Terorisme belum berakhir. Mereka masih terus bergerak menjalankan aksinya memanfaatkan kelengahan petugas keamanan yang sedang berjaga.
Sasarannya pun tetap sama, yaitu aparat keamanan yang mereka anggap sebagai manifestasi pemerintahan yang tagut.
Pada hari Rabu (13/11) pagi itu ketika para pencari kerja ramai-ramai mendatangi Polrestabes Medan, Sumatera Utara, untuk membuat surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) demi impian mengabdi kepada negara melalui berbagai lowongan CPNS yang baru saja dibuka oleh Pemerintah, seorang teroris bernama Rabbial Muslim Nasution (RMN) menggunakan atribut ojek daring. Dia menyusup masuk ke kantor polisi dengan mengaku ingin membuat SKCK.
Tak jauh dari pintu masuk Polrestabes, pelaku menjalankan aksinya dengan meledakkan diri. Beruntung tidak ada korban jiwa, kecuali pelaku sendiri. Enam orang luka ringan, termasuk di antaranya empat polisi.
Rabbial ternyata masih berusia 24 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa, bertempat tinggal di Jalan Jangka Nomor 89B Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara.
Pelaku juga memiliki saluran Youtube yang hanya berisi dua video dengan konten tidak terkait dengan terorisme.
Aksi teror ini terjadi hanya selang 1 bulan setelah aksi teror yang menyerang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2014—2019 Wiranto yang diserang dengan cara ditusuk seusai menghadiri acara peresmian di Kampus Mathla'ul Anwar (Unma) di Pandeglang, Banten yang dilakukan oleh pasangan suami istri anggota kelompok teror jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi.
Usai peristiwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan, polisi bergerak cepat menyelidiki jaringan pelaku hingga akhirnya 74 orang yang terkait dengan peristiwa ini ditangkap dan 23 di antaranya diketahui tergabung ke dalam jaringan JAD Sumut-Aceh.
Para tersangka ditangkap di berbagai daerah, di antaranya Pekanbaru, Riau, Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Medan, Kalimantan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Mohammad Iqbal mengatakan bahwa penangkapan puluhan orang ini merupakan upaya pencegahan guna mengantisipasi terulangnya kejadian serupa di kemudian hari.
"Ini preventive strike," kata Irjen Pol. Iqbal.
Awalnya Densus 88 Antiteror menangkap DA (21), istri Rabbial pada hari terjadinya pengeboman tersebut. DA diketahui melakukan komunikasi dengan IPS, seorang napi teroris perempuan yang menjalani hukuman di Lapas Wanita Medan.
Setelah didalami polisi, terungkap bahwa IPS telah menanamkan ideologi radikal kepada DA, kemudian diajarkan kembali oleh DA kepada suaminya, Rabbial.
Setelah teradikalisasi, mereka bergabung ke dalam jaringan JAD pimpinan Y.
DA bersama IPS juga pernah merencanakan aksi teror yang hendak mereka lakukan di Bali. Namun, rencana tersebut tidak terwujud karena mereka telah ditangkap.
Di antara para pelaku yang ditangkap, ada AP dan K (20) yang tewas saat hendak ditangkap karena melawan petugas Densus.
K berperan mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bom. Dia kemudian bersama AP membuat bahan peledak, lalu digunakan oleh Rabbial untuk diledakkan di Polrestabes Medan.
Dari hasil pemeriksaan di laboratorium forensik, bom yang digunakan Rabbial adalah bom berdaya ledak rendah (low explosive). Namun, di dalam bom tersebut terdapat beberapa benda tajam, seperti paku dan potongan besi yang dapat melukai orang yang berada di dekat ledakan bom tersebut.
Densus juga menangkap Y (40) sebagai pimpinan JAD Sumut-Aceh. Bersama kelompoknya, Y berbaiat kepada Abu Ibrahim Al Hashimi Al Quraishi, pemimpin baru kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Densus juga melakukan pendekatan lunak kepada lingkungan sekitar pelaku sehingga berhasil membuat empat orang tersangka mau menyerahkan diri kepada polisi tanpa perlawanan, yakni W alias Yunus, DS, IF, dan DS alias Hendro.
Semua pihak harus mengapresiasi kerja Densus yang telah menangkap puluhan tersangka terorisme untuk menghindari terjadinya aksi serupa. Meskipun demikian, hal ini juga membuktikan bahwa terorisme masih belum mati. Masih banyak benih-benih teroris di berbagai daerah yang berpotensi mengancam keselamatan masyarakat dan keamanan negara.
Melihat kedua aksi teror yang terjadi berdekatan ini, keduanya memiliki beberapa kesamaan.
Kapolri Jenderal Pol. Idham Aziz menyatakan teror kasus penyerangan terhadap mantan Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang dan kasus bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara dilakukan kelompok yang sama, yaitu anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan mereka terpapar terorisme melalui media sosial.
"Berdasarkan kasus penyerangan Jenderal (Purn.) Wiranto dan kasus bom bunuh diri di Poltabes Medan para pelaku merupakan kelompok atau yang biasa disebut JAD," ujar Idham dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu (20/11).
Para pelaku, menurut dia, memiliki tujuan menyerang pemerintah dan aparat kepolisian karena dianggap sebagai tagut.
Bertolak dari fakta tersebut, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak terkait untuk melacak keberadaan pihak-pihak yang telah terpapar radikalisme dan meluruskan pemahaman mereka agar kembali menghargai toleransi serta mengakui ideologi Pancasila dan NKRI.
Keluarga diharapkan menjadi benteng terdepan dalam mencegah masuknya radikalisme ke dalam lingkungan keluarga. Sebuah keluarga yang terpapar radikalisme berpotensi untuk bekerja sama dalam melakukan aksi teror yang sadis, seperti yang terjadi dalam kedua aksi teror belakangan ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
Sasarannya pun tetap sama, yaitu aparat keamanan yang mereka anggap sebagai manifestasi pemerintahan yang tagut.
Pada hari Rabu (13/11) pagi itu ketika para pencari kerja ramai-ramai mendatangi Polrestabes Medan, Sumatera Utara, untuk membuat surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) demi impian mengabdi kepada negara melalui berbagai lowongan CPNS yang baru saja dibuka oleh Pemerintah, seorang teroris bernama Rabbial Muslim Nasution (RMN) menggunakan atribut ojek daring. Dia menyusup masuk ke kantor polisi dengan mengaku ingin membuat SKCK.
Tak jauh dari pintu masuk Polrestabes, pelaku menjalankan aksinya dengan meledakkan diri. Beruntung tidak ada korban jiwa, kecuali pelaku sendiri. Enam orang luka ringan, termasuk di antaranya empat polisi.
Rabbial ternyata masih berusia 24 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa, bertempat tinggal di Jalan Jangka Nomor 89B Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara.
Pelaku juga memiliki saluran Youtube yang hanya berisi dua video dengan konten tidak terkait dengan terorisme.
Aksi teror ini terjadi hanya selang 1 bulan setelah aksi teror yang menyerang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2014—2019 Wiranto yang diserang dengan cara ditusuk seusai menghadiri acara peresmian di Kampus Mathla'ul Anwar (Unma) di Pandeglang, Banten yang dilakukan oleh pasangan suami istri anggota kelompok teror jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi.
Usai peristiwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan, polisi bergerak cepat menyelidiki jaringan pelaku hingga akhirnya 74 orang yang terkait dengan peristiwa ini ditangkap dan 23 di antaranya diketahui tergabung ke dalam jaringan JAD Sumut-Aceh.
Para tersangka ditangkap di berbagai daerah, di antaranya Pekanbaru, Riau, Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Medan, Kalimantan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Mohammad Iqbal mengatakan bahwa penangkapan puluhan orang ini merupakan upaya pencegahan guna mengantisipasi terulangnya kejadian serupa di kemudian hari.
"Ini preventive strike," kata Irjen Pol. Iqbal.
Awalnya Densus 88 Antiteror menangkap DA (21), istri Rabbial pada hari terjadinya pengeboman tersebut. DA diketahui melakukan komunikasi dengan IPS, seorang napi teroris perempuan yang menjalani hukuman di Lapas Wanita Medan.
Setelah didalami polisi, terungkap bahwa IPS telah menanamkan ideologi radikal kepada DA, kemudian diajarkan kembali oleh DA kepada suaminya, Rabbial.
Setelah teradikalisasi, mereka bergabung ke dalam jaringan JAD pimpinan Y.
DA bersama IPS juga pernah merencanakan aksi teror yang hendak mereka lakukan di Bali. Namun, rencana tersebut tidak terwujud karena mereka telah ditangkap.
Di antara para pelaku yang ditangkap, ada AP dan K (20) yang tewas saat hendak ditangkap karena melawan petugas Densus.
K berperan mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bom. Dia kemudian bersama AP membuat bahan peledak, lalu digunakan oleh Rabbial untuk diledakkan di Polrestabes Medan.
Dari hasil pemeriksaan di laboratorium forensik, bom yang digunakan Rabbial adalah bom berdaya ledak rendah (low explosive). Namun, di dalam bom tersebut terdapat beberapa benda tajam, seperti paku dan potongan besi yang dapat melukai orang yang berada di dekat ledakan bom tersebut.
Densus juga menangkap Y (40) sebagai pimpinan JAD Sumut-Aceh. Bersama kelompoknya, Y berbaiat kepada Abu Ibrahim Al Hashimi Al Quraishi, pemimpin baru kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Densus juga melakukan pendekatan lunak kepada lingkungan sekitar pelaku sehingga berhasil membuat empat orang tersangka mau menyerahkan diri kepada polisi tanpa perlawanan, yakni W alias Yunus, DS, IF, dan DS alias Hendro.
Semua pihak harus mengapresiasi kerja Densus yang telah menangkap puluhan tersangka terorisme untuk menghindari terjadinya aksi serupa. Meskipun demikian, hal ini juga membuktikan bahwa terorisme masih belum mati. Masih banyak benih-benih teroris di berbagai daerah yang berpotensi mengancam keselamatan masyarakat dan keamanan negara.
Melihat kedua aksi teror yang terjadi berdekatan ini, keduanya memiliki beberapa kesamaan.
Kapolri Jenderal Pol. Idham Aziz menyatakan teror kasus penyerangan terhadap mantan Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang dan kasus bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara dilakukan kelompok yang sama, yaitu anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan mereka terpapar terorisme melalui media sosial.
"Berdasarkan kasus penyerangan Jenderal (Purn.) Wiranto dan kasus bom bunuh diri di Poltabes Medan para pelaku merupakan kelompok atau yang biasa disebut JAD," ujar Idham dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu (20/11).
Para pelaku, menurut dia, memiliki tujuan menyerang pemerintah dan aparat kepolisian karena dianggap sebagai tagut.
Bertolak dari fakta tersebut, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak terkait untuk melacak keberadaan pihak-pihak yang telah terpapar radikalisme dan meluruskan pemahaman mereka agar kembali menghargai toleransi serta mengakui ideologi Pancasila dan NKRI.
Keluarga diharapkan menjadi benteng terdepan dalam mencegah masuknya radikalisme ke dalam lingkungan keluarga. Sebuah keluarga yang terpapar radikalisme berpotensi untuk bekerja sama dalam melakukan aksi teror yang sadis, seperti yang terjadi dalam kedua aksi teror belakangan ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019