Balige, Sumut, 10/2 (Antara) - Pedagang pakaian impor bekas di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara mengeluhkan adanya larangan pakaian bekas impor dari Kementerian Perdagangan dan berharap pihak pemerintah mempertimbangkannya kembali, karena peraturan dimaksud berdampak terhadap turunnya omset penjualan mereka.
"Kami merasa sangat keberatan, jika usaha dagang pakaian bekas yang telah kami tekuni sejak bertahun-tahun ini harus ditutup," kata Pinondang (43), seorang penjual pakaian bekas di pasar kota Balige, Selasa.
Menurutnya, kalau usaha penjualan pakaian bekas ini dihilangkan, pasti banyak pedagang yang menganggur, karena selama ini mereka hanya mengandalkan lapangan kerja yang sejak puluhan tahun telah mereka geluti.
Dikatakannya, larangan penjualan pakaian bekas itu, kemungkinannya merupakan upaya licik pemilik pabrik garmen yang merasa tersaingi oleh para pedagang bekas impor dengan harga barang yang jauh lebih murah,
Sehingga, kata dia, peraturan pemerintah tentang pelarangan itu, hanya untuk menekan lajunya perdagangan barang bekas yang saat ini semakin banyak peminatnya.
"Mungkin karena banyak pabrik garmen yang tersaingi maka larangan tersebut diisukan. Sebab, sejak puluhan tahun menekuni usaha ini, Saya belum pernah menerima keluhan dari konsumen," ujar Pinondang.
Seorang pedagang lain, Manurung (36 tahun) mengaku, dirinya juga merasa sangat berkeberatan atas larangan dari pemerintah tersebut, karena menurutnya barang yang mereka perdagangkan belum tentu berbahaya bagi kesehatan konsumen.
Dikatakannya, barang dagangan impor yang selama ini dibelinya dari daerah Tanjungbalai, Asahan selalu lebih dulu direndam dengan air panas dan pakaian-pakaian tersebut dicuci agar lebih bersih saat dijual kepada konsumen.
Oleh karena itu, lanjutnya, pihak pemerintah sangat perlu untuk mempertimbangkan kembali larangan dimaksud, sebab sangat berdampak bagi berlangsungnya perekonomian pedagang yang menggeluti usaha barang bekas tersebut.
"Pihak pemerintah semestinya jangan asal menerapkan larangan tanpa bukti dan alasan jelas. Sebab, belum tentu barang impor yang kami perdagangkan ini termasuk berbahaya," katanya.
Boru Panjaitan (38), seorang konsumen menyebutkan, dirinya senang berburu pakaian bekas yang di daerahnya sering disebut orang sebagai "burjer" atau singkatan dari buruk-buruk sisa orang Jerman, karena harganya jauh lebih murah dan bebas tawar menawar.
"Saya sangat senang membeli pakaian impor bekas, dan biasanya dicuci dulu dengan air panas sebelum dipakai, sehingga sampai saat ini belum pernah kena penyakit," katanya.
Larangan impor pakaian bekas, sudah diatur sejak 1982 melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 28 Tahun 1982 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor. Namun, penegakan hukum atas larangan ini dinilai masih lemah. ***3***
(KR-HIN)
(T.KR-HIN/B/Suparmono/Suparmono) 10-02-2015
Pedagang Tobasa Keluhkan Larangan Pakaian Impor Bekas
Selasa, 10 Februari 2015 17:34 WIB 2181