menyeimbangkan kehidupan keluarga dan pekerjaan agar anak tidak selalu merasa ditinggal atau kekurangan kasih sayang.

Di Jepang sendiri, kata dia, tidak banyak peneliti perempuan. Sekalinya ada, mereka mengapresiasi tapi bukan berarti diistimewakan.

"Kita juga harus berkualitas. Mungkin kalau peneliti lelaki punya prestasi, maka kita harus dua kali lipat prestasinya untuk dianggap," kata perempuan yang dilahirkan di Tangerang pada 1982 itu.

Saat peneliti perempuan itu punya prestasi dan terlihat maka akan didukung oleh peneliti di kampus itu. Akan tetapi kalau biasa-biasa saja, maka akan tidak terlihat dan tertinggal.

"Pilihannya harus benar-benar total atau tak dianggap. Jadi tantangannya, peneliti perempuan harus kerja lebih keras karena bagaimanapun standar ganda itu benar-benar ada," tambah dia.

Menurut dia, bagi kaum lelaki mungkin lebih leluasa bekerja hingga malam hari. Hal itu dikarenakan di Jepang masih kental anggapan, bahwa peran mengurus anak itu dipegang perempuan.

Di Jepang, kata dia, keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang masih rendah dibandingkan di Indonesia. Hal itu dikarenakan dukungan dari lingkungan keluarga kurang, karena masyarakatnya lebih individualistis.

Menjadi peneliti sebenarnya bukanlah cita-citanya sejak kecil. Cita-cita awalnya adalah ingin bekerja di bank. Semua berawal pada 2004 saat mengikuti program fellowship di Osaka University selama satu tahun dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Saat itu, ia baru lulus dari program studi biologi dari ITB.

Dari situ, ia menjadi menyenangi riset dan ditawari lanjut di program magister dan doktoral oleh profesor pembimbingnya di kampus itu.

Setelah menyelesaikan program doktor di bidang bioteknologi pada 2010, ia tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Dia mengatakan susah mencari pekerjaan di posisi dosen di negara itu. Apalagi saat itu, ia baru saja melahirkan.

"Kebetulan mentor saya baik. Mengerti saya butuh kerjaan. Awalnya seperti menampung sebenarnya, karena saat saya tanya apa kerjaan saya, dia bilang urus anak saja. Saya terharu, baik sekali profesor ini dan saya tidak mau mengecewakan dia, saya lakukan riset dan menulis jurnal."

Sampai satu tahun kemudian, mentornya melihat kesungguhannya dan menawarkan posisi peneliti penuh waktu dan membantu bekerja sama dengan Amerika Serikat. Ia mengambil kesempatan itu, meski dengan konsekuensi anaknya lebih banyak diurus ibunya.

"Waktu itu saya ditunjuk jadi pimpinan proyeknya, memimpin peneliti lelaki. Awalnya tidak dianggap, tapi karena kinerja bagus, jadi dihargai," kenang dia bangga.

Kini, dia berharap dengan pengalaman, jejaring, dan prestasi yang diraihnya, ia bisa memberikan sumbangsih pada peningkatan sumber daya manusia (SDM) di Tanah Air melalui SCKD. Ia sudah mengikuti SCKD sejak tiga tahun terakhir, sejumlah kerja sama sudah dilakukan.

"Kami berharap kegiatan ini rutin dan terus berlanjut. SCKD benar-benar menjadi tempat kembali bagi kami untuk berkontribusi pada Tanah Air," harap dia.*

Baca juga: Ito, pakar nanoteknologi yang berjaya di Jerman

 

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019