Padangsidimpuan- Dalam tatanan hidup sosial kemasyarakatan di setiap daerah memiliki kearifan lokal sendiri.
Kebijakan yang lahir dan tumbuh, pada dasarnya dari unsur tetua masyarakat itu dapat dijadikan perekat yang berkesinambungan.
Bahkan bukan hanya sekedar menjadi bagian budaya kepentingan sesama yang memiliki pertalian darah satu turunan.
Namun dapat mencakup aspek yang lebih luas. Misalnya dalam masalah pemerintahan, seperti dalam pemilihan kepala desa.
Dari suatu kelompok telah mempersiapkan pigur yang tepat untuk jadi pemimpin. Kelompok ini pula yang mempublikasikan tentang sosok pemimpin yang telah dipersiapkan dan layak memimpin desa.
Implementasi dari sendi-sendi Marpege-pege tersebut sebenarnya telah dilaksanakan Zulkarnain Nasution pada menjelang Pilkada Kota Padangsidimpuan sekitar sembilan tahun yang lalu.Kala itu beliau maju untuk menjadi Walikota Padangsidimpuan periode kedua.Hanya dengan mengemas kata dalam spanduk bertuliskan “Kedai Bang Zulâ€, dipajang di setiap sudut jalan Kota Padangsidimpuan, akhirnya beliau menjabat Walikota Padangsidimpuan dua periode.
Demikian pula halnya dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang telah baku di Kota Padangsidimpuan khususnya dan Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel) pada umumnya. Menjelang pelaksanaan Horja (pesta kawin) sudah menjadi kelaziman dilakukan Marpege-pege. Kalimat pege yang berarti jahe, rasanya pedas apabila diracik menjadi bumbu gulai. Pege memiliki citarasa tersendiri apabila dibuat minuman bandrek. Falsapah dari Marpege-pege ini agar sama-sama merasakan pedasanya dalam menanggulangi masalah, baik dalam suka atau duka.
Untuk wilayah kota Padangsidimpuan sekitarnya, masih sangat kuat jiwa toleransi saling berbagi.
Tujuannya untuk mengatasi suatu kebutuhan yang sifatnya berupa pinansial yakni menjelang suatu hajatan. Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk suatu maksud menyong-song dilaksanakan pesta perkawinan.
Antar kerabat terdiri dari unsur Dalihan Natolu (mora, kahanggi dan anak boru) berkumpul membicarakan kebutuhan biaya pada Horja (pesta kawin), pada hari yang sudah ditentukan itu.
Oleh pihak kahanggi setelah mendapat persetujuan dari yang punya hajat (suhut) me-ngungkapkan prihal kebutuhan biaya kepada tokoh adat.
Maka oleh tokoh adat mem-beritahukan kepada peserta sidang adat (marpokat) tentang kebutuhan biaya pada pesta kawin yang sudah ditentukan harinya . Sebab tamu undangan yang jauh dan dekat sudah dianggap tamu bersama, maka pihak kahanggi, anak boru dan mora berpikir agar pesta perkawinan yang sudah di depan mata berjalan dengan sukses.
Dari pertemuan Marpege-pege tersebut biaya terkumpul, tujuan utamanya adalah untuk saling berbagi meringankan beban pihak suhut dalam suatu acara . Beberapa aspek memang tercapai dalam forum silaturahmi tersebut, contoh antar satu kerabat dengan kerabat lainnya saling bertemu.
Bisa jadi, pada mulanya pertemuan Marpege-pege ini bertujuan menolong yang susah. Namun tradisi itu berkelanjutan, tidak lagi memandang tingkat sosial seseorang.
Baik orang kaya atau susah, yang jelas pertemuan Marpege-pege itu tetap hidup hingga sekarang dan sifatnya sudah bergulir dalam rotasi perjalan waktu.
Silaturahmi dalam kontek Marpege-pege, hingga kini masih berlangsung di Kota Padang-sidimpuan sekitarnya, baik di rumpun asal maupun yang berdomisili di perantauan. Kearifan lokal semacam ini, untuk seterusnya harus dipelihara dan dilestarikan.
Aspek sosial yang tumbuh dari Silaturahmi Marpege-pege ini apabila dikembangkan, bukan hanya memenuhi kebutuhan segelintir kerabat.
Namun dapat menjangkau aspek yang lebih luas, misalnya untuk kepentingan pertumbuhan daerah.
Hingga sekarang, Pemko Padangsidimpuan telah menetapkan tentang wadah generasi muda, Naposo-Nauli Bulung.Dengan harapan wadah ini sebagai pelanjut berbagai hal yang sudah mentradisi di kota ini.
Sebenarnya Marpege-pege, bukan hanya sekedar menggugah untuk menghimpun dana menyongsong pesta adat.Masalah kemalangan menjadi tanggungjawab yang paling utama memberi tausiah dan santunan buat keluarga yang ditimpa musibah sangat berarti.
Dinamika pertumbuhan kota Padangsidimpuan, boleh saja terus berkembang.Namun berbagai hal yang sudah mentradisi dan menjadi bagian budaya yang tidak terpisahkan dari sendi-sendi kehidupan masyarakat perlu terus dikawal para kawula muda.
Daerah Angkola dan kota Padangsidimpuan, sejak dulu telah dipertautkan oleh kultur adat dan budaya.Sendi-sendi agama sebagai perekat keseluruhan buat kelompok masyarakat yang melakukan urban baik dari Mandailing, Sipirok, Padang Bolak dan Padanglawas serta dari daerah Toba.
Ketika mereka berada di bawah satu atap kota Padangsidimpuan terus menjalin pertautan yang harmonis. Tidak jarang terjadi, ketika terlaksana perkawinan silang misalnya kelompok Mandailing yang tinggal di Padangsidimpuan mengambil istri gadis dari Sipirok dan sebaliknya, sudah jelas mempererat kekerabatan yang agak renggang selama ini.