Madina (ANTARA) - Tradisi sastra lisan khas Mandailing, Marturi, mulai digalakkan kembali lewat program sosialisasi yang digelar di enam titik di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 13 - 14 Oktober 2025.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program revitalisasi budaya yang digagas oleh Sanggar Samisara, bekerja sama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah II Medan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kebudayaan RI.
Sosialisasi yang berlangsung selama dua hari itu terbagi dalam enam gugus. Tiga di antaranya berlangsung pada Senin (13/10), yakni di SMP Negeri 1 Siabu (Gugus I), SMAN 2 Plus Panyabungan (Gugus II), dan SMAN 1 Tambangan (Gugus III). Sementara tiga gugus lainnya dilaksanakan pada Selasa (14/10), masing-masing di SMAN 1 Naga Juang (Gugus IV), SMAN 1 Panyabungan Selatan (Gugus V), dan SMPN 4 Kotanopan (Gugus VI).
Abdul Holik Nasution, S Pd, Ketua Sanggar Samisara menyebut, bahwa Marturi bukan sekadar tradisi lisan biasa, melainkan representasi nilai-nilai luhur masyarakat Mandailing yang patut diwariskan lintas generasi.
“Revitalisasi Marturi ini adalah bentuk ikhtiar untuk menyambung kembali tali warisan budaya yang nyaris putus. Kami ingin anak-anak muda Mandailing tidak hanya mengenal, tapi juga bangga dan mampu menuturkan Marturi sebagai bagian dari jati dirinya,” ujar Abdul Holik, Selasa (14/10).
Askolani Nasution ditunjuk sebagai ketua panitia pelaksana. Kegiatan hari pertama dibuka secara resmi oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Mandailing Natal, Ida Khairani, di SMAN 2 Plus Panyabungan. Turut hadir perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah XI Dinas Pendidikan Sumatera Utara, Syaknan Nur, M Pd.
Sosialisasi ini melibatkan guru muatan lokal dan seni budaya dari jenjang SD, SMP, SMA hingga SMK, serta perwakilan siswa dari enam gugus. Materi disampaikan langsung oleh tim Sanggar Samisara, dengan fokus pada revitalisasi Marturi sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Mandailing.
Upaya Menjadikan Marturi sebagai Muatan Lokal
Marturi selama ini dikenal sebagai bentuk sastra lisan yang memuat nasihat, hingga petuah moral yang dikemas dalam bentuk bertutur. Revitalisasi ini tidak hanya bertujuan menghidupkan kembali praktik budaya tersebut, tetapi juga menjadi langkah awal dalam penyusunan naskah akademik sebagai syarat pengusulan Marturi ke dalam daftar resmi WBTB Kementerian Kebudayaan RI.
“Marturi bukan sekadar tradisi, tapi juga bisa menjadi bagian penting dalam pendidikan karakter siswa melalui muatan lokal,” ujar Syaknan Nur dalam sambutannya. Ia juga menekankan pentingnya pelestarian budaya lokal di lingkungan sekolah, terutama di jenjang SMA/SMK.
Ida Khairani, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Mandailing Natal, menyampaikan dukungan penuh terhadap kegiatan ini. Ia mengungkapkan bahwa Marturi pernah dilombakan pada 2023 dan mengisyaratkan adanya rencana Festival Marturi pada tahun 2026 mendatang.
Hanya Tiga Budaya Mandailing yang Diakui sebagai WBTB
Hingga kini, Kabupaten Mandailing Natal baru memiliki tiga budaya yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh pemerintah pusat, yaitu Gordang Sambilan (yang kini tengah diajukan ke UNESCO), Itak Poul-poul, dan Toge Panyabungan. Jumlah ini dinilai masih minim jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Indonesia yang telah memiliki belasan hingga puluhan WBTB.
Penunjukan Sanggar Samisara sebagai mitra resmi BPK Wilayah II Medan menjadi momentum penting dalam pelestarian budaya Mandailing. Tradisi Marturi yang hampir punah diharapkan bisa kembali menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat serta diintegrasikan ke dalam kurikulum seni budaya di sekolah-sekolah.
