Jakarta (ANTARA) - Pameran dokumentasi "Art & Diplomacy" yang digelar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Foto Jurnalistik Antara dan Perpustakaan Nasional, untuk merayakan HUT ke-74 RI menceritakan dan menggambarkan perjuangan Indonesia di jalan diplomasi.

Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Triana Wulandari ditemui usai pembukaan pameran "Art & Diplomacy" menagatakan era 1945-1949 merupakan masa krusial bagi Indonesia.

"Indonesia berupaya mengumpulkan pengakuan dari negara-negara lain, sementara Belanda datang kembali dengan membawa NICA untuk kembali menduduki Indonesia. Di masa-masa itu ada Agresi I dan Agresi II," kata Triana di Jakarta, Kamis.

Puncaknya, kata dia, terjadi pada 27 Desember 1949 ketika Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag, Negeri Belanda, menjadi tonggak penyerahan kedaulatan kepada Indonesia.

Triana mengatakan perjuangan fisik dan diplomasi tersebut terekam melalui berbagai karya seniman masa revolusi dalam berbagai bentuk, seperti sketsa , lukisan, foto dan lainnya yang menjadi saksi bisu atas peristiwa-peristiwa tersebut.

Meski penyerahan terjadi pada 1949, rentetan cerita yang dipamerkan pada "Art and Diplomacy" tersebut berhenti pada 17 Agustus 1950.

Kurator pameran "Art and Diplomacy" sekaligus Kepala Divisi Galeri Foto Jurnalistik Antara Oscar Motuloh mengatakan pada 17 Agustus 1950 adalah perayaan kemerdekaan pertama yang digelar di Istana Merdeka, Jakarta.

"Sejak 1946 kan ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta karena Belanda masuk lagi ke Indonesia, maka perayaan 17 Agustus selalu diadakan di Yogyakarta," katanya.

Oscar mengatakan melalui pameran tersebut, dapat digambarkan bahwa perjuangan Indonesia tidak hanya dilakukan dengan angkat senjata, tetapi juga dengan jalan diplomasi dan seni.

Sukarno, kata dia, adalah salah satu pemimpin yang dekat dengan seni, sehingga tak heran jika Presiden pertama RI tersebut selalu memasukkan unsur-unsur seni dalam kegiatan yang telah dirancangnya.

Misalnya lukisan "Memanah" Henk Ngantung yang ada di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat saat Bapak Proklamator tersebut membacakan Prokalmasi pada 17 Agustus 1945.

"Seni terus menempel pada setiap peristiwa, dan itu juga seperti retorika psikologis dari seorang pemimpin negara bahwa negara saya adalah negara berbudaya," kata Oscar.

Saat Sukarno pindah ke Yogyakarta, kata Oscar, juga sangat dekat dengan seniman lokal, di mana para seniman juga memiliki gairah untuk memajukan seni rupa Indonesia untuk melawan Belanda.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019