Melalui proses yang panjang dengan mencoba meyakinkan petani bahwa lahan rawa pasang surut mampu ditanami padi setahun dua kali (IP 200) dalam satu tahun, tentunya membutuhkan sebuah kesabaran dan keuletan dari para petani sendiri.
Kapuas (ANTARA) - Wajah Sudarmanto nampak semringah ketika menjelaskan keberhasilannya bersama Kelompok Tani Sidomakmur 2 menikmati hasil panen padi unggul sebanyak dua kali dalam satu tahun.

Selaku Ketua Kelompok Tani Sidomakmur 2, dia menyampaikan terima kasih atas bimbingan dan bantuan dari Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang berkantor pusat di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

“Dahulu biasanya setahun hanya sekali saja bisa panen, sekarang sudah bisa menikmati hasil dua kali panen dalam satu tahun. Kami sangat bahagia dan bersyukur," ucap dia, saat panen raya di lahan pertanian di Desa Sidomulyo, Kecamatan Tamban Catur, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, itu.

Hal senada juga disampaikan oleh petani lainnya, Toha. Dalam beberapa tahun ini Toha mencoba bertanam padi varietas lokal, namun dengan sentuhan teknologi tanam unggul.

Siam karangdukuh adalah varietas lokal yang ditanamnya. Dengan cara seperti menyemai benih unggul, namun saat umur 12 hari dicabut dan tanam dipindahkan.

Jadwal tanam pindah disesuaikan dengan jadwal tanam varietas lokal yang menggunakan metode tanam konvensional, dimana hasil lacakan mulai dipindahkan.

Waktu panen bersamaan antara konvensional dan teknologi tanam unggul. Namun dalam hal ini varietas lokal yang ditanam menggunakan teknologi tanam unggul lebih menghemat waktu tanam sekitar 1-2 bulan. Hasil yang diperoleh 4,6 ton/Ha GKP dan bisa dilaksanakan dua kali dalam satu tahun.
Kepala Balittra Ir Hendri Sosiawan CESA saat berada di lahan pertanian di Desa Sidomulyo yang jadi binaan Balittra. (antara/foto/firman)


Desa Sidomulyo dan juga Desa Sidorejo di Kecamatan Tamban Catur merupakan desa yang menjadi binaan Balittra sejak tiga tahun terakhir. Diakui oleh Kepala Balittra Ir Hendri Sosiawan CESA, bukanlah hal yang mudah untuk membuat petani mau dan mampu untuk bertanam padi unggul.

"Melalui proses yang panjang dengan mencoba meyakinkan petani bahwa lahan rawa pasang surut mampu ditanami padi setahun dua kali (IP 200) dalam satu tahun, tentunya membutuhkan sebuah kesabaran dan keuletan dari para petani sendiri," tutur dia, saat ikut turut menghadiri panen.

Dalam kegiatan panen yang dirangkai sosialisasi teknologi panca kelola untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut itu, Hendri menyampaikan bahwa pihaknya tidak bisa semena-mena mengharuskan petani untuk bertanam varietas padi unggul semuanya.

"Ada juga petani yang tetap menanam padi lokal, namun diintroduksi menggunakan teknologi tanam unggul dengan harapan produktivitasnya akan jauh lebih meningkat," ucap dia.

Hendri mengingatkan bahwa kunci utama dari keberhasilan pertanaman di lahan rawa adalah pengelolaan air. Namun selain itu masih ada pengolahan lahan, pemilihan varietas unggul, kebutuhan pupuk dan bahan pembenah tanah, serta penanggulangan hama penyakit tanaman.

"Jayalah terus rawa dan mari kita sukseskan Program Selamatkan Rawa Sejahterakan petani (Serasi) dengan mengedukasi petani agar hasil tanamnya maksimal bisa panen dua kali dalam satu tahun," ucap dia, menjelaskan.
Kepala Balittra Ir Hendri Sosiawan CESA saat sosialisasi teknologi panca kelola. (antara/foto/firman)


Padi varietas unggul dari Balain dan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP/Balitbangtan) “Argo Pawon” yang diperkenalkan oleh Balittra ke petani setempat memiliki tampilan yang lumayan bagus dengan hasil panennya bisa mencapai 6,1 ton per hektare  gabah kering panen atau GKP.

Di sisi lain, Dr Susilawati, Seorang peneliti BPTP Kalimantan Tengah, dalam dialog bersama petani yang diprakarsai Balittra tersebut memaparkan mengenai pentingnya mengenali lingkungan pertanaman, gejala kerusakan dan berbagai faktor lainnya, baik yang disebabkan oleh faktor biotik maupun oleh abiotik.

Menurut dia, varietas padi lokal berbeda karakter, tidak semua varietas lokal bisa ditanam dengan teknologi unggul karena ada beberapa varietas lokal yang akarnya baru tumbuh saat usia tanam lebih dari dua bulan, sehingga patut dicermati kembali pemilihan varietas lokal yang ditanam dengan menggunakan teknologi unggul agar lebih efisien.

Sementara itu, ahli peneliti utama pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Dr. Ir. Mukhlis, M.S.menemukan inovasi dan teknologi pupuk hayati yang diberi nama "Biotara".

Mukhlis di Banjarbaru, Rabu (10/7) mengatakan bahwa pupuk ini mengandung mikroba dekomposer Trichoderma Sp khas rawa, bahkan pupuk dari bahan alami ini terbukti meningkatkan hasil padi di lahan rawa sampai 20 persen, serta dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen dan posfor sampai 30 persen.

Menurut Mukhlis, strategi yang penting di lahan rawa ialah memberi bahan organik sebagai pembenah tanah.

Bahan organik menjadi penyangga biologi yang berperan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang.

Agar tujuan itu tercapai, bahan organik yang diberikan harus sudah terdekomposisi atau memiliki C/N rasio rendah.

"Bahan organik segar yang langsung diberikan ke dalam tanah dapat merugikan pertumbuhan tanaman karena terjadi proses immobilisasi nitrogen dan terlepasnya senyawa beracun yang mengganggu tanaman," katanya.

Mukhlis mengatakan bahwa petani di lahan rawa umumnya menggunakan jerami atau sisa tanaman gulma sebagai bahan organik. Namun, sayangnya bahan tersebut mengandung selulosa yang tinggi dengan C/N ratio yang tinggi.

Oleh karena itu, mereka membutuhkan proses dekomposisi yang lama. Selama ini, petani menggunakan jerami sebagai pupuk organik dengan dua cara. Pertama, secara langsung, yaitu saat panen jerami langsung disebar ke petakan sawah, lalu air dimasukkan hingga tergenang. Jerami mengalami dekomposisi di lahan.

Kedua, cara tak langsung. Jerami dikomposkan dulu lalu disebar ke lahan. Pemanfaatan langsung sangat menguntungkan untuk menghemat biaya dan tenaga kerja, tapi jerami baru terdekomposisi lebih satu bulan.

"Di sinilah Biotara berperan. Setelah jerami disebar ke petakan, Biotara disebar sehingga perombakan lebih cepat. Biotara juga tetap efektif di lahan rawa yang masam dan tergenang karena diseleksi dari mikroba unggul di lahan rawa," papar alumnus S-3 Bidang Keahlian Mikrobiologi Tanah di Universiti Putra Malaysia ini.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019