Seorang bocah Bahrain mengirim surat kepada Lewis Hamilton dengan harapan sang juara dunia tujuh kali itu dapat menyelamatkan sang ayah dari vonis hukuman mati.

Dalam suratnya, Ahmed Ramadhan yang berusia 11 tahun, menggambar mobil balap Hamilton dengan tulisan “Lewis, tolong selamatkan ayah saya.”

“Saat saya menggambar mobil, saya berharap ini bisa menyelamatkan nyawa ayah saya,” kata kelompok aktivis yang berbasis di Inggris, Bahrain Institute for Rights and Democracy (BIRD) mengutip surat anak itu.

Baca juga: Negosiasi kontrak Lewis Hamilton tertunda gara-gara diagnosa COVID-19

Hamilton dalam konferensi pers pada Sabtu (12/12) jelang GP Abu Dhabi mengaku telah menerima surat tersebut.

“Saya pikir hal yang paling menyedihkan bagi saya adalah ada seorang pemuda yang menunggu hukuman mati dan itu tidak jelas...”

“Dan ketika putranya menulis surat tersebut kepada saya, hal itu benar-benar menyakitkan,” kata Hamilton dikutip AFP, Minggu.

“Saya rasa masih ada pekerjaan yang harus dilakukan dan saya tentu tak akan membiarkan hal ini.”

Hamilton mengatakan bahwa dia sangat berharap bisa berdialog dengan Putra Mahkota Pangeran Salman bin Hamad al-Khalifa untuk membicarakan masalah tersebut. Namun, pertemuan itu tak memungkinkan sehubungan dengan infeksi virus corona yang dialaminya.

“Saya berharap demikian... duduk dan membicarakan masalah tersebut dengan putra mahkota, tetapi saya terbaring sepanjang hari di tempat tidur,” ucap Hamilton.

Baca juga: Hamilton juarai GP Bahrain, Grosjean lolos dari maut

Bahrain menjadi salah satu negara yang mendapat sorotan tajam dari para aktivis HAM termasuk Amnesty Internasional karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warganya.

Pada Juli lalu, pengadilan tinggi Bahrain menetapkan putusan hukuman mati terhadap Mohammed Ramadhan dan Husain Moosa atas pengeboman yang membunuh seorang petugas kepolisian. Hukuman tersebut diduga ditetapkan berdasarkan pada pengakuan palsu yang diperoleh setelah keduanya mengalami penyiksaan.

Insiden pengeboman itu meledak di tengah serangkaian serangan polisi dan kekerasan lainnya yang terjadi sejak protes massal pada 2011 yang menuntut pemerintahan monarki konstitusional di Bahrain.
 

Kedua terdakwa adalah anggota kelompok Syiah Bahrain, yang untuk pertama kalinya pada 2014, dijatuhi hukuman oleh pemerintah kerajaan yang berlatar belakang kelompok Muslim Sunni.

Amnesty Internasional mengutuk putusan tersebut dan menggambarkan persidangan “sangat tidak adil.”

Kerajaan menolak tuduhan adanya pelanggaran HAM di negaranya dan menyangkal telah memberlakukan tindakan diskriminatif terhadap warganya dari kelompok Syiah.

 

Pewarta: Shofi Ayudiana

Editor : Akung


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020