Perkembangan teknologi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk cara masyarakat bertransaksi. Jika dulu uang tunai mendominasi, kini transaksi semakin bergeser ke arah digital melalui mobile banking, e-wallet, dan kartu pembayaran.
Laju transformasi ini semakin cepat sejak pandemi Covid-19, ketika masyarakat diharuskan membatasi kontak fisik. Fenomena inilah yang mendorong banyak bank sentral di dunia merancang Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai mata uang resmi berbasis teknologi. CBDC diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan sistem pembayaran yang lebih cepat, aman, dan efisien di era digital.
Secara sederhana, CBDC adalah mata uang digital yang diterbitkan langsung oleh bank sentral. Bedanya dengan uang elektronik biasa, CBDC memiliki status sebagai alat pembayaran sah setara dengan uang kertas dan koin.
Hal ini membedakannya pula dari mata uang kripto, yang nilainya berfluktuasi dan tidak diatur oleh otoritas resmi. CBDC dirancang bukan hanya sebagai instrumen transaksi, tetapi juga sebagai instrumen kebijakan moneter.
Dengan mekanisme digital, bank sentral bisa lebih mudah mengendalikan jumlah uang beredar, memantau pergerakan ekonomi, dan merespons gejolak pasar dengan cepat. Namun, di Indonesia penerapan CBDC masih terhambat regulasi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 secara tegas menyatakan bahwa rupiah dalam bentuk fisik adalah satusatunya alat pembayaran sah. Sementara itu, aturan Bank Indonesia tentang uang elektronik hanya memperbolehkan bank atau badan usaha tertentu sebagai penerbit. Belum ada ketentuan khusus yang memberi ruang bagi bank sentral untuk mengeluarkan mata uang digital. Inilah yang membuat CBDC belum bisa diakui secara formal. Pemerintah pun masih menegaskan larangan terhadap mata uang virtual karena dinilai rawan digunakan untuk pencucian uang, pendanaan terorisme, hingga spekulasi nilai yang merugikan masyarakat. Meskipun demikian,
manfaat CBDC tidak bisa diabaikan.
Data Bank Indonesia mencatat nilai transaksi uang elektronik terus melonjak, dari Rp 47,2 triliun pada 2018 menjadi Rp 205 triliun pada 2020. Pada periode yang sama, inflasi justru turun signifikan ke angka 1,68 persen, terendah sepanjang sejarah. Angka ini memberi gambaran bahwa penggunaan instrumen pembayaran digital dapat membantu stabilitas harga sekaligus mendukung efisiensi ekonomi. CBDC juga akan mempermudah pelaku UMKM dalam menerima pembayaran tanpa harus bergantung pada uang tunai, menekan biaya operasional perbankan, serta mempercepat sirkulasi uang dalam perekonomian.
Jika dirujuk dari tren Global negara-negara lain sudah mulai untuk menerapkan CBDC. Menurut survei Bank for International Settlements (BIS) 2023, 94% bank sentral di dunia sedang melakukan riset atau uji coba CBDC dalam berbagai bentuk. Selain itu, laporan Atlantic Council mencatat bahwa 130 negara dan wilayah moneter yang mewakili 98% PDB dunia kini tengah menjajaki CBDC. Beberapa negara bahkan sudah meluncurkan CBDC, seperti Bahama (Sand Dollar) dan Nigeria (eNaira), sementara Tiongkok sedang dalam tahap uji coba skala besar dengan Digital Yuan. hal ini menjadi indikator kuat bahwa CBDC akan menjadi standar baru dalam sistem keuangan internasional.
Posisi Indonesia tidak bisa tertinggal jika ingin menjaga daya saing ekonomi di tengah arus digitalisasi global. Bagi Indonesia, tantangan terbesarnya ada pada kesiapan hukum, infrastruktur teknologi, dan literasi digital masyarakat. Tanpa regulasi yang jelas, CBDC berpotensi menimbulkan kebingungan, apalagi di tengah masih rendahnya pemahaman publik terhadap perbedaan uang elektronik, mata uang virtual, dan mata uang digital resmi. Selain itu, kesiapan infrastruktur juga perlu diperhatikan agar sistem pembayaran digital bisa menjangkau seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil yang selama ini belum memiliki akses layanan keuangan memadai. Literasi keuangan digital pun wajib ditingkatkan agar masyarakat dapat memanfaatkan CBDC dengan aman dan bertanggung jawab.
Di sisi lain, CBDC juga bisa menjadi instrumen penting bagi pemerintah dalam memperkuat tata kelola ekonomi. Dengan sistem digital, peredaran uang bisa dipantau lebih akurat, potensi transaksi ilegal dapat diminimalisasi, dan kebocoran dalam sistem perpajakan bisa ditekan. Keuntungan lainnya adalah efisiensi dalam distribusi bantuan sosial atau subsidi, yang dapat disalurkan langsung ke rekening digital masyarakat tanpa perantara. Dengan begitu, rupiah digital tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai sarana memperkuat transparansi dan akuntabilitas fiskal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Melihat berbagai peluang tersebut, pertanyaan yang muncul bukan lagi "perlukah Indonesia memiliki CBDC", melainkan "kapan dan bagaimana CBDC diterapkan dengan tepat". Persiapan yang matang diperlukan baik dari segi regulasi, infrastruktur, maupun kesiapan masyarakat. Jika semua unsur tersebut terpenuhi, rupiah digital akan menjadi tonggak penting transformasi keuangan Indonesia menuju sistem yang lebih modern, inklusif, dan berdaya saing global. Pada akhirnya, CBDC bukan sekadar simbol kemajuan teknologi, melainkan bagian dari upaya strategis menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia di era digital.
Bank Indonesia sendiri sudah mengumumkan inisiatif Proyek Garuda pada 2022, sebagai kerangka pengembangan Rupiah Digital. Roadmap yang dirilis BI mencakup tiga tahap: penerbitan wholesale CBDC untuk transaksi antarbank, perluasan ke sektor ritel, hingga integrasi lintas negara untuk memperkuat sistem pembayaran regional. Tahap awal masih dalam bentuk kajian dan uji coba terbatas, tetapi menandakan komitmen nyata bahwa Rupiah Digital bukan sekadar wacana.
Data penggunaan instrumen pembayaran digital juga menunjukkan kesiapan masyarakat. Bank Indonesia mencatat hingga Juni 2023, jumlah pengguna QRIS telah mencapai lebih dari 35 juta dengan total transaksi menembus Rp 18 triliun per bulan. Angka ini menegaskan bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan transaksi digital berbasis kode QR.
Tren ini sejalan dengan survei Katadata Insight Center tahun 2022 yang menemukan bahwa 70% pengguna bank digital berasal dari kelompok usia 18–34 tahun, sementara penggunaan di kalangan usia di atas 45 tahun masih relatif rendah. Artinya, generasi muda yang melek teknologi sudah siap menjadi motor utama adopsi Rupiah Digital, sedangkan kelompok usia lebih tua masih membutuhkan pendampingan dan literasi tambahan agar tidak tertinggal.
Fenomena dominasi generasi muda dalam penggunaan layanan keuangan digital ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, CBDC berpotensi cepat diterima karena basis pengguna utama sistem pembayaran digital sudah mapan.
Namun di sisi lain, pemerintah perlu
memastikan inklusivitas agar Rupiah Digital tidak hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan dan usia produktif, tetapi juga dapat diakses kelompok rentan seperti masyarakat pedesaan, lansia, dan pelaku UMKM tradisional.
Dengan melihat dinamika global dan kebutuhan domestik, penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC) di Indonesia bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan. Regulasi yang komprehensif menjadi syarat utama agar CBDC memiliki kepastian hukum dan mampu melindungi kepentingan masyarakat.
Pemerintah bersama Bank Indonesia harus segera menyelaraskan kebijakan dengan kerangka hukum yang ada, sekaligus memperkuat infrastruktur digital dan literasi keuangan.
Dengan demikian, Rupiah Digital dapat berfungsi tidak hanya sebagai instrumen pembayaran sah, tetapi juga sebagai instrumen strategis menjaga kedaulatan moneter, meningkatkan transparansi fiskal, dan memperkokoh daya saing ekonomi nasional di era digital global.
***) Penulis Vrede Manalu, Alvon Silalahi, Maria Silalahi, tiga orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Editor : Akung
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2025