Tapanuli Selatan (ANTARA) - Pemerhati sosial asal Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Faisal Reza Pardede, meminta agar persoalan agraria antara masyarakat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah tersebut segera diselesaikan secara tuntas agar tidak berlarut-larut dan merugikan banyak pihak.
“Konflik ini sudah berlangsung lama. Perlu langkah konkret dan kolaboratif agar tidak terus-menerus menimbulkan ketegangan,” ujar Faisal yang menghubungi Antara, dari Sipirok, Rabu.
Menurut dia, berbagai upaya penyelesaian telah dilakukan dalam beberapa kesempatan, namun hasilnya belum optimal. Oleh karena itu, ia mendorong keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, kepolisian, lembaga terkait, masyarakat, serta kementerian terkait.
Faisal menilai pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dapat menjadi salah satu opsi ideal untuk menangani permasalahan ini secara menyeluruh. “Saya memang belum sepenuhnya memahami dasar hukum pembentukan GTRA, namun secara substansi langkah ini relevan dalam penyelesaian konflik batas lahan dan kepemilikan antara masyarakat dan perusahaan,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya keadilan dalam pengelolaan lahan oleh PT TPL, terutama karena banyak desa di wilayah tersebut telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. “Dulu masyarakat sepakat melakukan reboisasi sebagai bentuk kontribusi terhadap negara. Bahkan pada 1953 sudah ada ada perjanjian antara Dewan Negeri Baringin, Dewan Negeri Batunadua, dan Jawatan Kehutanan,” ujarnya.
Penanaman pohon pinus secara masif dimulai sejak 1968, melibatkan masyarakat setempat. Namun, Faisal menyesalkan banyak warga yang ikut menanam di lahan pribadi di luar area yang direncanakan untuk reboisasi.
Ia juga menyinggung keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) yang didapat PT Inti Indorayon Utama—kini PT TPL—pada 1990 dengan syarat penataan batas lahan masyarakat, termasuk kebun, ladang, pemukiman, dan sawah. Namun hingga kini, menurutnya, masyarakat belum mendapat informasi yang jelas mengenai batas konsesi perusahaan.
“Saya tidak bermaksud menggurui, hanya menyampaikan keprihatinan. Situasi ini berdampak pada iklim usaha. Beberapa pelaku usaha memilih mundur karena ketidakjelasan status lahan,” ujarnya.
Meski demikian, Faisal tetap optimistis pemerintah daerah dapat mengambil peran lebih besar dalam menyelesaikan konflik ini. Ia berharap Bupati Tapanuli Selatan dapat menata kembali peruntukan lahan secara adil dan transparan.
“Contohnya, rekan saya batal membeli lahan untuk budidaya pohon aren karena lokasi tersebut berdekatan dengan lahan PT TPL yang disewa dari masyarakat. Ini menjadi tantangan nyata dalam dunia usaha di daerah,” katanya.